Kekacauan di Tepi Barat: Tentara Israel Diserang oleh Sesama Warga Yahudi
Di tengah ketegangan yang sudah lama menghiasi wilayah Tepi Barat, muncul konflik baru yang mengejutkan. Bukan dari pihak Palestina, tetapi justru datang dari kelompok ekstremis pemukim Yahudi yang berani menyerang tentara Israel (IDF). Kejadian ini menjadi ironi tersendiri karena para tentara yang biasanya menjadi penjaga keamanan dan pelaksana operasi militer justru menjadi target kekerasan dari sesama warga negaranya sendiri.
Insiden terbaru terjadi pada malam hari tanggal 29 Juni di kawasan Binyamin, sebuah daerah pendudukan di Tepi Barat. Sejumlah pemukim muda, mayoritas berusia akhir dua puluhan tahun, melakukan serbuan brutal ke pos militer IDF. Mereka menyemprotkan gas merica, merusak kendaraan militer, hingga mencoba membakar markas keamanan. Salah seorang tentara dari Batalyon 7114 yang sedang melintas saat kerusuhan berlangsung menggambarkan situasi yang sangat menegangkan.
“Kami mendapat makian kasar dan ancaman pembunuhan,” ujar salah satu prajurit anonim. “Mereka terus datang, seperti permainan kucing dan tikus. Setiap kali kami dorong mundur, mereka kembali lagi.”
Serangan Berulang dan Pola Kekerasan
Kejadian di Binyamin bukanlah yang pertama. Hanya beberapa hari sebelumnya, di dekat Ramallah, sekelompok pemukim bertopeng juga menyerang pasukan IDF. Mereka melempari tentara dengan batu, bahkan sampai mencekik dan memukuli pasukan. Beberapa tentara dan seorang perwira dilaporkan mengalami cedera ringan. Fasilitas milik polisi juga menjadi sasaran, termasuk bangunan yang dicoret dengan kata ‘Nekama’ dalam bahasa Ibrani, yang berarti “Pembalasan”.
Dalam rangkaian insiden tersebut, total sebelas orang telah ditahan. Enam dari mereka ditangkap atas aksi kekerasan di Binyamin, sementara lima lainnya terlibat dalam serangan di Ramallah.
Geger di Tubuh Militer Israel
Para perwira cadangan di Binyamin mengaku belum pernah menyaksikan eskalasi permusuhan semacam ini dari sesama komunitas Yahudi. Mereka menerima ancaman langsung dari kelompok yang seharusnya menjadi bagian dari masyarakat yang mereka lindungi. Label “pengkhianat” dan “Nazi” dilemparkan kepada tentara, menunjukkan betapa dalamnya jurang ideologis yang mulai terbuka.
Situasi ini menempatkan IDF dalam posisi yang tidak hanya sulit secara operasional, tetapi juga psikologis. Di satu sisi, mereka terus melakukan operasi besar-besaran untuk menangkap tersangka pelaku kejahatan atau aktivis Palestina di berbagai lokasi seperti kamp pengungsi Askar, Hebron, Ramallah, Tubas, dan Dahariya. Di sisi lain, tekanan internal dari pemukim garis keras semakin tak terkontrol.
Konflik Internal yang Menggerogoti
Krisis ini bukan sekadar masalah disiplin militer, tetapi lebih jauh lagi, merupakan cerminan dari konflik ideologis yang berkembang dalam masyarakat Israel. Kelompok pemukim radikal mulai melihat aparat keamanan sebagai musuh dalam selimut, yang dianggap gagal menjalankan tugas melindungi agenda ekspansi pemukiman. Sementara itu, bagi banyak petinggi militer, loyalitas nasional dan profesionalisme adalah hal yang tak bisa dikompromi.
Dengan demikian, insiden-insiden ini menjadi awal dari refleksi lebih luas tentang stabilitas internal negara, di mana militer—yang selama ini menjadi simbol kekuatan dan persatuan—mulai menghadapi tantangan dari dalam. Apakah Israel mampu menjaga soliditas institusi militernya di tengah polarisasi yang semakin dalam? Pertanyaan itu kini bergema di setiap barisan tentara dan ruang rapat keamanan negeri tersebut.