news  

Trump Sebut Sidang Netanyahu “Pemburuan Penyihir Politik”

Trump Sebut Sidang Netanyahu “Pemburuan Penyihir Politik”



– Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali terang-terangan membela Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu terkait dugaan korupsi yang menjeratnya. Trump menyebut proses persidangan atas dugaan korupsi tersebut sebagai “political witch hunt”.

Political witch hunt atau perburuan penyihir politik ini istilah kiasan yang merujuk pada upaya sistematis untuk menjatuhkan atau mendiskreditkan seseorang di dunia politik melalui tuduhan-tuduhan yang dianggap tidak adil, bermotif politik, atau dipaksakan. Biasanya, istilah ini dipakai untuk menggambarkan situasi di mana seorang politisi merasa dirinya menjadi target serangan hukum, investigasi, atau tuduhan yang tujuannya bukan murni untuk menegakkan hukum, melainkan untuk menghancurkan karier atau reputasinya.

Trump menilai, apa yang dituduhkan pada Netanyahu adalah hal yang mengerikan. Sebab menurut dia, Netanyahu merupakan PM yang telah melakukan pekerjaan luar biasa melalui kerja sama dengan Amerika Serikat untuk menyingkirkan ancaman Nuklir yang berbahaya di Iran.

“Ia adalah Pahlawan Perang,” tuturnya di Truth Social seperti dikutip dari Anadolu, Minggu (29/6).

“Bagaimana mungkin Perdana Menteri Israel dipaksa duduk di Ruang Sidang sepanjang hari, tanpa alasan apa pun (Cerutu, Boneka Bugs Bunny, dan lainnya). Ini adalah perburuan penyihir politik, sangat mirip dengan perburuan penyihir yang terpaksa saya alami,” sambungnya.

Trump menilai, apa yang dilakukan jaksa yang menyelidiki dugaan kasus Netanyahu sebagai sebuah kegilaan. Sebab, proses ini jadi penghambat diplomasi penting, baik itu terkait proses negosiasi dengan Hamas untuk mendapatkan kembali sandera Israel maupun upaya negosiasi dama dengan Iran.

Ia pun menyebut, pihaknya tidak akan mentoleransi apa yang terjadi di Israel ini. Apalagi, Amerika Serikat telah menghabiskan miliaran dolar setiap tahun, jauh lebih banyak daripada negara lain, untuk melindungi dan mendukung Israel.

“Kami tidak akan menoleransi ini. Kami baru saja meraih kemenangan besar dengan Perdana Menteri Bibi Netanyahu sebagai pemimpin, dan ini sangat menodai Kemenangan kami. Lepaskan Bibi, Dia Punya Pekerjaan Besar!” tegasnya.

Karenanya, dia pun kembali menyerukan agar sidang Netanyahu pada Senin dibatalkan. Pembatalan ini dinilainya sebagai balasan atas jasa yang dilakukan pada Israel.

Netanyahu menghadapi tiga kasus korupsi sejak 2019, termasuk tuduhan suap, penipuan, dan penyalahgunaan kepercayaan. Dalam satu kasus, Netanyahu dan istrinya dituduh menerima barang-barang mewah senilai lebih dari USD 260.000 seperti cerutu, perhiasan, dan sampanye dari para miliarder dengan imbalan bantuan politik.

Kemudian, dalam kasus lainnya, Netanyahu dituduh berusaha menegosiasikan liputan yang lebih menguntungkan dari dua media Israel. Ia sendiri membantah semua tuduhan tersebut dan menyebut kasus ini sebagai hasil dari “kudeta politik” oleh aparat dan kejaksaan.

Netanyahu memulai persidangannya pada 24 Mei 2020. Ia menjadi pemimpin Israel pertama dalam sejarah yang naik ke mimbar sebagai terdakwa pidana. Berdasarkan hukum Israel, ia tidak diharuskan mengundurkan diri kecuali dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung, sebuah proses yang dapat memakan waktu beberapa bulan.

Selain itu, Netanyahu juga menghadapi tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. International Court of Justice (ICJ) bahkan telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant pada bulan November atas kekejaman di Jalur Gaza. Lebih dari dari 56.000 korban, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023.

Proses hukum terhadap PM Israel ini saat ini pun terus berlangsung. Terlebih, pada Jumat (27/6) lalu, Pengadilan Israel menolak permintaan Netanyahu untuk menunda pemberian kesaksian dalam persidangan kasus korupsinya. Permohonan ini diajukan olehnya setelah Trump membelanya habis-habisan dengan menyatakan bahwa kasus tersebut seharusnya dibatalkan.

