Pertempuran di Distrik Sugapa beberapa waktu lalu semakin memperpanjang deretan tindakan kekerasan di wilayah Intan Jaya, Papua Tengah, dengan masyarakat umum menjadi para korbannya. Para analis masalah Papua menganggap bahwa ada aspek tambahan yang tidak dapat dilepaskan dari perseteruan di daerah tersebut, yaitu pengaturan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Konflik bersenjata terjadi antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah pada hari Rabu (14/05) dinihari.
Versi TNI, yang direpresentasikan oleh Satuan Tugas (Satgas) Habema di lokasi kejadian, mengungkapkan bahwa telah dilakukan “tindakan militer terhadap kelompok bersenjata” di beberapa area di Sugapa: Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba.
Berdasarkan pelaporan formal dari tempat kejadian, total ada 18 orang anggota OPM yang meninggal dunia saat bertemu dengan senjata api,” jelas Kapuspen TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, pada hari Kamis (15/05).
Pernyataan dari TNI ditolak oleh TPNPB-OPM. Menurut laporan tertulis yang diperoleh BBC News Indonesia, jumlah anggota TPNPB-OPM yang meninggal sebanyak tiga orang karena “ranjau bom militer Indonesia” yang tak diketahui oleh pasukan TPNPB-OPM.
Situasi di Intan Jaya menjadi semakin rumit akibat rencana pengeboran Blok Wabu, yang diyakini memiliki cadangan emas hingga mencapai 4,3 juta ounce menyebar luas di lahan seluas lebih dari 40ribu hektar.
Kajian yang dibuat oleh konsortium masyarakat sipil tersebut
menginformasikan tanda-tanda terkait hubungan militer, peningkatan keamanan, serta Blok Wabu.
Korban mencapai belasan orang
Bupati Intan Jaya, Aner Maisini, dalam video yang diterima BBC News Indonesia, Sabtu (17/05), mengungkapkan korban terkait kontak senjata TNI dan TPNPB-OPM mencapai 12 orang.
Berikut detailnya: tiga korban yang terluka oleh tembakan diantar ke Timika, dua orang meninggal dunia kemudian dimakamkan dengan cara dikremasi (salah satunya adalah seorang kepala desa dan sisanya berasal dari TPNPB-OPM). Selain itu, ada tujuh individu lagi yang saat ini masih menantikan evakuasi mereka.
BBC News Indonesia belum dapat mengonfirmasi keadaan tujuh individu yang saat ini sedang dalam proses evakuasi; tidak diketahui apakah mereka selamat atau telah meninggal. Informasi tentang status mereka sebagai warga biasa atau anggota TPNPB-OPM juga masih diragukan.
Tidak terdapat korban meninggal atau cidera dari pihak TNI.
Pemerintah Kabupaten Intan Jaya telah mengumumkan bahwa status siaga bencana akan diberlakukan hingga tanggal 27 Mei mendatang terkait dengan insiden tembakan tersebut, serta berharap situasinya cepat membaik, demikian ungkap Aner.
Wakil GKII Papua yang membantu kelompok masyarakat terkena dampak konflik menyebutkan bahwa peningkatan pertempuran antara TNI dan TPNPB-OPM membuat warga di Sugapa dan area sekitarnya melarikan diri ke dalam hutan.
Jumlah tersebut, sesuai dengan pernyataan wakil yang menolak untuk menyebutkan nama-namanya dikarenakan pertimbangan keamanan, belum bisa ditentukan secara pasti.
Dari gambar-gambar yang didapatkan oleh BBC News Indonesia, tampak penduduk secara bergabungan meninggalkan desa masing-masing sambil membawa beban secukupnya. Ada pula beberapa orang yang telah memasuki hutan.
BBC News Indonesia belum bisa memverifikasi arah perjalanan mereka.
Saksi mata dari GKII cemas ketika penduduk memasuki kawasan hutan, pasukan militer dapat menafsirkannya sebagai anggota TPNPB-OPM.
Tim resolusi konflik yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Intan Jaya, sebagaimana dijelaskan sumber kami kepada BBC News Indonesia, sedang mengumpulkan data tentang warga yang terpengaruh oleh konflik itu.
Seorang wakil dari GKII lain menyampaikan informasi dengan sifat anonim demi alasan keselamatan dan mengungkapkan bahwa insiden pertukaran tembakan baru-baru ini merupakan konsekuensi dari tensi antar kedua pihak selama beberapa bulan terakhir, disebabkan oleh “rencana untuk menambah jumlah pos militer Indonesia di Distrik Sugapa.”
