– Bicara tentang ekspektasi sosial memang tidak akan ada habisnya, segala pencapaian hidup sepertinya sudah diukur oleh waktu dan nominal tertentu.
Tapi siapa sangka bahwa jalan hidup setiap orang selalu berbeda, jika ekspektasi sosial berpikir kalau usia layak untuk menikah bagi perempuan itu di usia 23 tahun, maka bagaimana jika ada yang belum menemukan jodohnya dan bahkan menikah di usia 40 tahun?
Semua ekspektasi sosial itu terkadang memaksa kita untuk berperilaku di luar kemampuan, hingga akhirnya segala kemungkinan terburuk itu bisa terjadi pada diri sendiri, bukan orang lain.
Dilansir dari laman The Vessel pada Minggu (01/06) jika kamu ingin hidup damai dan bahagia, maka cobalah untuk tinggalkan 6 ekspektasi sosial ini :
1. Menikah dan punya anak di usia tertentu
Beberapa orang percaya garis waktu tradisional adalah wajib adalah menikah muda, memiliki anak segera, menetap di kehidupan rumah tangga. Mengasuh anak bisa menjadi perjalanan yang indah bagi banyak orang, tetapi itu bukan panggilan semua orang.
Melepaskan harapan ini berarti memberi diri kamu kebebasan untuk menciptakan kehidupan yang menghormati keinginan sendiri.
2. Selalu tersedia
Saat ini, cukup normal untuk menanggapi teks, email, atau pesan media sosial dalam hitungan menit. Tapi konektivitas yang terus-menerus ini membuat kita kelelahan.
Ini didukung oleh para ahli di Time Management Ninja, yang menekankan nilai pengaturan batas-batas digital.
Dengan menetapkan jam “offline” tertentu, kamu dapat mendapatkan kembali fokus dan memberi pikiran istirahat dari pemberitahuan yang tidak pernah berakhir.
3. Mengatakan “ya” untuk menjaga perdamaian
Melepaskan harapan bahwa kita harus selalu menyenangkan berarti belajar bagaimana menghormati kebutuhan sendiri.
Alih-alih setuju untuk bertemu teman untuk minum kopi tepat setelah kelas yoga, lebih baik prioritaskan kebutuhan diri sendiri.
4. Mengikuti orang lain pada keputusan hidup yang besar
Tekanan untuk tinggal di rumah besar, mengendarai jenis mobil tertentu, memiliki gadget terbaru, dan membual tentang liburan eksotis di media sosial, nyaris menjebak kehidupan kita.
Masyarakat sering mengukur kesuksesan dengan seberapa sibuk atau glamor penampilan hidup. Perabotan, pakaian, dan elektronik yang terasa lebih seperti simbol status daripada barang yang benar-benar dibutuhkan atau dinikmati.
Maka cobalah untuk merangkul minimalis, lalu kamu akan menyadari bahwa dapat bertahan hidup dan berkembang dengan jauh lebih sedikit. Ruangan terasa lebih tenang, dan diri sendiri merasa lebih puas dengan apa yang dimiliki saat ini.
Prinsip yang sama berlaku untuk keputusan besar lainnya, seperti memilih karier atau hobi yang bisa saja memperbaiki kehidupan kita.
5. Menyamakan kesuksesan dengan jabatan pekerjaan
Selama bertahun-tahun, kita percaya bahwa kesuksesan adalah orang yang punya jabatan sebagai manajer, direktur, atau CEO. Tetapi pada kenyataannya, jabatan yang tinggi itu belum tentu memberikan makna atau kenyamanan.
Kuncinya adalah memastikan impian benar-benar milikmu, bukan sesuatu yang dirasa harus kamu lakukan karena orang lain mengharapkannya.
6. Membuat semua orang merasa nyaman dengan keputusanmu
Kita cenderung berjinjit di sekitar keputusan besar meninggalkan pekerjaan, pindah kota, atau bahkan mengubah pola makan karena khawatir membuat orang lain tidak nyaman.
Pada kenyataannya, ketidaknyamanan orang sering mengatakan lebih banyak tentang ketakutan mereka sendiri daripada keputusan kita.
Hidup secara otentik terkadang dapat menciptakan gesekan, terutama ketika itu memaksa orang lain untuk mempertanyakan norma mereka sendiri. Tetapi alternatifnya adalah hidup setengah hati hanya untuk menjaga kedamaian.
Ketika kamu mendukung keputusan dengan keyakinan yang tenang, orang-orang yang benar-benar mendukungmu akan beradaptasi, dan mereka yang tidak bisa mungkin memudar.
Itu tidak apa-apa, pantas mendapatkan teman dan keluarga yang menerima dengan sepenuh hati.
Menurut yang dikutip dari laman Smiling Consulting pada Sabtu (01/06) ekspektasi sosial ini sangat berpengaruh besar bagi perempuan yang sedang berada dalam fase quarter life crisis.
Pada usia tertentu, perempuan dituntut oleh ekspektasi sosial untuk menikah, punya anak, punya karier yang cemerlang, dan lain sebagainya.
Sehingga ekspektasi sosial inilah yang menimbulkan banyaknya pertentangan, hingga kesehatan mental yang mungkin sedikit terganggu.