news  

Warga Gede Pangrango dan Poco Leok Menolak Proyek Geotermal – ‘Energi Bersih, Tapi Tanah Diperoleh dengan Cara Kotor’

Warga Gede Pangrango dan Poco Leok Menolak Proyek Geotermal – ‘Energi Bersih, Tapi Tanah Diperoleh dengan Cara Kotor’

Penolakan Masyarakat terhadap Pembangunan PLTP Cipanas

Masyarakat di sekitar Gunung Gede Pangrango menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Cipanas. Mereka merasa bahwa keberadaan pembangkit geotermal hanya akan membawa kerugian bagi kehidupan mereka, selain ancaman terhadap lingkungan alam. Kasus ini memperpanjang daftar penolakan terhadap proyek yang disebut sebagai energi terbarukan.

Pada Kamis (17/07), ratusan warga yang tinggal di sekitar Gunung Gede Pangrango mendatangi kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) di Cianjur, Jawa Barat, untuk menyampaikan penolakan atas rencana pembangunan PLTP tersebut. Aksi ini dipicu oleh beredarnya surat undangan dalam rangka “pemutakhiran data” lahan yang sebelumnya digarap masyarakat, mayoritas petani sayur dan buah. Surat itu pertama kali dikeluarkan pada 4 Juli 2025, dengan agenda verifikasi yang dijadwalkan pada 15 Juli 2025, menyebutkan jika penggarap tidak hadir tanpa keterangan jelas maka lahan dianggap kosong.

Masyarakat dari tiga desa—Sukatani, Cipendawa, dan Sindangjaya—tidak setuju dengan rencana tersebut, satu hari sebelum pelaksanaan. Agenda pun batal. Sehari setelahnya, surat serupa kembali diundangkan kepada warga, meminta mereka, berjumlah 79 orang, datang ke kantor TNGGP. Dalam surat kedua, lahan yang hendak dipakai untuk “pemanfaatan panas bumi” dipatok seluas lebih dari 5 hektare. Surat yang kedua ditandatangani langsung oleh Kepala Balai Besar TNGPP serta ditembuskan kepada Kapolda Jawa Barat, Bupati Cianjur, hingga Komandan Korem 061/Suryakancana.

Salah satu warga yang berpeluang terdampak dengan rencana pendirian geotermal mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa “kami seolah-olah didesak dan ditekan” untuk menyerahkan lahan garapan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, yang mendampingi warga di Gunung Gede Pangrango, menuturkan partisipasi publik dalam proyek ini begitu minim. Informasi mengenai keberlangsungan pembangunan geotermal disampaikan secara tidak utuh.

“Jadi, hanya mengundang beberapa, segelintir, perwakilan warga, dalam tanda kutip, begitu, di masing-masing desa. Kemudian sosialisasi,” terang advokat LBH Bandung. “Nah, dan masyarakat yang lainnya itu pada enggak tahu. Kebanyakan seperti itu, secara diam-diam sosialisasinya.”

Dampak Lingkungan dan Sosial dari Proyek Geotermal

Aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai kebijakan energi terbarukan yang digencarkan pemerintah, tergambar melalui geotermal, pada akhirnya adalah “tipu-tipu belaka.” Pasalnya, menurut Jatam, kebijakan transisi energi bersih yang berkeadilan tidak tampak di Indonesia. Masyarakat di area proyek justru harus menanggung konsekuensi buruk yang ditimbulkan dari aktivitas negara maupun perusahaan.

Cece Jaelani sudah dua kali berurusan dengan pihak kepolisian karena sikap penolakannya terhadap proyek PLTP Cipanas. Pada September 2024, surat yang pertama tiba atas namanya. Polisi memperkarakan Cece menggunakan pasal penghasutan. Sebulan sebelumnya, Agustus 2024, Cece dan sekitar 50 warga di Gede Pangrango membubarkan pertemuan yang diinisiasi pihak pemerintahan desa dengan menghadirkan sejumlah Ketua RW dan RT. Pejabat desa disinyalir sedang membahas proyek geotermal tanpa mengajak warga lainnya.

Perkara dengan penghasutan ini dihentikan pihak kepolisian. Cece tidak bersalah. Tidak lama setelahnya, polisi kembali memanggil Cece. Kali ini bukan pasal penghasutan yang dijadikan landasan, melainkan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Cece tidak sendirian. Terdapat satu warga di Gede Pangrango yang turut dipanggil. Pemanggilan itu tidak berujung penetapan vonis lantaran, menurut Cece, “kasusnya dipantau Komnas HAM.”