Konflik klaim antara TPNPB dan tentara Indonesia
Kepala Komunikasi TPNPB-OPM, Sebby Sambon, menyampaikan bahwa gencatan bersenjata yang terjadi pada hari Rabu (14/05) sebelumnya dipicu oleh operasi militer Indonesia di wilayah Intan Jaya.
Operasi militer itu, menurut TPNPB-OPM, telah mengakibatkan penderitaan warga sipil, sebagaimana dialami oleh sebuah keluarga yang terdiri atas ibu dan dua orang anak.
Semua ketiga mereka menderita cedera pada tangan dan telinga akibat tembakan dari tentara Indonesia dan saat ini telah ditransportasi ke rumah sakit terdekat guna mendapatkan pengobatan yang diperlukan.
Sebelum adanya pertempuran, menurut TPNPB-OPM, tentara Indonesia telah terlebih dahulu menyasar berbagai tempat seperti Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan juga Zanamba.
TPNPB-OPM juga mengomentari adanya pos-post militer “di pemukiman penduduk sipil mulai dari Sugapa hingga perbatasan Ilaga” dan mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menghapuskan pos tersebut.
TNI menyangkal klaim yang disampaikan oleh TPNPB-OPM sambil menyatakan bahwa selama ini setiap tindakan militer di wilayah Papua dilaksanakan dengan hati-hati, profesional serta berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi keselamatan penduduk biasa, demikian ungkap Kapuskopsen TNI, Mayjen Kristomei Sianturi.
Kristomei mengatakan bahwa penambahan pasukan TNI di Intan Jaya bukan bertujuan untuk menyulitkan penduduk setempat, tetapi justru “untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan kekerasan dan ancaman yang dilancarkan oleh sekelompok orang bersenjata”. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mendapatkan layanan publik tanpa ada gangguan atau bahaya.
Pada pertemuan bersenjata pada hari Rabu yang lalu, TNI menyebut bahwa mereka diserang oleh TPNPB-OPM saat sedang memberikan layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat di Sugapa. Setelah itu, TNI menanggapi hal tersebut dengan melancarkan tindakan penal atau operasi hukum, jelas Kristomei.
Untuk BBC News Indonesia pada Senin (19/05) sore, Sebby menyampaikan bahwa pernyataan TNI dianggap sebagai “pendapat satu sisi yang digunakan untuk membela diri sendiri.”
“Mereka [TNI] mengambil alih rumah penduduk, gereja, dan menjadikannya sebagai titik-titik pengawasan atau pos militer,” katanya.
Kekuatan tersebut menyingkirkan hak-hak penduduk asli Papua. Saat mereka merebut area di mana komunitas itu hidup, maka kebebasan warga setempat terancam.
Kristomei, ketika diwawancara oleh BBC News Indonesia pada Senin (19/05) malam, menyatakan bahwa pembangunan benteng-benteng militer bertujuan untuk “melindungi warga dari ancaman kelompok TPNPB-OPM,” yang akan “membatas ruang pergerakan mereka.”
Kehadiran TPNPB-OPM, menurut Kristomei, “mengintimidasi warga [di Intan Jaya].”
“Apabila ada anggota dari TPNPB-OPM yang mengakui kesalahan mereka dan berkeinginan untuk kembali sebagai warga negara yang baik, maka TNI akan menerima dengan tangan terbuka. Kami semua dapat bekerja sama dalam pembangunan Papua,” tambahnya, seorang perwira tinggi yang menjabat sebagai Kadispenad pada tahun 2023 hingga 2024.
Beberapa hari setelah gencatan senjata, melalui unggahan di Instagram, Satgas Habema—which stands for
“Harus Berhasil Maksimal,”
dipelopori oleh Panglima TNI Agus Subiyanto di bulan Februari 2024—menegaskan janjinya bersama Pemerintah Kabupaten Intan Jaya dalam hal ini
membangun pos militer baru
.
Dipengaruhi bisnis?
Konflik bersenjata antara TNI dan TPNPB-OPM di Intan Jaya bukan kali pertama terjadi.
Di bulan Maret tahun 2025, TPNPB-OPM menyatakan bahwa mereka sudah menewaskan seorang anggota TNI yang diduga berperan sebagai mata-mata.
