KABAR GARUT
– Sengketa empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara, yang belakangan telah diputuskan menjadi wilayah otoritas Aceh oleh Presiden Prabowo Subianto, menyimpan “aroma tak sedap” praktik percaloan kebijakan yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi.
Hal ini diungkap dalam diskusi sengit di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, yang dipandu oleh Akbar Faizal dan menghadirkan Said Didu mantan Sekretaris Kementerian BUMN serta Anggota Komisi III DPR RI Dapil Aceh, Nasir Djamil. Diskusi ini juga menghadirkan Masinton Pasaribu Kader PDIP yang juga Bupati Tapanuli Tengah, Sumatera Utara yang memberikan perspektif dari daerahnya.
Peringatan Keras dari Said Didu: Bahaya “Pemimpin Makelar”
Akbar Faizal membuka diskusi dengan mengungkapkan kegelisahannya atas praktik-praktik yang ia sebut sebagai “makelar” di kalangan pejabat, di mana kepentingan pribadi atau kelompok diusung di atas kepentingan negara. Ia menegaskan bahwa masyarakat perlu bersikap tegas terhadap fenomena ini.
Said Didu dengan lugas menyatakan bahwa tindakan Presiden Prabowo yang menghentikan upaya pengalihan pulau ini adalah bukti patriotisme dan nasionalisme. Ia menyebut bahwa dua menteri, Menteri Bahlil Lahadalia (kasus Raja Ampat) dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kasus empat pulau di Sumatera), telah melakukan tindakan yang serupa, yaitu “melakukan makelar terhadap sumber daya alam.”
“Inilah gaya pemimpin makelar,” tegas Said Didu. “Makelar karena yang dipikirkan itu adalah melindungi semua yang punya kepentingan untuk kelompok dan dirinya dan mengabaikan kepentingan negara dan sensitivitas politik yang terjadi.
” Ia juga mengkritisi keengganan sebagian pihak untuk menyebut nama pejabat yang terlibat dalam praktik semacam itu. “Kalau sebab kalau tidak mau disebutkan namanya, berhenti jadi pejabat,” ujarnya dengan nada geram, menyinggung kasus korupsi CPO Wilmar Group yang disebut-sebut melibatkan pejabat, namun identitasnya tidak berani dibuka ke publik.
Kronologi Pengalihan Pulau: Jejak MoM dan Keputusan Mendagri yang Janggal
Said Didu memaparkan kronologi yang mengindikasikan adanya upaya pengalihan empat pulau tersebut dari Aceh ke Sumatera Utara. Pada tahun 2016, saat Sudirman Said menjadi utusan khusus Presiden Jokowi untuk Timur Tengah, ada upaya menarik investasi dari Arab Saudi, termasuk Aramco. Mereka mencari pulau di Indonesia Barat karena lebih strategis, dan pulau-pulau di sekitar Aceh sempat ditawarkan.
Namun, titik balik terjadi pada tahun 2021. Said Didu mengungkapkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, tiba-tiba menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Uni Emirat Arab untuk empat pulau ini. Padahal, Presiden Jokowi pada tahun yang sama di Aceh secara resmi menyatakan bahwa pembangunan di empat pulau tersebut akan dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah Aceh untuk investasi.
“Yang menarik [tahun] 2022, ini saya katakan Pak Menteri Dalam Negeri, Pak Tito, tidak bisa ngeles lagi bahwa di tangan dialah ini berpindah,” kata Said Didu. Ia menjelaskan bahwa Keputusan Mendagri tahun 2022 merupakan keputusan resmi pertama yang memasukkan empat pulau itu ke Sumatera Utara.
Hal ini dinilai janggal karena tidak ada dokumen resmi sebelumnya yang menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut pernah menjadi bagian dari Sumatera Utara. Said Didu menambahkan, keputusan Mendagri tahun 2025 bahkan menghapus klaim Aceh atas pulau-pulau tersebut.
Potensi Migas dan Peran Gubernur Sumut Bobby Nasution
Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR RI Dapil Aceh, membenarkan bahwa keempat pulau ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, khususnya migas. “Kalau hanya ada ikan, kalau hanya ada pohon kelapa, ya tidak mungkin kemudian orang rebutan,” ujar Nasir Djamil, mengutip pandangan masyarakat setempat yang meyakini adanya kandungan energi besar, setara dengan blok migas Andaman. Ia menyebutkan adanya Blok Singkil dan Blok Sibolga yang akan dilelang pemerintah, yang berada di wilayah tersebut.
Nasir Djamil juga menyinggung upaya investasi yang sempat dijajaki oleh Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah pada tahun 2020-2021 di Dubai, namun tiba-tiba gagal dengan alasan yang tidak prinsipil. Ia menduga kegagalan ini terkait dengan keinginan untuk mempermudah proses investasi jika pulau-pulau tersebut masuk ke wilayah Sumatera Utara.
Said Didu menambahkan bahwa Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution disebut sangat aktif melobi agar empat pulau tersebut masuk wilayahnya. “Kolaborasi itu bukan bahasa pejabat, itu bahasa Makelar,” tegas Said Didu, mengkritik penggunaan istilah “kolaborasi” oleh Bobby Nasution saat berkunjung ke Aceh.
Keterbukaan Informasi dan Tantangan Otonomi Daerah
Masinton Pasaribu, Bupati Tapanuli Tengah, yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Aceh Singkil, mengakui bahwa pihaknya menunggu keputusan pemerintah pusat terkait sengketa ini. Ia juga membenarkan adanya informasi tentang blok migas di wilayah perbatasan tersebut, yang nomenklaturnya masih Sibolga-Nias-Singkil, meskipun secara geografis lebih dekat dengan Tapanuli Tengah.
Masinton menjelaskan, kewenangan pemerintah kabupaten/kota terhadap wilayah perairan sangat terbatas, hanya sebatas wilayah pesisir. “Kewenangannya ee sampai 12 mil itu ada di provinsi, 12 ke atas itu ada di pemerintah pusat,” jelasnya, menyoroti tantangan bagi daerah dalam mengelola potensi sumber daya alam di laut.
Nasir Djamil menekankan pentingnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) yang seharusnya dijalankan pemerintah. “Seharusnya memang pemerintah itu menginformasikan ada apa dan sebagainya sehingga kemudian rakyat tidak curiga,” katanya, menyoroti kurangnya transparansi yang memicu dugaan “penyelundupan pulau” di mata publik Aceh.
Panggilan untuk Pemimpin Berintegritas
Diskusi ini menjadi panggung bagi Said Didu untuk menyuarakan kekhawatirannya akan bahaya “makelar proyek yang menjadi pejabat,” yang ia sebut sebagai akar masalah kerusakan negara. Ia mengambil contoh kasus tambang Morowali yang diresmikan tanpa izin lengkap, hingga penggusuran warga di Rempang dan Pantai Utara Banten demi kepentingan oligarki.
“Saya katakan saatnya kita buka dan saya akan mulai semua yang saya tahu akan saya buka karena saya enggak mau ini terulang lagi,” tegas Said Didu, menyerukan dihentikannya praktik-praktik yang merusak negara dan mendesak para pemimpin untuk memiliki patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.***