Dalam ekonomi dan perdagangan internasional, proses pengambilan keputusan pada situasi yang tidak pasti sering mendorong orang membuat pilihan yang nampak rasional, tapi hasilnya tidak optimal. Satu konsep yang cocok untuk memahami hal ini adalah “dilema narapidana” (
prisoner’s dilemma
) dalam teori permainan (
game theory
).
Dilema narapidana adalah permainan dari dua pihak yang bersifat
non-zero-sum
. Di sini diuraikan mengapa dua individu enggan bekerja sama meskipun saat itu kerja sama sebenarnya merupakan kepentingan strategis mereka.
Dalam versi klasiknya, dua narapidana yang menghadapi suatu tuduhan diinterogasi secara terpisah. Masing-masing dihadapkan pada pilihan antara mengaku atau tidak (membisu). Mengaku berarti juga memberatkan pihak lainnya, alias tidak bekerja sama. Sementara membisu berarti bekerja sama. Ada tiga kemungkinan hasil:
- Jika mereka membisu, keduanya menerima hukuman ringan.
- Jika salah satu mengaku dan lainnya membisu, yang mengaku akan bebas sementara yang membisu dihukum berat.
- Jika keduanya mengaku, keduanya akan mendapat hukuman menengah.
Di saat level kepercayaan satu sama lain rendah, bahkan tidak ada, maka strategi yang dominan (rasional) bagi masing-masing adalah mengaku. Sebab, setelah mencermati apa yang akan dilakukan oleh pihak lain, pilihan ini yang risikonya minimal.
Namun ada paradoks di sini, karena strategi yang rasional justru tidak memberi hasil yang terbaik. Artinya, keseimbangan Nash (
Nash Equilibrium
) untuk permainan ini tercapai, tetapi tidak
Pareto Efficient
. Keseimbangan Nash adalah kondisi ketika para pemain telah memilih strategi yang dianggap terbaik.
Ketika tensi
perang dagang
Amerika Serikat dan
Cina
semakin meningkat –dengan aksi saling membalas (
tit-for-tat
) tarif jumbo– orang akan berpendapat bahwa kedua belah pihak sudah kehilangan rasionalitas. Betapa tidak, fakta sejarah menunjukkan bahwa perang dagang selalu merugikan pihak-pihak yang terlibat.
Namun, kita bisa mengurai peristiwa ini dengan konsep dilema narapidana. Apabila perang dagang ini kita letakkan dalam kerangka dilema narapidana yang klasik, dua pemain yang berhadapan (Amerika dan Cina) masing-masing punya dua pilihan strategi, yaitu: bekerja sama (tarif rendah, perdagangan terbuka) atau tidak bekerja sama (menaikkan tarif, membatasi perdagangan). Tiga kemungkinan akan terjadi:
-
Jika keduanya memilih bekerja sama, mereka akan sama mendapat manfaat dan tidak ada yang akan “kehilangan muka”. Sebab mereka bisa negosiasi menyampaikan
concern
masing-masing. - Jika satu pihak tidak mau bekerja sama (membelot) sementara lainnya memilih bekerja sama, pihak yang membelot akan diuntungkan karena mendapatkan pangsa pasar dan keunggulan strategis, sementara yang kooperatif justru akan terlihat lemah dan kalah secara ekonomi dan politik.
- Jika keduanya membelot, tidak mau bekerja sama, maka keduanya akan menderita meskipun tidak kehilangan muka.
Dalam konteks saat ini, yang optimal secara ekonomi adalah kalau mereka bekerja sama. Namun pilihan itu membuka peluang bagi para pemain untuk kehilangan muka. Hal yang tentunya ingin dihindari. Mengapa demikian?
Bagi Beijing, jika memilih bekerja sama akan rentan dianggap “menyerah” pada tekanan Washington. Ini tidak hanya akan merusak kredibilitas internasionalnya tetapi juga mengurangi kekuatan politik dalam negeri. Sementara dari perspektif Washington, “tampil keras” terhadap Cina adalah aset elektoral utama bagi pemerintahan Trump. (Daniel Ince-Cushman,
Medium
, April 2025)
Selain itu, ada dua dinamika lain yang membuat persoalan ini bertambah rumit.
Pertama
, keyakinan akan konsistensi kebijakan Trump saat ini berada pada titik nadir. Tidak heran jika mitra dagang AS sekarang skeptis terhadap janji apa pun. Sebab kesepakatan dapat berubah mendadak, tarif dapat dinaikkan dan diberlakukan tanpa peringatan, dan logika politik berubah-ubah tergantung pada pergeseran elektoral dalam negeri, serta lobi para pebisnis AS.
Kedua
, ini bukan permainan yang berulang, setidaknya dari perspektif Cina. Dalam teori permainan, interaksi berulang akan bemuara pada terjadinya kerja sama. Sebab, masing-masing pihak sadar bahwa semakin lama permainan berlangsung –semakin banyak putaran– akan semakin berat dan mahal konsekuensi yang mereka tanggung. Beban masalah akan terakumulasi.