TPNPB-OPM menuntut agar tentara Indonesia mengakhiri tindakan pengancaman dan penahanan terhadap penduduk biasa yang sering kali disalahartikan sebagai anggota TPNPB-OPM.
Tuntutan dari TPNPB-OPM ditolak oleh pemerintah Indonesia melalui Satgas Damai Cartenz dengan menyebutkan bahwa para korban meninggal adalah warga biasa, dan tidak ada anggota militer di antaranya.
Tim Satuan Damai Cartenz menyebutkan bahwa sebelum serangan senapan dilancarkan, kelompok TPNPB-OPM telah mengincar dan menyerang dua anggota dari Polres Intan Jaya.
Kepolisian dan tentara Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak akan mengizinkan tindakan TPNPB-OPM berlalu tanpa tanggapan dan telah memulai upaya pengejaran terhadap para pelakunya.
Kembali ke bulan November 2024, konflik bersenjata meletus di Kampung Emondi, mengakibatkan satu kematian. Sama halnya di Sugapa dan juga di Homeyo, insiden tersebut terjadi pada Agustus dan Mei 2024 dengan setidaknya dua korban warga sipil yang meninggal dunia.
Intan Jaya mencerminkan betapa berkelanjutannya pertempuran bersenjata yang masih terjadi dengan sengit, seiring dengan daerah-daerah lain yang juga menghadapi kondisi mirip di Nduga, Puncak, Maybrat, Yakuhimo, Pegunungan Bintang, serta Fak Fak, sesuai catatan LBH Papua.
Di Intan Jaya, perselisihan mulai memburuk.
setidaknya sejak akhir 2019
, diperkirakan disebabkan oleh penembakan tiga supir ojek di Distrik Sugapa. Kemudian, pihak berwenang Indonesia memulai operasi penyebaran pasukan keamanan secara besar-besaran.
Laporan koalisi sipil
Menjabarkan bentuk ekspansi keamanan tersebut dapat diamati dari adanya Kodim baru.
Di wilayah Hitadipa, tentara juga membentuk kantor Koramil Persiapan dengan mengambil alih lahan yang seharusnya digunakan untuk pendidikan seperti sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Selanjutnya, dibangunlah dua kantor kepolisian, yaitu Polres Intan Jaya dan Polsek Sugapa, yang kemudian diikuti oleh pengiriman ratusan anggota dalam rangka Operasi Pengamanan Konflik Sosial.
Koalisi sipil juga mengidentifikasi adanya tiga helikopter yang ditempatkan di Lapangan Terbang Soko Paki, Bilogai, menjelang akhir tahun 2019.
Sedangkan
pantauan Amnesty International
Melalui gambar satelit menunjukkan bahwa ada 10 pos keamanan yang terletak di area seputaran Distrik Sugapa, dan dari jumlah tersebut, 8 pos dibangun setelah bulan Oktober tahun 2019.
Akibat dari dikerahkannya pasukan keamanan tersebut antara lain meningkatkan interaksi dengan senjata api dan melanggar hak-hak asasi manusia, seperti pembunuhan tanpa proses hukum.
extrajudicial killing
).
Menurut laporan dari Amnesty International, Intan Jaya adalah daerah di Papua yang memiliki beberapa kasus
extrajudicial killing
tertinggi yang dicapai oleh pasukan keamanan Indonesia.
Ada 8 insiden dengan 12 korbannya yang direkam oleh Amnesty International tahun 2020 hingga 2021, semua peristiwa ini dilancarkan oleh pasukan keamanan Indonesia.
Data para korban itu menunjukkan lebih dari satu per empat (27%) dari seluruh kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan di Propinsi Papua dan Papua Barat dalam jangka waktu yang bersamaan.
“Amnesty International tidak mencatat ada kasus eksekusi ilegal yang dilancarkan oleh personel satuan keamanan Indonesia di Kabupaten Intan Jaya selama dua tahun sebelumnya, yaitu 2018 dan 2019,” demikian tertulis dalam laporannya yang dirilis pada tahun 2022.
Satu kasus yang menarik perhatian masyarakat adalah pembantaian keluarga Zanambani.
Di bulan April 2020, Apinus serta saudaranya Luther Zanambani menjadi korban pembunuhan oleh seorang prajurit militer Indonesia usai ditanyai di Korsupl Sugapa, Intan Jaya. Mereka diduga terkait dengan TPNPB-OPM.