Berurusan dengan aparat sampai dua kali tidak membuat Cece, yang sehari-hari bekerja sebagai petani, ciut nyali. Cece merasa apa yang sudah dia tempuh, melawan pembangunan panas bumi, merupakan keputusan tepat. “Kalau ini, misalnya, jadi dilanjutkan, kami takut akan mengancam sumber daya air. Ketika itu hilang, masyarakat yang menanggung semua beban itu,” tuturnya kepada BBC News Indonesia.

Peran PT Daya Mas Geopatra Pangrango

Pada Juni 2022, sebelum gempa memukul Cianjur, pemerintah menunjuk PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) untuk mengerjakan rencana pembangunan panas bumi di Cipanas. Sebagai langkah awal, Menteri Investasi/Kepala BKPM kala itu, Bahlil Lahadalia, mengeluarkan persetujuan atas kegiatan Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) kepada PT DMGP—berlaku selama tiga tahun. PT DMGP sendiri merupakan anak perusahaan dari PT Sinar Mas yang didirikan pada 2022 “untuk menjajaki peluang pengembangan bisnis Energi Bumi Terbarukan (EBT) melalui pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia.”

Saham PT DMGP terhubung dengan anak perusahaan Sinar Mas yang lain, PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA), yang bergerak di bidang pertambangan dan energi terbarukan. Energi terbarukan merupakan salah satu lini usaha baru yang tengah digencarkan Sinar Mas. Targetnya, pada 2029 mendatang, Sinar Mas dapat mengoperasikan proyek geotermal yang tersebar di tiga titik dengan total potensi energi mencapai 140 MW. Tiga titik itu di antaranya Cipanas (55 MW), Cisolok (45 MW), serta Nage di Nusa Tenggara Timur (40 MW).

Berdasarkan dokumen yang BBC News Indonesia dapatkan, per Januari 2024, PT DMGP telah menempuh berbagai tindakan di area eksplorasi seluas lebih dari 3.000 hektare. PT DMGP, sebagai contoh, menempuh survei geofisika pemetaan bawah permukaan; mempersiapkan dokumen kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi; sampai peer review terkait hasil survei geofisika, geologi, dan geokimia. Masing-masing kegiatan punya ongkos yang berbeda-beda. Biaya paling mahal dikeluarkan untuk survei geofisika di lebih dari 200 titik—termasuk dengan pemodelan 3D—yang memakan Rp2,4 miliar.

Penolakan di Wilayah Lain

Poco Leok di Nusa Tenggara Timur juga mengalami penolakan terhadap proyek PLTP Ulumbu. Warga Poco Leok membentuk gerakan penolakan terhadap proyek tersebut. Servasius Masyudi Onggal, akrab dipanggil Yudi, mengisahkan kepada BBC News Indonesia peristiwa yang terjadi pada Oktober 2024 ketika warga Poco Leok bentrok dengan aparat keamanan bersenjata lengkap. Insiden ini didorong kehadiran Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang berupaya masuk ke area proyek guna mengukur lahan.

Masyarakat tidak terima karena sejak awal mereka tidak pernah memberikan persetujuan dalam menyerahkan lahan adatnya sehubungan rencana pembangunan PLTP Ulumbu. “Warga, dengan ideologi adatnya, selalu resisten ketika PLN turun untuk melakukan apa pun terkait geotermal. Dari situlah kontak fisik kemudian terjadi,” ucap Yudi. Penggunaan kekuatan berlebih oleh polisi, TNI, dan Satpol PP disinyalir menyebabkan puluhan orang luka-luka dan sebagian lainnya tidak sadarkan diri. Tidak berhenti, tiga warga dan seorang jurnalis dari Floresa ditangkap.

Konflik dan Dampak Lingkungan

Proyek geotermal di Poco Leok diprediksi menghantam tak sekadar di dekat area proyek, tapi juga sampai kawasan pesisir. Di sekitar lahan yang hendak dibangun geotermal, terdapat tiga desa serta belasan kampung. Sedangkan di pesisir, enam desa diyakini ikut memikul efek yang tidak ringan. “Tapi, begini ceritanya. Ada beberapa desa di pesisir, sekitar enam desa di pesisir selatan Poco Leok, yang bergantung pada Poco Leok, terutama soal air,” tutur Yudi. “Jadi, enam desa itu sumber airnya berasal dari Poco Leok. Poco Leok menjadi daerah penyuplai air yang sangat banyak, tidak terkecuali untuk wilayah-wilayah di pesisir.”

Operasional pembangkit geotermal dikhawatirkan menyerap air tanah dalam volume yang sangat besar. Belum lagi, imbuh Yudi, persoalan limbah dari geotermal yang berpeluang mencemari air. “Dampaknya terhadap krisis air sangat besar,” tandas Yudi. Yudi menambahkan narasi “energi bersih” yang dilekatkan pada geotermal berkebalikan dengan praktik yang dijumpai di kenyataan saat upaya perampasan tanah ulayat, disusul represi aparat, mengiringi rangkaian proses yang ditetapkan pemerintah. “Bahkan kami ini, masyarakat, diberi stigma pembangkang, melawan pemerintah, provokator, dan sebagainya,” keluh Yudi.

