news  

Sure! Here’s a more captivating and concise rephrasing of the title in Bahasa Indonesia: **”Surat Sakti yang Jadi Bekal Plesiran Istri Menteri”** If you’d like a slightly more sensational or clickbait-style version, here’s an alternative: **”Istri Menteri Plesir Bawa Surat Sakti, Apa Isinya?”** Let me know if you want it to sound more formal, humorous, or dramatic!

Sure! Here’s a more captivating and concise rephrasing of the title in Bahasa Indonesia:

**”Surat Sakti yang Jadi Bekal Plesiran Istri Menteri”**

If you’d like a slightly more sensational or clickbait-style version, here’s an alternative:

**”Istri Menteri Plesir Bawa Surat Sakti, Apa Isinya?”**

Let me know if you want it to sound more formal, humorous, or dramatic!


BARANGKALI

memang benar, dalam sebuah negeri yang terlalu lama diselimuti kabut kekuasaan, banyak pejabat yang tak lagi mampu membedakan, mana urusan negara dan mana urusan keluarga. Termasuk yang viral baru-baru ini. Sebuah surat berkop kementerian diduga dipakai bukan untuk kepentingan publik, melainkan demi memuluskan rencana plesiran istri sang menteri keliling ke beberapa negara di Benua Eropa, lengkap dengan permintaan agar difasilitasi oleh duta besar negara sahabat.

Surat itu pun langsung menjadi ‘buah bibir’. Ini bukan karena urusan kenegaraan yang strategis, melainkan karena isinya menyentil nalar publik. Sudah terlalu sering jabatan publik dijadikan ‘karpet merah’ untuk kenyamanan pribadi dan keluarga. Kadung viral, sang menteri pun buru-buru mendatangi lembaga antirasuah. Dia mengklarifikasi jika dirinya tak tahu menahu perihal terbitnya ‘surat sakti’ itu.

Dia juga mengklaim jika plesiran istrinya tak menggunakan uang negara, melainkan uang dari kantong pribadinya. Setali tiga uang, tak lama berselang, sang istri pun membantah tuduhan netizen. Dia mengklaim tak tahu menahu ihwal terbitnya katebelece tersebut dan berbalik mencurigai ada pihak lain yang menerbitkan tanpa sepengetahuannya.

Inilah wajah muram dari sebagian elite kita yang tengah diberi Amanah. Alih-alih bersikap bijak, justru mereka menganggap kekuasaan seolah harta warisan. Padahal kekuasaan itu bukan hak milik. Ia adalah titipan. Amanah yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Seperti nasihat bijak orang-orang tua, “yang dititipi semestinya lebih takut, karena tanggung jawabnya dua kali lipat, kepada rakyat dan kepada Tuhan”.

Mari kita menengok sejenak ke masa lampau. Ada satu nama yang selalu menjadi rujukan dalam soal integritas kekuasaan: Umar bin Abdul Aziz. Seorang khalifah dari Bani Ummayah, yang hanya memerintah selama kurang lebih dua tahun, tapi warisannya tentang kepemimpinan yang bersih tetap relevan hingga kini.

Suatu malam, ketika Umar tengah bekerja di ruangannya, datanglah sang anak ingin berbicara.

Umar pun bertanya, “Ini urusan negara atau urusan keluarga?”

“Urusan keluarga,” jawab sang anak.

Mendengar itu, Umar meniup lampu yang menyala. Ketika anaknya bertanya keheranan, ia menjelaskan, “Lampu ini dinyalakan dengan minyak negara. Jika kita berbicara soal keluarga, maka aku akan menyalakan lampu lain yang minyaknya aku beli sendiri.”

Umar mungkin tidak mengenal istilah

good governance

. Tapi dalam menjaga amanah yang diembannya, dia lebih hebat dibandingkan dengan banyak pejabat modern yang menggunakannya sekadar jargon. Ia paham bahwa batas antara kepentingan publik dan pribadi bukan garis samar, melainkan pagar tegas yang harus dijaga kehormatannya.

Hari ini, sebagian pemimpin kita mungkin tak perlu memadamkan lampu minyak. Tapi mereka perlu memadamkan hasrat untuk menyelundupkan urusan keluarga ke dalam ranah jabatan. Perlu menahan diri dari kebiasaan menjadikan kop surat negara sebagai surat pengantar keistimewaan pribadi.

George Orwell, dalam Animal Farm, pernah menulis, ”

All animals are equal, but some animals are more equal than others

.”

Sebuah sindiran getir tentang bagaimana kekuasaan yang tak diawasi, akan berubah menjadi alat istimewa bagi segelintir orang, termasuk untuk mengistimewakan dirinya dan keluarganya di atas kepentingan rakyat.

Di negeri ini, terlalu banyak orang pintar, tapi tak banyak yang tahu malu. Terlalu banyak bicara soal integritas, tapi enggan bersikap tegas saat tergoda kenyamanan pribadi. Kita sudah terlalu lama hidup dengan pejabat yang merasa dirinya raja kecil. Padahal jabatan hanyalah sarana untuk melayani, bukan dilayani.

Umar bin Abdul Aziz telah lama wafat. Tapi jejaknya tak pernah benar-benar hilang. Justru hari ini, bangsa ini butuh pemimpin yang meski tak sempurna, masih bisa membedakan mana yang milik negara, dan mana yang milik keluarga sendiri.

Karena bila garis itu terus dibiarkan kabur, jangan kaget jika suatu hari surat dinas untuk antar jemput cucu pun diterbitkan, dengan tembusan ke seluruh rakyat Indonesia.

Rakyat yang lagi-lagi diminta bersabar dan bersabar.

*)


Aulia Postiera


(Penggiat Antikorupsi IM57+ Institute)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com