Bukan hanya dibunuh, tubuh kedua korban juga diproses melalui pembakaran demi menyingkirkan jejaknya. Dalam peristiwa menyedihkan tersebut, sembilan tentara dituding sebagai pelaku utama, dan dari jumlah itu, tiga orang diklaim telah dilepaskan kepada pihak berwajib oleh TNI.
Pada bulan September 2020 dalam tahun yang sama, giliran Yeremia Zanambani, sang paman yang merupakan seorang Pendeta, menjadi korban pembunuhan oleh oknum angkatan bersenjata.
Yeremia, berusia 68 tahun, ditemukan tanpa napas di dalam gudang babinya yang ada di Distrik Hitadipta, Intan Jaya. Tubuhnya memiliki luka tembak pada lengannya sebelah kiri, goresan menusuk di area punggung, dan tanda-tanda adanya pengikat.
TNI awalnya menyangkal adanya anggotanya yang terlibat dalam pembunuhan tersebut dan malah menuding TPNPB-OPM sebagai pelakunya.
Beberapa temuan penyelidikan, contohnya penelitian oleh Komnas HAM, malah menunjukkan hal berlawanan: Yeremia dibunuh oleh pasukan militer.
Pembunuh keluarga Zanambani dijatuhi hukuman ringan oleh Pengadilan Militer, kurang dari dua tahun penjara.
Putusan itu,
beberapa organisasi HAM menilai
mengindikasikan bahwa praktek Pengadilan Militer tidak menjamin keadilan bagi para korban atau keluarganya.
Dalam konteks yang lebih besar, kasus Zanambani mewakili suatu fenomena
masalah pelaksanaan hak-hak dasar di Papua terus berlanjut
.
Pada bulan Agustus 2024, telah dilaporkan paling tidak ada 132 insiden pembunuhan yang melanggar hukum. Jumlah korban mencapai 242 orang warga biasa. Mayoritas dari para pelaku tersebut adalah bagian dari pasukan keamanan Indonesia, baik itu Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dengan total 83 kasus serta 135 korban.
Selain pembunuhan semena-mena, penempatan tentara di Intan Jaya juga menghasilkan dampak berupa perundungan dan pengurangan hak-hak baik individu maupun masyarakat umum.
Tentara Indonesia dengan cepat menuding warga sipil di Intan Jaya sebagai pendukung atau bahkan anggota dari TPNPB-OPM.
Situasi di Intan Jaya semakin rumit akibat rencana penjelajahan Blok Wabu, area pertambangan emas yang telah diberikan kepada PT Freeport Indonesia tahun 2015 sebagaimana dimaksud dalam perjanjian negosiasi untuk IUPK atau Perizinan Usaha Pertambangan Khusus.
Area Blok Wabu diperkirakan sebagai lahan berpotensi besar karena memiliki cadangan emas mencapai 4,3 juta biji dalam wilayah yang melebihi 40 hektar.
Tahun 2020, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, mengirimkan surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam surat tersebut ia menyarankan bahwa pengelolaan Blok Wabu sebaiknya diberikan kepada PT Aneka Tambang (Antam), perusahaan yang tergabung dalam grup MIND ID, yaitu kumpulan dari BUMN.
holding
industri pertambangan.
Terdapat tanda-tanda yang mengindikasikan keterkaitan antara militer dengan Blok Wabu.
temuan penelitian yang dirangkum oleh koalisi masyarakat sipil
.
Area koncesi pertambangan emas tersebut, contohnya, dekat dengan pos militer Koramil Persiapan Hitadipa.
Tidak tertinggal, sejumlah mantan anggota TNI-Polri juga diketahui memiliki hubungan dengan berbagai perusahaan yang diperkirakan akan mendapat manfaat dari kontrak di Blok Wabu.
Bagian Blok Wabu hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan berarti selain dari diskusi tentang penjelajahan yang diajukan oleh para elit di sektor pertambangan lima tahun lalu.
‘Pengaturan Sumber Daya Alam’ Di Balik Perseteruan Papua
Para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta akademisi seperti Cahyo Pamungkas dari Departemen Antropologi FISIP UI—yang telah beraktivitas dalam studi tentang Papua—menganalisis bahwa konflik antara TNI dan TPNPB-OPM bukan hanya masalah ideologi belaka; pernyataannya adalah “Papua Merdeka” atau “NKRI Harga Mati.”
Namun, dibalik hal tersebut, terdapat aspek lain yang tak bisa dilepaskan yakni perselisihan dalam pemanfaatan sumber daya alam,” jelasnya saat berbicara dengan BBC News Indonesia, pada hari Senin (19/05).