Perspektif Global dan Lokal

PLN mengatakan, dalam implementasi proyek geotermal di Poco Leok, senantiasa memprioritaskan sosialisasi kepada masyarakat. Badan listrik negara ini juga berkomitmen menghormati hak-hak adat di Poco Leok. “PLN tidak hanya fokus pada pembangunan secara fisik terhadap PLTP saja, melainkan juga tetap menghormati adat-istiadat setempat, sekaligus memastikan masyarakat dan lingkungan sekitar tetap terjaga kelestariannya,” ucap Senior Manager Pertanahan, Perizinan & Komunikasi PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara, Dede Mairizal, Oktober 2024.

Poco Leok dan Gede Pangrango hanya dua contoh yang memperlihatkan proyek pengembangan geotermal di Indonesia mendapati penolakan dari masyarakat. Aksi-aksi perlawanan terhadap proyek geotermal di berbagai daerah seperti Padarincang, Banten, Dieng, Jawa Tengah, serta Sorik Merapi, Mandailing Natal, Sumatra Utara, menunjukkan bahwa penolakan ini tidak hanya terbatas pada satu wilayah.

Kritik terhadap Energi Terbarukan

Energi ‘hijau’ tapi ekstraktif? Proses pengambilan panas bumi merupakan metode yang penuh risiko dan kehadirannya berkelindan dengan kesinambungan makhluk hidup di sekelilingnya. Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mencontohkan tahapan fracking, atau peretakan batuan dengan injeksi air kimia untuk mengambil panas di dalamnya. “Itu tidak ditutup langsung. Otomatis panasnya bisa bocor. Bocoran panasnya ini bukan di batuan, tapi di tanah, yang notabene pasti merusak tanah, apalagi kalau tanahnya itu adalah tanah produksi,” terangnya kepada BBC News Indonesia.

Beyrra menambahkan, dengan memakai logika sains, bahwa tatkala energi dari dalam bumi diambil, maka ada energi lain yang berkurang. “Dan berkurangnya itu, pasti, termanifestasi ke hal-hal lain. Entah hal yang baik, entah hal yang buruk. Sayangnya, [efek buruk] geotermal ini ke manusianya,” tambahnya. Semula, pencarian sumber energi alternatif dalam bentuk geotermal tidak banyak diminati lantaran prosesnya yang kompleks dan biayanya yang mahal. Namun, di Indonesia, semua perlahan berubah tepatnya pada 2011.

Bank Dunia, saat itu, memberi pinjaman kepada PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk pembangunan pembangkit panas bumi agar “Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya dengan cara yang bersih dan ramah lingkungan.” Panas bumi, sebut Bank Dunia, adalah satu-satunya teknologi yang dapat menggantikan listrik berbasis batu bara. Pembangunan ditargetkan di Ulubelu, Sumatra Selatan, dan Lahendong, Sulawesi Utara, dengan kapasitas pembangkit listrik yang dicanangkan menyentuh 150 MW.

“Penambahan ini akan menggantikan listrik berbasis batu bara dalam jumlah yang sama, dan membantu mengurangi polusi di tingkat lokal maupun global,” tulis Bank Dunia. Dana yang disalurkan ke pemerintah Indonesia mencapai US$300 juta, terbagi atas pinjaman dari International Bank for Reconstruction and Development (US$175 juta) serta Clean Technology Fund (US$125 juta). Menurut Bank Dunia, proyek geotermal ini dipandang “memberi dampak positif bagi perubahan iklim” sehingga pinjaman yang diberikan adalah “lunak dengan bunga rendah” dan masa tenggat waktu pengembalian “yang lebih lama dari pinjaman biasa.”

Kritik terhadap Paradigma Energi Terbarukan

“Nah, di titik itulah karena dianggap ini tidak menguntungkan secara hitung-hitungan standar, maka dibuat semacam pendanaan untuk melihat peluang supaya geotermal ini bisa berjalan,” terang Beyrra. Pembiayaan patungan lantas menjadi karakter khas dari proyek geotermal di Indonesia, dengan mengarusutamakan bahwa pembangunan energi alternatif ini tidak merugikan lingkungan (de-risking). Mei tahun ini, pemerintah Indonesia mengamankan pendanaan senilai hampir US$500 juta untuk mengembangkan PLTP Muara Laboh Unit-2 di Solok, Sumatra Barat, dengan kapasitas 88 MW. Januari sebelumnya, Bank Pembangunan Asia (ADB) lebih dulu menyepakati perjanjian pembiayaan sebesar US$92,6 juta dengan PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML) guna mengolah sumber daya geotermal Indonesia.

