Pada banyak budaya ternyata tidak sedikit orang yang masih menganut stereotip maskulinitas tradisional, yaitu anak laki-laki sering kali diajarkan untuk tetap menahan emosi dan tidak menunjukkan perasaan mereka secara langsung. Hal ini justru dianggap bisa membawa dampak buruk pada kesehatan mental dan juga perkembangan emosional mereka di masa depan.
Mengajarkan anak laki-laki untuk mengenali mengekspresikan hingga mengelola emosi secara sehat bukan berarti membuat mereka terlihat lemah, justru sebaliknya bisa memperkuat daya tahan emosional yang mereka miliki. Oleh sebab itu, lakukan beberapa tips berikut ini untuk mengajarkan anak laki-laki mengenal emosi tanpa merasa lemah dan tak mengikis kepercayaan dirinya.
1. Validasi emosi mereka tanpa menghakimi
Langkah pertama dalam mengajarkan emosi adalah dengan mengakui bahwa apa yang mereka rasakan merupakan sesuatu yang valid dan nyata, sehingga tidak peduli seberapa kecil atau sepele menurut orang dewasa. Pada saat anak laki-laki menangis atau marah, maka hindari untuk mengatakan agar mereka tidak cengeng atau pun menganggap bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis, sebab hal tersebut hanya akan membuat mereka malu atas emosi yang dimilikinya.
Sebaliknya orangtua bisa membantu anak untuk memberi nama pada setiap perasaan tersebut, seperti rasa sedih, marah, emosi, dan lain sebagainya. Validasi emosi dapat membantu mereka untuk belajar bahwa sebetulnya merasa marah, sedih, atau takut merupakan bagian normal pada setiap manusia, sehingga bukan tanda dari kelemahan.
2. Jadilah contoh yang emosional, tapi tetap tegas
Anak-anak biasanya belajar lebih banyak dari melihat perilaku orangtuanya sendiri daripada sekadar mendengarkan nasehat. Pada saat ayah dan ibunya mampu untuk menunjukkan emosi dengan cara yang sehat, maka anak laki-laki juga akan secara otomatis menganggap bahwa emosi tersebut bukanlah sesuatu yang harus sembunyikan.
Menunjukkan bahwa kamu merupakan orang yang bisa merasakan emosi, tapi tetap bisa mengambil tindakan rasional tentu merupakan langkah bijak yang menunjukkan bahwa kekuatan sejati adalah dengan mengenali emosi dan mencoba untuk mengelolanya dengan bijak. Anak akan memahami bahwa mengungkapkan perasaan tidak bertentangan dengan upaya untuk menjadi laki-laki yang kuat.
3. Gunakan bahasa emosi dalam percakapan sehari-hari
Untuk membantu agar anak terbiasa dalam memahami konsep emosi, maka orangtua juga harus membiasakan mereka dalam menggunakan kosakata emosi dalam interaksi sehari-hari. Contohnya pada saat bercerita terkait pengalaman sekolah, maka orangtua mungkin bisa bertanya bagaimana perasaan anak pada saat hal tersebut terjadi, sehingga tidak hanya berfokus pada apa yang anak lakukan.
Setidaknya dengan membiasakan percakapan yang melibatkan jenis-jenis emosi, maka anak laki-laki pun akan tumbuh menjadi pribadi yang dapat memahami perasaan dirinya sendiri atau orang lain. Hal ini juga dapat membantu mereka untuk lebih percaya diri dalam menyampaikan isi hati tanpa khawatir dihakimi.
4. Tekankan bahwa mengelola emosi merupakan tanda kedewasaan
Anak laki-laki tentunya harus diberi pemahaman bahwa mengelola emosi bukan berarti harus menahan atau menekan perasaan, melainkan mampu memilih cara yang tepat untuk meresponnya. Sampaikan bahwa butuh keberanian dan kematangan untuk bisa mengekspresikan emosi dengan baik, namun tidak sampai menunjukkannya dengan cara yang kasar.
Setidaknya dengan mengajarkan anak teknik sederhana, seperti menarik nafas dalam, menulis jurnal, atau bercerita kepada orang yang dipercaya dengan cara yang sehat, maka dapat menyalurkan emosi dengan cara yang baik. Anak juga tidak akan menganggap bahwa ekspresi emosional sebagai bentuk dari kelemahan, melainkan merupakan
kekuatan
yang harus terus dilatih.
Mengajarkan anak laki-laki mengenal emosi tanpa merasa lemah merupakan bagian penting dari pembentukan karakter yang sehat dan seimbang. Oleh sebab itu, dengan membuang jauh-jauh mitos bahwa anak laki-laki tidak boleh menunjukkan perasaannya, maka anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, empati, dan bijaksana!