SINGAPURA menganggap turbulensi udara berat sebagai ancaman utama dalam penerbangan. Negara ini menempatkanturbulensisejajar dengan bahaya tabrakan di udara dan pendaratan darurat.
Keputusan ini menjadikan Singapuranegara pertama yang mengambil tindakan tersebut, menyusul dua kejadian serius tahun lalu yang melibatkan pesawat Singapore Airlines, di mana satu penumpang meninggal dan banyak lainnya cedera.
Berdasarkan pernyataan Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS), kejadian perubahan angin mendadak yang tidak terdeteksi oleh radar dan mampu menggoyang pesawat tanpa pemberitahuan sebelumnya, kini dianggap sebagai ancaman keselamatan operasional berlevel nasional.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim disebut sebagai faktor yang memicu peningkatan jumlah kejadian turbulensi udara jernih (clear-air turbulence) di berbagai belahan dunia dalam sepuluh tahun terakhir. Jenis turbulensi ini kini menjadi penyebab utama cedera pada penumpang dan kru pesawat dalam penerbangan internasional.
Insiden paling serius terjadi pada Mei 2024, ketika pesawat Boeing 777 yang terbang dari London ke Singapura mengalami turbulensi parah di atas Burma. Pesawat mengalami guncangan hebat hingga membuat penumpang yang tidak memakai sabuk pengaman terlempar ke atap pesawat. Seorang laki-laki berusia 73 tahun meninggal akibat serangan jantung, sementara puluhan orang lainnya mengalami cedera. Kejadian serupa terjadi pada September 2024 di atas Hong Kong, menyebabkan seorang penumpang dan satu anggota kru terluka.
“Sejumlah kejadian serius belakangan ini menjadi pengingat bahwa kita tidak boleh mengabaikan dan harus terus mempertahankan standar keselamatan penerbangan,” kata Han Kok Juan Direktur Jenderal CAAS, sebagaimana dilaporkan dariThe Times.
Respons Maskapai Internasional
Maskapai penerbangan lain di Asia juga mulai menyesuaikan protokol mereka. Korean Air, misalnya, menghentikan penyajian mi instan di pesawat guna mengurangi potensi cedera akibat turbulensi. Di sisi lain, beberapa maskapai memperluas penggunaan tanda sabuk keselamatan serta mengubah cara penyajian minuman panas.
Di Amerika Serikat, turbulensi juga menjadi isu yang sangat serius. Pekan lalu, penerbangan United Express di Texas menyebabkan dua penumpang harus mendapat perawatan medis dan 37 orang lainnya mengalami cedera. Data dari otoritas penerbangan AS menunjukkan bahwa antara tahun 2009 hingga 2022, setidaknya 163 orang mengalami cedera parah akibat turbulensi.
Upaya Global Menghadapi Turbulensi
Singapura, bersama dengan Korea dan Jepang, telah mengajukan permohonan resmi kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) agar turbulensi dimasukkan secara resmi dalam rencana keselamatan global tahun 2026. Tindakan ini diharapkan dapat memicu pengembangan regulasi baru serta penelitian lanjutan.
Kerja sama internasional juga melibatkan program “Turbulence Aware” yang dimiliki oleh Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), yang memungkinkan pesawat berbagi informasi tentang turbulensi secarareal time. Selain itu, teknologi kecerdasan buatan sedang dikembangkan untuk memprediksi perubahan arus jet, yaitu aliran udara sempit pada ketinggian 30 ribu kaki yang berdampak besar terhadap stabilitas penerbangan.
Selain itu, angin turbulensi sering muncul secara tiba-tiba tanpa ada peringatan, sehingga penumpang dan kru yang tidak memakai sabuk pengaman berisiko mengalami cedera. Pada kondisi yang parah, guncangan bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu, otoritas penerbangan menekankan pentingnya disiplin dalam menggunakan sabuk pengaman sepanjang penerbangan, bahkan ketika lampu sabuk pengaman dimatikan, guna mengurangi risiko dari fenomena ini yang semakin meningkat.
Kinar Laimaura berperan dalam penyusunan artikel ini.