.CO.ID – JAKARTA. Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memperingatkan kebijakan penggunaanfood trayatau wadah makanan yang tidak memenuhi standar keamanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) berisiko mengancam kesehatan generasi muda.
Ketua YLKI Niti Emiliana menegaskan bahwa keamanan, kesehatan, dan keselamatan merupakan hak dasar yang harus dijaga oleh pemerintah serta pelaku bisnis.
Prinsipnya, hak dasar konsumen meliputi keamanan, kesehatan, dan keselamatan. Hal ini berlaku untuk seluruh produk, termasukfood trayyang bersentuhan langsung dengan tubuh pengguna, baik secara sadar maupun tidak,” katanya dalam diskusi terbuka bersama Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia APMAKI di Jakarta Selatan, Rabu (13/8).
Sebelumnya, APMAKI melaporkan temuan food trayimpornya dalam program MBG tidak memenuhi standar.
Food tray yang diklaim berbahan stainless steelSUS 304, namun setelah dilakukan pengujian hanya menggunakan SUS 201 yang kualitasnya lebih rendah. Keadaan ini berisiko menyebabkan keracunan dan dampak kesehatan jangka panjang.
Niti menekankan bahwa hak atas informasi yang akurat, jelas, dan transparan menjadi dasar perlindungan konsumen. Misalnya, jika pada label tercantum “304”, maka bahan produk harus benar-benar memenuhi standar 304 yang ditetapkan.food grade dan aman untuk makanan.
“Konsumen umum tidak memiliki kemampuan teknis untuk mengecek kualitas bahan secara langsung, sehingga label Standar Nasional Indonesia (SNI) menjadi jaminan utama,” katanya.
Sayangnya, SNI untuk food traySaat ini masih bersifat sukarela. Niti menyesali hal tersebut, mengingat produk yang langsung berhubungan dengan kesehatan pengguna seperti air minum dan peralatan elektronik sudah wajib memenuhi SNI.
Di masa depan, saya berharap SNI untukfood tray juga diwajibkan,” tegasnya.
Dari segi industri, Wafa Riansyah, pemasokfood traylokal, mengungkapkan maraknya beredarnya barang impor, khususnya dari Tiongkok, yang tidak memiliki sertifikat SNI tetapi memalsukan label.
“Banyak barang impor yang terbuat dari bahan 201, yang tidak layak digunakan sebagai alat makan karena berpotensi menyebabkan keracunan, tetapi diberi label sendiri oleh importir atau pabrik di Tiongkok seolah-olah sesuai dengan SNI. Sementara bahan 304 memang aman, tahan terhadap panas, dan sesuai dengan standar,” katanya.
Wafa mengkritik kurangnya pengawasan dari Badan Standardisasi Nasional (BSN) serta kebijakan impor yang lebih longgar dari Kementerian Perindustrian sebagai faktor utama munculnya banyak produk ilegal.
Keadaan ini, selanjutnya, merugikan tiga pihak secara bersamaan: para pengguna, pemerintah, dan sektor industri dalam negeri.
“Penjualan turun 80% setelah impor dilepas, dan banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja. Dulu perusahaan tersebut memiliki 150 karyawan, kini hanya tersisa 40 orang,” katanya.
Selain risiko kesehatan, perbedaan harga juga menjadi kendala yang tidak mudah. Produk impor dengan bahan 201 dijual mulai dari Rp 35.000 per unit, sementara produk dalam negeri dengan bahan 304 berkisar pada harga Rp 45.000 per unit.
“Perbedaan harga ini menarik perhatian konsumen, meskipun kualitasnya berbeda. Produk impor juga banyak dijual melalui e-commerce dengan label SNI yang palsu,” tambah Wafa.
YLKI dan pelaku industri lokal keduanya menginginkan pemerintah untuk meningkatkan pengawasan, serta memwajibkan SNI untukfood tray, serta menegakkan hukuman tegas terhadap pemalsuan label yang merugikan konsumen sekaligus melemahkan produsen lokal.