Menurutnya lagi, TPNPB-OPM, yang merupakan sebagian dari masyarakat Papua, memiliki hak untuk menyatakan bahwa “sumber daya alam tersebut menjadi milik mereka”. Legitimasi ini diberikan karena posisi mereka dalam komunitas setempat.
Sejumlah insiden menunjukkan cara di mana TPNPB-OPM menyajikan serangan mereka sebagai protes atas rencana pengembangan Blok Wabu.
Namun demikian, Cahyo menekankan bahwa kondisi ekonomi di Intan Jaya tidak secara langsung menjadi penyebab meningkatnya frekuensi konflik antara TNI dan TPNPB-OPM.
Menurut dia, sejak pemerintah Indonesia—which dalam hal kekuasaan berada di atas dari TPNPB-OPM—tetap menerapkan strategi operasional militer, pertempuran dan perselisihan akan tetap ada, yang pada gilirannya membuat “korban warga tidak bersenjata bakal bertambah”.
Kebijakan pembentukan daerah baru di Papua yang mengakibatkan penambahan jumlah provinsi menjadi enam, naik dari dua provinsi semula, juga mempengaruhi peta konflik senjata bersenjata, demikian kata Cahyo. Penyusunan kembali Papua ini mendorong timbulnya apa yang Cahyo namakan sebagai “keamanan berdasarkan wilayah”.
“Oleh karena itu, akan terdapat peningkatan jumlah instansi keamanan semacam Kodim maupun Koramil. Berdasarkan hal ini, tingkat interaksi antara TNI dan TPNPB-OPM juga menjadi lebih sering,” jelasnya.
Sejalan dengan pendapat Cahyo, laporan tersebut juga menunjukkan hal yang sama.
TAPOL
, organisasi sipil yang mengkhususkan diri dalam masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, menyatakan bahwa meskipun pemerintah Indonesia secara umum mempresentasikan perluasan wilayah di Papua sebagai langkah untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan, tetapi ironisnya, mereka masih melanjutkan pendekatan berbasis keamanan.
“Rencana untuk meningkatkan pembagunan daerah berdasarkan analisis inteligen, dan tidak sepenuhnya bergantung pada pertimbangan akan keperluan masyarakat Papua,” demikian tertulis di dalam laporan yang disampaikan oleh TAPOL.
Disertasi berjudul
Di luar Konflik Sektarian: Ekonomi Politik Kekerasan di Papua Barat
(2018), karya Nino Viartasiwii, menyatakan bahwa cerita dominan tentang Papua sebagai daerah perang menguntungkan berbagai pihak yang terlibat dalam spektrum itu.
Menurut Viartasiwi, konflik di Papua telah memperkuat sejumlah pihak baik dari segi ekonomi maupun politik yang akibatnya membuat situasi ini berkelanjutan dan kian berganti-ganti.
Di Papua, konflik berkelanjutan bukan saja merupakan masalah tanpa jalan keluar yang mudah ditemukan, tetapi juga para elit merubah fungsi mereka menjadi predator dan memanen keuntungan dari kedudukan mereka sebagai pihak yang terlibat dalam situasi saat ini.
Viartisiwi menambahkan lebih jauh bahwa konflik di Papua membuka peluang untuk pihak-pihak berkuasa, termasuk petugas publik, angkatan bersenjata, kepolisian, tokoh-tokoh lokal, grup militer swasta, sampai para kepala suku.
Mereka menginginkan adanya perselisihan dan kekerasan untuk membentuk ‘sektor industri perselisihan,’ ungkap Viartisiwi.
Amnesty International melaporkan bahwa mereka belum mendapatkan bukti apapun yang terkait antara rencana eksploitasi Blok Wabu dan tingkat kekerasan senjata di Intan Jaya.
Namun, Amnesty International mengungkapkan keprihatinan mereka tentang kemungkinan dampak penambangan di Blok Wabu terhadap hak-hak asasi manusia dalam konteks konflik dan tindakan keras yang berlangsung di Intan Jaya.
Warga Intan Jaya hingga saat ini masih menentangrencana konstruksi Blok Wabu.
Gelombang pengungsi
Perang senjata yang terjadi di Papua telah mengakibatkan aliran besar pengungsi, termasuk juga di Intan Jaya.
