RUBLIK DEPOK
– Di tengah suasana penuh semangat di Petamburan, Jakarta, pada 1 Juni 2025, digelar seminar bertajuk “1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila: Antara Fakta Historis dan Hegemoni Politik”. Ribuan peserta memadati acara ini, untuk mengupas tuntas narasi seputar kelahiran Pancasila.
Dengan nada tegas dan penuh kharisma, Habib Rizieq menegaskan bahwa penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila bukanlah cerminan fakta sejarah, melainkan sebuah konstruksi politik yang sarat kepentingan. “Ini bukan soal tanggal, tapi soal kebenaran dan keadilan untuk bangsa ini!” ujarnya
Menggugat Narasi 1 Juni
Polemik tentang Hari Lahir Pancasila menjadi sorotan utama dalam seminar ini. Dr. Ahmad Yani, SH, akademisi dan peneliti sejarah, dengan lugas memaparkan bahwa kelahiran Pancasila secara historis terjadi pada 22 Juni, bukan 1 Juni. Menurutnya, 1 Juni hanyalah momen pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI, yang lebih merupakan usulan awal, bukan penetapan resmi. “Fakta sejarah tidak bisa diputarbalikkan demi narasi politik,” tegas Yani, mengutip dokumen-dokumen BPUPKI yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Ia menjelaskan bahwa pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Piagam Jakarta, yang menjadi cikal bakal Pancasila.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Dr. Refly Harun, Ahli Hukum Tata Negara. Dalam paparannya, ia menyoroti risiko penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. “Jika kita terpaku pada 1 Juni, kita terjebak pada kultus individu yang berbahaya,” ujarnya, merujuk pada glorifikasi Soekarno yang menurutnya dapat mengaburkan fakta sejarah. Refly bahkan mendorong 18 Agustus 1945 sebagai tanggal yang lebih sah secara hukum, karena pada hari itu Pancasila resmi disahkan sebagai dasar negara dalam Sidang PPKI, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. “Secara hukum, 18 Agustus adalah titik kulminasi,” tambahnya, mengacu pada catatan Sidang PPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara.
Hegemoni Politik di Balik 1 Juni
Munarman, aktivis dan orator ulung, tampil dengan gaya yang tajam dan tanpa kompromi. Ia menyebut penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sebagai “hegemoni politik murni”. Dengan penuh semangat, ia mengingatkan bahwa Pancasila bukan sekadar warisan leluhur Nusantara, melainkan juga dipengaruhi oleh pemikiran global, seperti ajaran Abbas dari Belanda, Sun Yat-sen dari Tiongkok, dan Gandhi dari India. Namun, ia menegaskan bahwa nilai-nilai Islam juga memiliki peran besar dalam pembentukan Pancasila. “Jangan lupakan akar Islam dalam Pancasila, karena itu adalah bagian dari kebenaran sejarah kita,” katanya, disambut tepuk tangan meriah dari audiens. Munarman merujuk pada risalah sidang BPUPKI yang menyebutkan diskusi panjang tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai tauhid.
Pancasila sebagai Dasar Negara, Bukan Ideologi yang Dimistikkan
Dr. Abdul Khair Ramadan, seorang ahli teori hukum, membawa diskusi ke level yang lebih mendalam. Dengan gaya akademis yang kental, ia menegaskan bahwa Pancasila harus dipahami sebagai dasar negara, bukan ideologi yang dimistikkan. “Jangan jadikan Pancasila sebagai mitos yang menutupi fakta konstitusi,” ujarnya. Ia juga menyinggung bahwa banyak teori hukum Barat, seperti konsep keadilan distributif, sebenarnya diadopsi dari teori hukum Islam klasik, seperti yang dikembangkan oleh ulama seperti Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Sayangnya, keterbatasan waktu membuat paparannya terasa seperti “kuliah satu semester yang dipadatkan dalam satu jam,” kata Habib Rizieq sambil tersenyum, memancing tawa hadirin. Abdul Khair mengutip buku
Theories of Islamic Law
karya Imran Ahsan Khan Nyazee untuk mendukung argumennya tentang pengaruh hukum Islam pada pemikiran hukum global.
Tiga Pilihan Tanggal dan Pesan Persatuan
Dr. Adian Husaini, tokoh intelektual yang juga menjadi mentor Habib Rizieq, memberikan perspektif yang lebih luas. Ia mengusulkan tiga opsi tanggal kelahiran Pancasila: 1 Juni sebagai “persiapan kelahiran”, 22 Juni sebagai “hari kelahiran”, dan 18 Agustus sebagai “akikahnya”. Perumpamaan ini disambut tawa dan tepuk tangan, namun pesan utamanya serius: jangan sampai perbedaan pandangan soal tanggal memecah belah bangsa. “Para pendiri bangsa kita dulu berbeda pendapat, tapi mereka bersatu dalam ruang konstitusi. Kita harus meneladani itu,” ujar Adian, merujuk pada buku
Sejarah Pemikiran Pancasila
karya Yudi Latif. Ia juga menceritakan bagaimana ia mendorong Habib Rizieq untuk meneliti pengaruh Pancasila terhadap penerapan hukum Islam di Indonesia sebagai topik tesis, sebuah saran yang kini menjadi karya akademis berpengaruh.
Dengan penuh semangat, Habib Rizieq menutup seminar dengan tiga poin penting. Pertama, para narasumber sepakat bahwa 1 Juni bukanlah Hari Lahir Pancasila. Kedua, penetapan tanggal tersebut lebih merupakan hegemoni politik daripada fakta historis. Ketiga, ia menegaskan bahwa jika umat memiliki kekuatan politik, 22 Juni adalah tanggal ideal yang sesuai dengan fakta sejarah. Namun, jika situasi politik lemah, memperjuangkan 18 Agustus sebagai Hari Lahir Pancasila adalah langkah yang lebih realistis. “Kita harus kuat secara politik untuk memperjuangkan kebenaran sejarah,” tegasnya, disambut takbir riuh dari audiens.
Sebagai penutup, Habib Rizieq mengingatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara tauhid. “Allahu Akbar! Kita junjung Pancasila sebagai dasar negara, tapi kita juga harus junjung kebenaran sejarah,” serunya. Ia mengapresiasi panitia seminar yang berjanji menuangkan hasil diskusi ini ke dalam laporan untuk disampaikan kepada pengambil kebijakan. Seminar ini bukan hanya sekadar diskusi, tetapi juga seruan untuk menyatukan umat dalam memperjuangkan kebenaran sejarah tanpa memecah belah bangsa.