Permintaan penundaan ini diajukan pengacara Netanyahu pada Kamis (26/6). Dalam permohonannya, ia meminta dibebaskan dari sidang selama dua minggu ke depan, dengan alasan perlu fokus pada isu-isu keamanan menyusul perang Iran-Israel.

Namun, seperti dikutip dari channel news asia, pengadilan distrik Yerusalem justru menilai bahwa permintaan tersebut tidak memberikan dasar atau justifikasi yang cukup rinci untuk membatalkan sidang. Keputusan ini pun telah dipublikasikan secara daring oleh pihak pengadilan.

Netanyahu sendiri telah beberapa kali meminta penundaan persidangan sejak Mei 2020. Mulai dari alasan perang di Gaza yang dimulai pada 2023, kemudian pertempuran di Lebanon, dan bulan ini konflik dengan Iran.

Selama masa jabatannya, pemerintahan Netanyahu telah mengusulkan serangkaian reformasi yudisial yang sangat luas. Menurut para pengkritik, reformasi ini hanya akal-akalan yang sebenarnya bertujuan melemahkan lembaga peradilan.

Pada bagian lain, Mantan PM Israel, Naftali Bennett mendesak agar Netanyahu mundur dari jabatannya. Namun, ia enggan menanggapi apakah desakan ini berhubungan dengan niatnya menantang Netanyahu dalam pemilu mendatang.

Dalam sebuah wawancara dengan Channel 12 Israel yang ditayangkan pada hari Sabtu, seperti dikutip dari AFP, Bennett hanya menegaskan, bahwa Netanyahu telah berkuasa selama 20 tahun dan itu dinilai terlalu lama. “Itu tidak sehat,” katanya.

Selain itu, menurut dia, Netanyahu telah memikul tanggung jawab besar atas perpecahan dalam masyarakat Israel. Meski, memiliki basis dukungan kuat tetapi ia pun juga punya penentang keras yang menuntut pengunduran dirinya termasuk atas penanganannya terhadap perang Gaza sejak Oktober 2023.

“Netanyahu harus pergi,” tegas Bennett.

Sebagai informasi, tokoh sayap kanan itu pada tahun 2021 pernah bergabung dengan kubu oposisi Netanyahu untuk membentuk koalisi yang berhasil mengakhiri 12 tahun kepemimpinan Netanyahu sebagai Perdana Menteri.

Namun, pemerintahan koalisi yang dipimpin Bennett bersama Ketua Oposisi saat ini, Yair Lapid, hanya bertahan sekitar satu tahun. Setelah koalisi tersebut runtuh, Israel menggelar pemilu kilat dan Netanyahu kembali menjadi Perdana Menteri dengan dukungan partai-partai sayap kanan ekstrem dan ultra-Ortodoks Yahudi.

Bennett yang selama ini menjauh dari dunia politik dikabarkan berencana kembali, terlebih hasil jajak pendapat menunjukkan ia berpotensi mendapat cukup dukungan untuk kembali menggulingkan Netanyahu.

Meski begitu, hingga saat ini tidak ada pemilu yang dijadwalkan sebelum akhir 2026. Tapi, tak menutup kemungkinan adanya pemilu lebih dini mengingat hal yang umum terjadi di Israel.

Selain itu, dalam wawancara Sabtu lalu, Bennett juga mengklaim dirinya berperan dalam mempersiapkan serangan Israel terhadap situs-situs nuklir dan militer Iran yang dilancarkan awal bulan ini. Keputusan menyerang Republik Islam Iran tersebut, disebutnya sebagai langkah yang sangat baik dan diperlukan.

Ia mengklaim bahwa serangan itu tidak akan mungkin dilakukan tanpa kerja keras pemerintahan singkat yang pernah dipimpinnya.

Sementara itu, terkait situasi di Gaza, di mana Israel masih berperang sejak serangan Hamas pada Oktober 2023, Bennett menilai kinerja militer Israel sudah luar biasa. Namun, ia mengecam manajemen politik negara saat ini yang menurutnya adalah sebuah bencana.

Ia juga mengkritik ketidakmampuan pemerintah untuk mengambil keputusan. Karenanya, ia mendesak agar segera dicapai kesepakatan komprehensif untuk membebaskan seluruh sandera yang tersisa di Gaza.

“Soal memberantas Hamas, biarlah itu menjadi tugas pemerintah di masa depan,” ujarnya. Namun, ia kerap menghindari pertanyaan terkait apakah ia akan kembali mencalonkan diri dalam pemilu mendatang. (mia)