Viral Pernikahan Anak di Lombok: Mitos Guna-Guna dan Kisah Di baliknya yang Mengejutkan

Viral Pernikahan Anak di Lombok: Mitos Guna-Guna dan Kisah Di baliknya yang Mengejutkan


PR JABAR

– Dunia maya kembali heboh akibat tersebarnya video viral tentang pernikahan antar remaja di bawah umur yang terjadi di wilayah Lombok Tengah, NTB. Kehidupan cinta kedua pemuda muda ini, yakni YL (15 tahun) seorang siswi tingkat satu SMP, serta RN (16 tahun) sebagai pelajar dari tingkat pertama SMK, menarik perhatian banyak orang setelah mereka direkam sedang memakai pakaian adat selaras dengan upacara nyongkolan bersama alunan lagu tradisional menggunakan instrumen kecapi atau sering disebut kecimol.

Pernikahan Muda Dimulai dari Adat “Perkawinan Paksa”

Pasangan pemula ini datang dari kawasan pedesaan yang berlainan. YL diidentifikasi lahir dan dibesarkan di Dusun Karang Katon, Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur. Di sisi lain, RN memiliki asal-usul dari Dusun Petak Daye 1, Desa Beraim, Kecamatan Praya Tengah. Ikatan pernikahan mereka bukanlah hal sepele, tetapi adalah hasil lanjutan dari kebiasaan setempat yang populer dengan nama
kawin culik
.

Menurut AG, sang paman dari YL, keponakannya tersebut sudah dua kali menjadi korban pernikahan paksa. Pertama kalinya, keluarganya sukses memisahkan mereka berdua. Tetapi pada kasus yang kedua, upaya pemisahan tidak berhasil sehingga akhirnya menuntun kepada pernikahan. “Pernah ada penculikan tapi bisa dipisahkan. Kali ini malah tidak dapat dipisahkan,” katanya.

Tradisi
kawin culik
Di Lombok, sudah sejak lama terjadi praktik yang penuh perdebatan. Sebuah sisinya dipandang sebagai bagian dari tradisi lokal, tetapi di sisi lainnya mengundang berbagai pertanyaan tentang perlindungan anak serta masalah umur minimal untuk menikah yang tepat.

Viral di Media Sosial, Netizen Menyorot Tindakan dan Posisi Mempelai Wanita

Pada klip video yang menjadi perbincangan banyak orang, YL tampak sangat gembira serta bergairah. Dia malahan menari sesuai irama lagu konyol sambil bergerak di jalanan. Akan tetapi, gerakan-gerakannya tersebut, misalnya berteriak mencari bapaknya dan menyapa sekelompok orang dengan tanda hormat ala penonton konser rock, telah memancing ragam tanggapan dari masyarakat umum. Sebagian netizen berspekulasi bahwa dia kemungkinan sedang menghadapi masalah kejiwaan atau tertimpa pesona negatif.

Menghadapi tuduhan itu, AG dengan tegas mengingkarinya. Dia menjelaskan bahwa YL hanyalah seorang remaja biasa yang menampilkan sikap wajar bagi usianya tetapi kurang matang dari segi emosi. “Itulah semburat kepolosan anak-anak. Bukan seseorang yang sudah dewasa,” ungkapnya.

Walaupun begitu, AG menyadari ada potensi elemen supernatural yang berpengaruh pada perkawinan dini itu. “YL mungkin menjadi korban santet orang Sasak lantaran mereka belum dewasa,” jelasnya.

Tradisi versus Pelindungan Anak: Ambang yang Kian Redup

Insiden tersebut menumpuk daftar kasus perkawinan anak di Indonesia, terutama di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikenal kukuh dalam menjaga adat istiadat setempat. Ini menciptakan debat sengit seputar pertimbangan untuk melestarikan kebudayaan versus melindungi hak-hak anak.

Beberapa orang dalam masyarakat melihat hal ini sebagai sebuah tradisi yang sulit untuk dievaluasi dengan standar eksternal. Sementara itu, sekelompok lain mengecam praktik tersebut dan berpendapat bahwa ini mencerminkan ketidakmampuan sistem proteksi anak serta keterbatasan pendidikan bagi keluarga tentang konsekuensi perkawinan usia muda.

Berdasarkan informasi dari lapangan, tradisi perkawinan usia remaja terus berlanjut di daerah pedesaan karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti norma sosial, budaya, dan juga kemiskinan. Bahkan ada beberapa keluarga yang melihat pernikahan dini sebagian besar sebagai cara untuk “melindungi martabat” putri-putrinya.

Pengaruh Berkelanjutan Pernikahan di Usia Muda terhadap Kehidupan Mendatang Anak

Pernikahan di usia muda sebagaimana dirasakan oleh YL dan RN menyebabkan dampak yang serius. Ahli pemeliharaan hak anak mengingatkan bahwa pernikahan pada umur dini dapat meningkatkan risiko bagi remaja untuk:

  • Masalah psikologis dan tekanan emosional parah karena beban kehidupan orang dewasa yang diberikan secara paksa kepada mereka.

  • Meninggalkan pendidikan karena perhatian beralih ke urusan keluarga,

  • Ketergantungan finansial akibat kurangnya kemampuan dalam bidang pekerjaan,

  • Dan juga dampak kesehatan yang mungkin timbul dari kehamilan di usia muda, mencakup ancaman kematian baik bagi ibu maupun bayi.

Di samping itu, remaja yang terlanjur menikah cenderung berisiko menghadapi kekerasan di lingkungan keluarga sebab mereka belum sepenuhnya siap secara emosi ataupun mental untuk menjalin ikatan pernikahan yang abadi.

Usaha untuk Mencegah dan Peranan Pemerintah yang Masih Kurang Kuat

Walaupun Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Perlindungan Anak serta ketentuan umur minimum untuk perkawinan yang termuat dalam revisi UU Perkawinan, pelaksanaannya di dunia nyata belum mencapai standar ideal. Masih banyak kasus pernikahan pada anak-anak yang tidak dicatat secara resmi, membuatnya menjadi lebih sukar bagi pihak berwenang untuk mendeteksinya dan mengontrol situasi tersebut.

Pihak pemerintah setempat sudah mencoba beberapa metode pendidikan, seperti penyuluhan di tempat-tempat umum dan lingkungan lokal; meskipun demikian, hal ini belum sepenuhnya merambah dasar-budi suku tersebut. Di sisi lain, para pemuka adat serta keagamaan tetap memegang peranan penting dalam pembentukan aturan-aturan sosial yang diterima oleh kelompok masyarakat tersebut.

Kesimpulan: Anak Muda Perlu Perlindungan, Bukan Dimintakan Korban

Insiden YL dan RN harus bisa menjadi titik balik bagi kita semua untuk melakukan refleksi mendalam. Memelihara tradisi memang penting, tetapi bukan berarti meremehkan hak serta kesejahteraan generasi muda. Untuk menyelesaikan masalah pernikahan dini yang tak henti-hentinya berlanjut, dibutuhkan kerjasama erat di antara pemerintah, publik, pemuka agama lokal, dan juga keluarga.

Pendidikan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi sejak usia muda, meningkatkan daya saing ekonomi rumah tangga, serta memperkuat pemahaman hukum adalah langkah preventif penting yang perlu dilaksanakan dengan tekun. Jika tidak demikian, anak-anak sebagai pewaris masa depan negara bisa berkembang dalam situasi yang kurang mendukung untuk pertumbuhan fisik, psikologis, dan interaksi sosial mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com