news  

**Mengapa Banyak Orang Masih Malu Bercerai? Ini 4 Alasan di Balik Rasa Bersalah yang Sering Muncul**

**Mengapa Banyak Orang Masih Malu Bercerai? Ini 4 Alasan di Balik Rasa Bersalah yang Sering Muncul**



Menurut American Psychological Association, 40 hingga 50 persen pernikahan di Amerika berakhir dengan perceraian.

Namun meski sudah begitu umum, perceraian masih sering dianggap sebagai sesuatu yang memalukan atau penuh aib.

Mengapa stigma ini begitu sulit dihapus, bahkan ketika perceraian adalah pilihan terbaik?

Komika Louis C.K. pernah dengan jenaka menyampaikan bahwa, perceraian itu selalu kabar baik.

Karena tak pernah ada pernikahan yang bahagia yang berakhir dengan perceraian. Meski disampaikan dengan cara lucu, ucapannya mengandung kebenaran: perpisahan tidak terjadi karena hubungan berjalan sempurna, melainkan karena ada yang sudah tidak berfungsi.

Lalu, mengapa kita masih merasa bersalah dan malu saat bercerai? Dilansir dari Your Tango, beberapa pelatih perceraian profesional seperti Laura Bonarrigo, Sonja Stribling, Cherie Morris, dan Pegotty Cooper menjelaskan penyebab utama munculnya rasa malu dan bersalah saat berpisah dari pasangan.


1. Merasa Bertentangan dengan Nilai Hidup

Bagi banyak orang, menikah adalah ikatan suci yang dijunjung tinggi oleh agama, budaya, dan sistem hukum.

Maka saat memutuskan untuk bercerai, muncul rasa seolah-olah telah melanggar nilai yang diyakini.

Tak satu pun agama secara gamblang mendorong perceraian, dan pemerintah pun kerap memberi insentif agar pasangan tetap menikah.

Maka tak heran jika mereka yang bercerai merasa seperti tidak mendapat dukungan dari masyarakat bahkan ketika keputusan tersebut adalah yang paling sehat bagi mereka.


2. Merasa Gagal dalam Menjalani Pernikahan

Meski logika mengatakan bahwa berpisah dari hubungan yang tidak sehat adalah hal baik, tetap saja perceraian sering diartikan sebagai kegagalan. Terutama karena saat menikah, ada janji untuk setia selamanya.

Saat pernikahan kandas, rasa kecewa muncul seolah janji itu tak ditepati.

Padahal, perceraian sebenarnya bisa jadi langkah dewasa untuk berhenti dari hubungan yang tidak membahagiakan. Bukan mundur, tapi justru melangkah ke arah yang lebih baik.


3. Merasa Telah Mengecewakan Anak-anak

Ini salah satu penyebab rasa bersalah paling berat dalam perceraian kekhawatiran telah merusak kehidupan anak-anak. Banyak orang tua merasa mereka tidak berjuang cukup keras untuk menjaga keluarga tetap utuh.

Namun, tinggal dalam rumah yang penuh konflik justru bisa lebih membahayakan perkembangan anak dibanding orang tua yang memilih berpisah tapi tetap menjalankan peran dengan baik.

Kuncinya adalah menjaga suasana tetap positif dan dewasa demi anak-anak, meski tidak lagi bersama.


4. Kurangnya Dukungan dari Lingkungan Sekitar

Walau perceraian makin umum, tetap saja banyak teman dan keluarga yang kesulitan memberikan dukungan kepada mereka yang bercerai. Reaksi lingkungan yang kaku atau bahkan menjauh membuat orang yang bercerai merasa sendirian dan terasing.

Akan lebih baik jika perceraian dipandang sebagai bentuk transisi hidup yang wajar. Bayangkan jika saat seseorang mengatakan dirinya bercerai, reaksi yang diterima adalah “Apa yang bisa aku bantu?” atau “Selamat atas keberanianmu memulai hidup baru.”

Perceraian bukanlah aib. Ini adalah langkah berani untuk mengakhiri hubungan yang tak lagi sehat dan membuka lembaran baru yang lebih menjanjikan.

Dengan dukungan dari lingkungan sekitar dan sikap yang terbuka, seseorang bisa melewati perceraian dengan kepala tegak bukan dengan rasa malu, tapi dengan harapan akan masa depan yang lebih baik.

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com