Cina menyadari bahwa mereka mungkin hanya perlu bertahan dalam situasi ini selama masa jabatan Trump. Dengan horizon waktu seperti itu, Cina melihat bahwa hanya ada sedikit insentif bagi Trump untuk membuat konsesi serius sekarang. Apalagi mereka percaya, bahwa pengenaan tarif secara unilateral oleh Trump ini adalah sebuah “unjuk kekuatan.” Terbukti bahwa dari negara-negara yang terkena tarif tidak banyak yang melakukan tindakan balasan. (Michalis Voutsinas, May 2025)
Maka ketika permainan bersifat jangka pendek, langkah paling aman adalah membelot, terlepas dari biaya ekonomi yang tinggi. Yang terjadi pada Vietnam adalah ilustrasi gamblang tentang apa yang akan dialami seorang pemain ketika mencoba bekerja sama terlalu dini.
Seperti diketahui Vietnam mengajukan rencana untuk menghapus tarif atas barang-barang impor tertentu dari AS, segera setelah
Liberation Day
tanggal 2 April 2025. Harapannya akan ada perlakuan timbal balik dari AS. Namun, alih-alih menghargai tawaran itu, para pejabat AS dengan tegas menolaknya, bahkan mengritik surplus perdagangan Vietnam yang sangat besar. (Kok How Lee,
Asia Times
, April 2025).
Ini tentu menjadi perhatian bagi Cina –segera bersikap lunak tidak menjamin bahwa AS akan bersikap sama. Bahkan mungkin hanya akan mengundang lebih banyak tuntutan.
Namun konsekuensi dari sikap saling membelot akan jauh melampaui dampak tarif itu sendiri. Rantai pasok global sudah mulai bergeser –banyak perusahaan akan mempercepat upaya diversifikasi dari pola yang selama ini terpolarisasi pada Amerika atau Cina. Mereka akan mengalihkan investasi ke wilayah-wilayah lainnya, dan banyak negara juga akan mencari mitra-mitra dagang alternatif.
Sementara itu, perspektif politik di AS atas situasi ini umumnya hitam-putih atau
zero-sum
: jika Cina untung, maka Amerika pasti rugi/kalah. Implikasinya, hanya sedikit ruang tersisa untuk kompromi yang sangat dibutuhkan dalam perjanjian perdagangan internasional. (Daniel Ince-Cushman,
Medium
, April 2025)
Karena itu perang tarif ini bukan sekadar perselisihan ekonomi, melainkan kontes atas narasi, kebanggaan, dan pengaruh geopolitik.
Adakah jalan keluar dari perseteruan yang dampaknya sudah mengglobal ini?
Harapannya tentu agar kedua belah pihak sadar akan kerugian timbal balik yang mereka alami dan segera berunding. Ini mungkin agak muluk. Sebab, rendahnya rasa saling percaya, insentif yang belum jelas dan tingginya biaya politik kehilangan muka. Tidak ada pihak yang ingin mundur lebih dulu. Keduanya mungkin lebih memilih “kalah” daripada tampak lemah.
Jelas tidak ada jalan keluar yang mudah. Namun pengalaman empirik menunjukkan bahwa prinsip-prinsip teori permainan dapat dijadikan acuan dalam hubungan internasional. (Owen Rust,
Economics Online
, Januari 2025)
Mencermati perang tarif ini dalam konteks dilema narapidana, tampak bahwa kedua pemain (baca: pemerintah) yang melulu bertindak demi kepentingan pribadi akan kalah (
lose-lose
). Padahal dengan bekerja sama mereka akan sama-sama menang (
win-win
). Kata kuncinya: bekerja sama.
Realitanya, AS dan Cina memang berulang kali gagal mengomunikasikan
concern
mereka satu sama lain. Padahal, semua pihak sepakat bahwa perang dagang dan dampaknya ini dapat dihindari jika para “narapidana” (pemerintah) memilih untuk bernegosiasi dan merundingkan rencana tindakan bersama.
Namun, meskipun peluang kerja sama terasa kecil, ada dua hal yang bisa membangkitkan harapan agar siklus yang destruktif ini bisa diputus.
Pertama,
apabila akibat dari sikap non-kooperatif terasa jauh lebih menyakitkan daripada bekerja sama. Kongkritnya, jika beban biaya dari perang tarif –pertumbuhan ekonomi melambat, inflasi melonjak, ekspor merosot, reaksi keras dari masyarakat dan industri yang terkena dampak, serta ancaman resesi– diyakini akan melampaui manfaat politik dari “bersikap tangguh” terhadap rival.
Hal
kedua
bersifat psikologis, tetapi tidak kalah penting. Harus ada narasi yang dibuat sedemikian sehingga bisa “menyentuh hati” kedua pemimpin yang kukuh, Trump dan Xi, agar mau berunding.
Singkatnya, yang dibutuhkan bukan hanya kesepakatan yang lebih baik, tetapi narasi cerdas yang membuat kedua belah pihak melunak dan mundur tanpa terkesan menyerah.
Kelihatannya harapan itu mulai terwujud. Pertemuan awal antara delegasi AS dan Cina di Jenewa, Swiss, sudah dilakukan tanggal 11 dan 12 Mei 2025 lalu. Pengenaan tarif tinggi pun sepakat untuk ditunda selama 90 hari. Ini memang masih sementara. Namun dampaknya cenderung melegakan secara global.
Menarik untuk menantikan perkembangan baru di minggu-minggu mendatang.