Kesepakatan itu mencakup perluasan fasilitas geotermal di Muara Laboh, Sumatra Barat, serta pembangunan geotermal baru berukuran 83 MW. Di kesempatan lain, Bank Pembangunan Asia turut berkomitmen dalam menyuntikkan modal ke PT Geo Dipa Energi (GDE) untuk mengoperasikan PLTP tambahan di Dieng dan Patuha (Jawa Barat). Tak ketinggalan, 2024 kemarin, Just Energy Transition Partnership (JETP) mentransfer US$500 juta via PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk proyek panas bumi. JETP adalah kemitraan antara pemerintah Indonesia dengan aliansi negara-negara maju dalam memperkuat transisi energi.

Pemerintah, pada saat yang sama, menunjukkan sisi ambisiusnya untuk mengerjakan geotermal. PLN, dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, telah memasukkan 120 titik potensi panas bumi yang kelak dapat diolah sebagai sumber kelistrikan nasional. Kemudian pemerintah juga berusaha menarik para investor lewat klausul kontrak yang ditawarkan. Rencana strategis Kementerian ESDM menyebutkan badan usaha yang memenangkan lelang atau ditugaskan pemerintah akan diberi izin pengelolaan panas bumi maksimal selama 37 tahun.

Tahun lalu, di ajang konferensi iklim global, COP 29, yang diadakan di Baku, Azerbaijan, pemerintah menawarkan sekitar 12 proyek panas bumi dengan nilai investasi sebesar US$2,16 miliar—lebih dari Rp30 triliun. “Kita punya total sumber daya panas bumi sebesar 23,5 GW dan sekarang kapasitas pemasangannya seperti ini. Jadi, kita bisa membuat lebih banyak lagi untuk pengembangan panas bumi,” terang Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani.

Permasalahannya, langkah agresif pemerintah dalam menuntaskan geotermal, juga promosi “hijau” yang digencarkan lembaga pendanaan internasional, pada akhirnya, menutup potret lain dari sumber daya ini yang, tidak bisa dimungkiri, turut memberikan dampak buruk kepada masyarakat sekitar. “Yang disampaikan dari perspektif keuntungan iklimnya saja. Tapi, ini tidak melihat kerugian-kerugian langsung yang dialami masyarakat,” tandas Beyrra. Beyrra mengatakan salah satu akarnya disumbang oleh paradigma para aktor berkepentingan—negara maupun pengusaha—yang melihat geotermal sebagai komoditas. Dengan menempatkan geotermal—wajah energi terbarukan—menjadi komoditas alih-alih solusi berkelanjutan, konsekuensi yang mengikuti yakni akumulasi keuntungan.

“Seperti siapa melihat ada sebuah kesempatan [menguntungkan] di satu daerah. Apa pun yang terjadi, diambil saja [kesempatan itu],” Beyrra menganalogikan. Laporan yang dibuat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) (2022), rilis pada 2022, menyatakan kegiatan eksplorasi panas bumi tidak pernah didefinisikan sebagai penambangan. Sekitar dua dekade lalu, pemerintah mengeluarkan kegiatan pencarian panas bumi dari sektor pertambangan dan memasukkannya ke dalam kategori energi terbarukan. Ini dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014. Tujuannya: menarik donor dari Bank Dunia serta mempercepat pengembangan geotermal.

Imbasnya, tulis laporan itu, eksplorasi panas bumi seperti memperoleh legitimasi mengeruk kandungan sumber daya alam dengan jumlah lebih besar tanpa harus merasa was-was dilabeli “kegiatan tambang”—yang citranya tidak “hijau.” Praktik di lapangan memberi petunjuk betapa proses-proses pengumpulan sumber daya geotermal, sebetulnya, tidak kalah ekstraktif dengan sektor pertambangan. Kehadiran energi terbarukan digadang-gadang menjadi pintu penyelesaian atas krisis iklim yang semakin terasa efeknya. Tapi, perkembangan “energi bersih” ternyata juga tidak kalah bermasalah.

Di sinilah sebutan kolonialisme hijau (green colonialism) muncul, sebuah fase baru yang merepresentasikan pengumpulan kapital berkedok pelestarian lingkungan. Kritik utama dari green colonialism ialah bahwa dia hanya wujud lain dari roda industri maupun pembangunan yang selama ini meminggirkan serta menghancurkan. Dan ini, sepertinya, berlaku pula di Indonesia, dalam wajah geotermal. “Saya melihat geotermal ini satu arah. Warga tidak dilibatkan. Dan yang dibicarakan cuma percepatan pembangunan, bagaimana dananya masuk, atau swasta mana yang terlibat,” pungkas Beyrra. “Tidak ada soal perlindungan hak untuk masyarakat maupun lingkungan.”