Ukrainatelah mengusulkan pembelian senjata dariAmerika Serikat Senilai US$100 miliar atau sekitar Rp 1.623 triliun yang didanai oleh mitra-mitra Eropa. Berdasarkan sebuah dokumen yang diperolehFinancial Timespada hari Selasa tanggal 19 Agustus 2025 sebagaimana dilaporkanDaily Sabah, tindakan ini diambil guna memperoleh jaminan Amerika Serikat terhadap keamanannya setelah kemungkinan penyelesaian damai dengan Rusia.
Usulan Ukraina tampaknya dibuat untuk menarik perhatian Trump yang menekankan pentingnya sektor industri Amerika. Ketika ditanya tentang bantuan militer AS selanjutnya pada Senin, Trump mengatakan, “Kami tidak memberikan apa pun. Kami menjual senjata.”
Proposal tersebut juga mencakup perjanjian senilai 50 miliar dolar AS untuk memproduksi drone bersama perusahaan-perusahaan Ukraina yang telah mengembangkan sistem drone canggih sejak invasi penuh Rusia pada tahun 2022.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Berdasarkan laporan tersebut, usulan Ukraina menekankan bahwa “damai yang kekal tidak akan didasarkan pada pengakuan dan hadiah gratis kepada (Presiden Rusia Vladimir) Putin, melainkan pada kerangka kerja keamanan yang kuat yang mampu menghindari agresi di masa depan.”
Seperti dilansir United 24 Media, dokumen tersebut tidak menjelaskan secara rinci senjata apa yang diinginkan Ukraina, namun sebelumnya Kyiv telah menyatakan keinginannya untuk mendapatkan setidaknya 10 sistem pertahanan udara Patriot produksi Amerika Serikat guna melindungi kota-kota dan infrastruktur penting, beserta rudal serta peralatan militer tambahan.
Kyiv mengirimkan rencana tersebut kepada Amerika Serikat dan sekutu Eropa sebagai bagian dari daftar isu yang akan dibahas menjelang pertemuan Gedung Putih dengan Presiden AS Donald Trump pada Senin, menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah ini mengatakan kepadaFinancial Times.
Beberapa pejabat yang hadir dalam pertemuan di Gedung Putih pada hari Senin antara lain Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, serta Presiden Finlandia Alexander Stubb.
Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Mark Rutte juga turut serta.
Dorong Gencatan Senjata
Dokumen tersebut juga menjelaskan argumen jawaban Ukraina setelah pertemuan Trump dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin di Alaska. Setelah pertemuan tersebut, pemimpin Amerika Serikat itu awalnya tampak mendukung gencatan senjata tetapi kemudian beralih ke solusi damai yang menyeluruh, menurut klaim.Financial Times.
Sebelumnya, dilaporkan bahwa Donald Trump berjumpa dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Gedung Putih. Selama pertemuan tersebut, Trump membahas isu gencatan senjata di Ukraina, dengan menekankan bahwa pembicaraan perlu menuju kesepakatan perdamaian yang lebih menyeluruh.
Kiev menolak ajakan Putin untuk menghentikan pertempuran dengan imbalan pengunduran pasukan Ukraina dari sebagian wilayah Donetsk dan Luhansk, sambil memberi peringatan bahwa tindakan tersebut berpotensi memicu Rusia untuk terus melangkah lebih dalam ke dalam negara tersebut.
Kanselir Jerman Friedrich Merz, yang berdiskusi bersama Zelensky dan Trump di Washington, menyatakan bahwa gencatan senjata perlu diutamakan sebelum tindakan selanjutnya.
“Saya tidak bisa membayangkan pertemuan berikutnya terjadi tanpa adanya gencatan senjata,” katanya, menyerukan tekanan terhadap Moskow.
Dokumen tersebut juga mengajak Rusia untuk memberikan ganti rugi kepada Ukraina atas kerugian akibat konflik, mungkin melalui aset Rusia senilai 300 miliar dolar AS yang disimpan di negara-negara Barat, serta menegaskan bahwa setiap pengurangan sanksi harus tergantung pada kepatuhan Moskow terhadap kesepakatan perdamaian.
Rekaman yang dipublikasikan oleh media Rusia yang mengolok-olok kepemimpinan Trump disebutkan dalam dokumen tersebut sebagai bukti bahwa Kremlin belum serius dalam upaya perdamaian.
Usulan tersebut muncul beberapa hari setelah Trump bertemu dengan Putin di Alaska, di mana presiden Amerika Serikat itu terlihat lebih mendukung pandangan Moskow dalam menyelesaikan sengketa.
Adinda Jasmine turut berperan dalam artikel ini. Adinda Jasmine ikut berkontribusi dalam tulisan ini. Adinda Jasmine turut serta dalam penyusunan artikel ini. Adinda Jasmine berkontribusi dalam penulisan artikel ini.