Data yang dihimpun oleh koalisi masyarakat sipil tahun 2021 menunjukkan adanya
1.237 penduduk dari Intan Jaya yang terpaksa berpindah tempat
, yang mencakup 331 wanita dan anak-anak, akibat “ketakutan menjadi dampak kolateral dari pertempuran antara satuan tugas gabungan TNI-Polisri melawan TPNPB-OPM.”
Angka tersebut belum termasuk produksi dari peristiwa yang terjadi mulai tahun 2021 ke depannya, termasuk apa pun yang telah terjadi bulan ini.
Pemandangan serupa juga muncul di wilayah-wilayah lain seperti Nduga, Pegunungan Bintang, Paniai, hingga ke Maybrat. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh LBH Papua, dari tahun 2018 sampai dengan 2023, telah terjadi
lebih dari 75.000 orang yang mengungsi
di Papua, meliputi tujuh kabupaten yang tersebar di empat provinsi.
Situasi yang dialami oleh para pengungsi
Hanyalah memperburuk nasib dengan berbagai hal seperti sanitasi yang tidak baik, kurangnya nutrisi, traumatis, hingga terlepas dari sumber penghidupan.
Menurut Cahyo, ekosistem konflik di Papua dipicu oleh penyingkiran berkelanjutan serta diskriminasi etnis yang telah melekat erat selama bertahun-tahun. Untuk menyelesaikan hal ini, pihak pemerintah perlu menerapkan strategi dengan cara duduk bersama—memperhatikan harapan dari Orang Asli Papua (OAP).
Sebelum melangkah terlalu jauh ke situ, Cahyo menyerukan agar pemerintah bisa menyelidiki dampak dari pertemuan senjata antara TNI dan TPNPB-OPM secara transparan, seperti yang telah terjadi di Intan Jaya beberapa waktu lalu.
“Agar tidak menciptakan kekebalan hukum bagi para pelaku yang diduga melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan berakibat pada kerugian warga sipil,” katanya.
- ‘Mereka datang tanpa pemberitahuan, sehingga kami menganggap perusahaan itu seperti pencuri’ – Bisakah pertambangan membawa kesejahteraan kepada penduduk asli Papua?
- Polisi launching program penanaman jagung seluas 1,7 juta hektare – ‘Jagung di Jayapura sudah berwarna kekuning-kuningan, namun para petani belum juga mendapatkan cangkul’
- Para penambang emas sering kali meninggal saat terlibat dalam pertempuran senjata di Papua, siapakah mereka dan apa alasan mereka berada di hutan tersebut?
- Testimoni guru yang bertahan dari serangan TPNPB OPM di Yahukimo, Papua – ‘Mereka berencana melakukan hal buruk untuk membunuh kita, tetapi Tuhan menyelamatkan kami’
- ‘Mereka datang tanpa pemberitahuan, sehingga kami menganggapnya seperti perbuatan para pencuri’ – Bisakah pertambangan membawa kesejahteraan bagi penduduk asli Papua?
- ‘Bom-bom tersebut dipakai sebagai lonceng di balai desa dan gereja’ – Masyarakat asli Papua di Agimuga dan traumanya terkait Peristiwa tahun 1977
- Semua Perhatian ke Papua – ‘Kenapa baru saat ini banyak yang membicarakan masalah di Papua’ ?
- Pastor Yeremia dibunuh oleh penembak di Papua, dan keluarganya meminta supaya pelaku ditangani dalam pengadilan Hak Asasi Manusia.
- Misteri kematian Pastor Yeremias Zanambani di Papua: Pemerintah RI Bentuk Tim Gabungan untuk Mencari Fakta
- Perluasan provinsi di Papua akan berujung pada wilayah otonomi yang gagal lantara kurangnya tahap persiapan.
- Apakah pemekaran daerah di Papua dapat menjadi jawaban bagi masalah-masalah yang terjadi saat ini?
- Konflik di Papua: Warga pengungsian dari Maybrat hidup dalam kecemasan – ‘Rindu kembali tetapi khawatir dikawasi’
- Urutan peristiwa dalam perselisihan Pilca daerah Puncak Jaya, mulai dari pertukaran tuduhan sampai pembakaran tempat tinggal.
- Konflik senjata di Papua membuat ribuan penduduk sipil Paniai melarikan diri – ‘ Roh Kudus, berkatilah kami sehingga dapat bertahan’
- ‘Hadiah Natal Terburuk bagi Orang Papua’ – Ribuan Warga Pegunungan Bintang Melarikan Diri Setelah Penyebaran Militer, Bagaimana Urutannya?