.CO.ID, BANDUNG — Sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025, SMAN 22 Kota Bandung berupaya menerapkan kebijakan tersebut sesuai arahan yang diberikan. Dengan menyesuaikan situasi sekolah berdasarkan fasilitas yang tersedia, SMAN 22 Bandung memutuskan untuk menerapkan batas maksimal 44 siswa per kelas.
pada hari Kamis, (24/07/25) mengamati kondisi nyata di lapangan. Kebijakan program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) yang menerapkan 44 siswa per kelas di SMAN 22 Bandung mulai terasa dampaknya oleh siswa dan guru. Siswa merasa kepanasan di dalam kelas, sementara guru menghadapi kesulitan dalam mengelola pembelajaran.
“Nahkami menerima sebanyak 44 per rombel itu jadinya. Karena memang dari kebijakan tersebut, sesuai dengan kriterianya PAPS itu ya, ada dari yatim piatu, kemudian ada bencana alam, kemudian ada keluarga ekonomi tidak mampu (KETM), satu lagi dari bina lingkungan sosial,” ujar Eneng Siti Hajar, Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMAN 22 Bandung.
Eneng mengakui bahwa dengan kebijakan ini, pihak sekolah harus mengambil meja dan kursi dari aula. Menurut penjelasannya, pihak sekolah perlu mempersiapkan hal ini secara maksimal dan memberikan pelayanan terbaik bagi siswa dan siswinya.

Rio Adriandita, guru mata pelajaran Sosiologi SMAN 22 Bandung mengakui adanya tantangan yang dialami oleh guru saat mengajar dengan jumlah 44 siswa per kelas. “Secarareal-nya guru memang memiliki tugas tambahan ketika jumlah siswanya banyak, yaitucontrollingkelas dan pengelolaan kelas yang akan menjadi lebih rumit,” kata Rio saat diwawancarai.
Berdasarkan pengakuan Rio, tantangannya adalah penerapan metode pembelajaran kelompok. Sebelumnya, dengan jumlah siswa sebanyak 35-36 orang, ia mampu membagi kelas menjadi lima kelompok dengan maksimal 7-8 anggota per kelompok. Kini, dengan 44 siswa, satu kelompok bisa mencapai sembilan orang.
Apakah akan efektif dalam bekerja sama tim?Nahitu saya akan amati selama satu semester mendatang,” tegasnya.
Rio mengapresiasi program PAPS sebagai langkah untuk menurunkan jumlah anak yang putus sekolah di Jawa Barat, yang dinilai masih tinggi. Namun, ia berharap sistemnya lebih jelas, misalnya dalam pengelompokan siswa agar tidak tumpang tindih dengan program sekolah rakyat yang dibuat oleh pemerintah pusat.
“Sementara kanDi Indonesia sendiri, Bapak Presiden kita telah menetapkan sebuah program yaitu sekolah rakyat. Nanti bagaimana sistemnya, siapa yang akan dibawa ke sekolah negeri, siapa yang akan dibawa ke sekolah rakyat, saya berharap kedepannya lebih jelas lagi. Bagaimana cara pembagiannya, sistemnya dan lain-lain. Takutnya nanti programnya juga tumpang tindih. Nanti sekolah negeri terlalu banyak tapi di sekolah rakyat kosong.or (atau) sebaliknya,” terangnya.
Rio mengakui bahwa ruang kelas terasa lebih sempit dan pengap dengan jumlah siswa sebanyak 44 orang. Kondisi ini memengaruhi proses pembelajaran secara eksternal. Ia menekankan bahwa inti dari keberhasilan program ini terletak pada kemampuan guru dalam beradaptasi.
“Insya Allah jika guru dapat mengakomodasi dengan baik, mampu menjadipublic speakeryang baik, siswa juga akan mendengarkan dengan baik dan tidakboring,” tutupnya.

Menurut Rumaisha Ervira Claudya, seorang siswa kelas X, jumlah 44 siswa dalam satu kelas dapat membantu memperluas sosialisasi dengan teman-temannya. Namun menurut Nazriel Imam Nursantoso, siswa kelas X yang lain, 44 siswa dalam satu kelas terlalu banyak dan sering membuat suasana menjadi pengap.
Di 36 orang saja sudah merasa panas, apalagi 44 orang seperti itukan, ditambah lagi, satu kipas saja sepertinggak berfungsi,” keluhnya.