Warta Bulukumba
– Langit memerah. Gedung-gedung menghitam. Di tengah reruntuhan dan jerit kemanusiaan, sebuah bayangan melintas cepat menembus asap. Kamera berputar perlahan. Kita melihatnya—jubah merahnya berkibar melawan angin, matanya menatap bukan ke musuh, tapi ke harapan yang hampir punah. Superman!
Ini bukan Superman yang dulu. Ini bukan pria baja yang hanya melayang menyelamatkan kucing dari pohon. Ini adalah Superman yang bergulat dengan identitas, hukum, dan dunia yang berubah terlalu cepat.
Film Superman produksi Warner Bros. Discovery dan DC Studios, yang tayang 11 Juli 2025, bukan hanya tentang bagaimana Clark Kent menyelamatkan dunia. Ia tentang dunia itu sendiri—tentang kita yang menonton, dan berharap seseorang masih percaya pada kebaikan.
Ketika hukum menahan langit
Sebelum ia bisa terbang di layar lebar, Superman lebih dulu terjebak di ruang sidang. Keluarga Joe Shuster, salah satu pencipta tokoh ini pada 1938, menggugat hak cipta yang menurut mereka telah diabaikan selama dekade.
Sengketa ini nyaris menggagalkan penayangan film di negara-negara seperti Kanada dan Inggris. Selama berbulan-bulan, nasib sang penyelamat tergantung pada keputusan para hakim dan perbedaan tafsir undang-undang lintas benua.
Namun, April lalu, satu keputusan penting jatuh: pengadilan New York menolak gugatan tersebut, membuka jalan bagi Superman untuk menyapa dunia. Meski tarik-ulur belum benar-benar usai, satu hal jelas—ikon ini terlalu besar untuk dikurung oleh pasal hukum.
Reinkarnasi sang penyelamat: Superman ala James Gunn
James Gunn, yang dikenal lewat Guardians of the Galaxy dan The Suicide Squad, kini menjadi nahkoda baru DC Studios. Ia mengambil risiko besar—memulai kembali semesta DC dengan film ini sebagai fondasi.
Superman kali ini diperankan oleh David Corenswet, aktor yang mengaku sempat goyah saat mengenakan jubah merah itu untuk pertama kalinya. “Saya takut tidak cukup kuat,” katanya dalam sebuah wawancara. Tapi mungkin, di situlah kuncinya. Superman tidak harus sempurna. Ia hanya perlu percaya.
Di seberangnya berdiri Nicholas Hoult sebagai Lex Luthor, bukan sekadar musuh berkepala plontos dan ego megalomania, tapi cerminan dari dunia modern: sinis, cerdas, dan tidak percaya siapa pun bisa benar-benar baik.
Superman: Di Antara manusia dan makna
Dalam visi James Gunn, Superman adalah bukan hanya alien yang jadi manusia—tapi manusia yang mencoba mengingatkan kita bagaimana menjadi manusia. Ia bukan dewa yang menurunkan mukjizat, tapi anak petani dari Kansas yang memilih untuk terus berharap.
Film ini tidak larut dalam kegelapan seperti Batman v Superman, tapi juga tidak sekadar nostalgia ceria ala Christopher Reeve.
Ada humor, ada luka, ada cinta yang tidak selalu berbalas. Dan yang paling penting: ada pertanyaan eksistensial yang tidak dijawab dengan pukulan, tapi dengan empati.
Membaca Superman di zaman pasca-kebenaran
Di dunia yang kelelahan karena hoaks, perang, dan algoritma, apakah masih ada tempat bagi sosok seperti Superman?
Film ini seperti bertanya itu pada kita. Bahwa mungkin, kehadiran Superman bukan untuk menjawab semua masalah. Tapi untuk mengingatkan: harapan adalah pilihan politik yang radikal. Dalam dunia yang berusaha membuatmu sinis, tetap percaya adalah bentuk pemberontakan.
Superman bukan hanya karakter fiksi. Ia simbol. Ia merepresentasikan American dream, tapi juga beban warisan kolonialisme budaya pop. Gugatan keluarga Shuster adalah pengingat bahwa di balik kekuatan besar ada sejarah yang juga kompleks.
Maka film ini bukan sekadar hiburan. Ia adalah respons terhadap konflik: antara kepemilikan dan penciptaan, antara industri dan identitas, antara kekuasaan dan keadilan.
Penutup: Kita yang terus menatap langit
Pada akhirnya, Superman 2025 bukan hanya film. Ia adalah cermin. Bagi para penggemar lama, ia nostalgia yang menyala lagi. Bagi generasi baru, ia awal dari semesta yang lebih jujur.
Ia mengajak kita menengok ke atas bukan untuk melarikan diri, tapi untuk mengingat bahwa kita belum selesai. Bahwa meski dunia terus runtuh, masih ada seseorang—atau sesuatu—yang akan datang. Bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk mengingatkan:
Bahwa kebaikan, masih mungkin. Bahwa langit, masih layak ditatap. ***