– Semen merupakan fondasi kota modern. Bangunan, jalan, dan trotoar tidak akan mungkin berdiri tanpa bahan ini. Namun, terdapat satu masalah besar: semen menyebabkan kota kita menjadi panas. Permukaan jalan dan atap menyerap sinar matahari, menyimpannya sebagai panas, lalu mengembalikannya ke udara. Akibatnya, kota terasa lembap, pendingin ruangan bekerja keras, dan penggunaan listrik meningkat—bersama dengan emisi karbonnya.
Namun, penelitian terbaru memberikan harapan baru. Fengyin Du beserta timnya dari Southeast University menemukan metode agar beton tidak lagi berperan sebagai “pemanas kota”, tetapi justru membantu menurunkan suhu.
Mengapa Semen Biasa Gagal?
Beton konvensional memiliki warna gelap. Warna tersebut menyerap sinar matahari, bukan memantulkannya. Panas yang terakumulasi kemudian menyebar ke dalam bangunan, menyebabkan ruangan menjadi lebih panas dan sulit untuk dikurangi suhunya.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Efek ini juga terjadi di luar ruangan. Trotoar, jalan, hingga dinding bangunan turut menyebabkan kenaikan suhu lingkungan. Akibatnya, penggunaan AC meningkat secara signifikan. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, permintaan energi untuk pendinginan pada pertengahan abad ini dapat mengakibatkan emisi karbon hingga tiga kali lipat dibanding saat ini.
Inovasi Semen yang Mampu Menurunkan Suhu Kota
Tim dari Universitas Selatan merancang semen dengan pendekatan yang berbeda. Kuncinya adalah kristal alami pada permukaan semen, khususnya mineral ettringite.
“Semen ini berfungsi seperti cermin dan radiator. Ia memantulkan cahaya matahari serta mengeluarkan panas ke langit, sehingga bangunan tetap dingin tanpa perlu bantuan listrik,” kata Du.
Selain itu, semen ini memiliki struktur berpori kecil dan kaya akan aluminium. Kombinasi tersebut membuat permukaan semen memiliki fungsi ganda: sebagai pemantul cahaya dan penghasil panas.
Bagaimana Semen Ini Dibuat?
Bahan utamanya biasa digunakan: batu kapur, gipsum, alumina, dan silika. Setelah dibentuk menjadi butiran, dipanaskan, lalu dihancurkan, campuran tersebut kemudian bereaksi dengan air. Proses ini menghasilkan pembentukan kristal ettringite dan gel.
Untuk meningkatkan kemampuan pantulan cahaya, para ilmuwan memanfaatkan cetakan dan gelembung udara yang menciptakan mikrokavitasi pada permukaan beton. Dari sana, kristal berkembang dan membentuk pola yang membantu menyebarluaskan cahaya.
Inovasi ini diuji di atap Universitas Purdue. Hasilnya mengejutkan:
- Lebih rendah 5,4°C dibanding suhu lingkungan
- 26°C lebih dingin dibanding beton Portland biasa
Maknanya, semen ini tidak lagi berfungsi sebagai “penjebak panas”. Bahkan, pada malam hari, bahan ini tetap melepaskan panas ke langit. Pendinginan terjadi baik siang maupun malam.
Kuat dan Tahan Lama
Tidak hanya dingin, beton ini juga kokoh. Uji tekan menunjukkan ketangguhan di atas 100 MPa, melebihi berbagai campuran biasa. Ia tahan gores, tidak rusak oleh siklus beku dan cair, serta mampu bertahan dalam lingkungan korosif. Setelah setahun terpapar cuaca luar ruangan dan sinar UV, kemampuan refleksinya hampir tidak berkurang.
Lebih Cerah dan Berwarna
Semen biasanya dikaitkan dengan warna abu-abu. Namun, inovasi ini memberikan variasi yang menarik. Dengan menambahkan bahan pewarna fosfor, tim mengembangkan semen berwarna kuning, hijau, dan merah—tanpa mengurangi kemampuan memantulkan cahaya. Bahkan dengan warna-warna tersebut, semen ini tetap mampu memantulkan 90% sinar matahari.
Artinya, arsitek dan perencana kota memiliki lebih banyak pilihan desain guna membentuk kota yang terang dan menarik secara estetika.
Produksi semen ini juga ramah lingkungan. Proses pembuatannya dilakukan pada suhu yang lebih rendah, sehingga mengurangi emisi sekitar 25% dibandingkan semen Portland.
Penelitian siklus hidup mengungkapkan bahwa satu ton semen ini mampu mengurangi hingga 2.867 kg CO2 selama periode penggunaan sepanjang 70 tahun.
Bahkan, kota-kota yang memiliki suhu tinggi seperti Niamey dan Mumbai bisa mencapai tujuan netral karbon lebih cepat dengan menggunakan bahan ini.
Apa saja dampaknya terhadap kota kita?
Meskipun memiliki potensi yang besar, para pakar memperingatkan agar tidak terlalu berlebihan. Oscar Brousse dari University College London menegaskan: “Jika permukaan lebih dingin 5°C, bukan berarti suhu udara akan turun 5°C. Dampaknya mungkin hanya terbatas secara lokal.”
Meskipun demikian, kontribusi pasir ini dalam mengurangi penggunaan energi dan memperpanjang umur bangunan sangat jelas terlihat. Jika diproduksi dalam skala besar, teknologi ini dapat membantu menurunkan suhu lingkungan perkotaan tanpa perlu menyalakan satu pun saklar pun.
Penelitian ini telah diterbitkan dalam jurnal Science Advances.