Fenomena Inses sebagai Masalah Sosial yang Mengkhawatirkan
Di tengah perkembangan dunia modern, fenomena inses atau hubungan sedarah masih menjadi isu yang sangat tabu dan dilarang di berbagai kalangan masyarakat. Di Indonesia, hal ini sering kali dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai agama serta budaya.
Beberapa waktu lalu, jagat media sosial sempat diramaikan oleh beberapa postingan yang memicu perdebatan. Tangkapan layar pesan-pesan tertentu mencoba menggiring opini publik untuk bebas berimajinasi. Namun, tindakan-tindakan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang selama ini dianut oleh masyarakat luas.
Khususnya di Kota Palangka Raya, masyarakat menilai bahwa tindakan tersebut tidak dapat diterima. Hal ini juga mendapat perhatian dari berbagai organisasi keagamaan, termasuk Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Kalteng.
Pandangan dari PGI Wilayah Kalteng
Menurut Ketua Umum PGI Wilayah Kalteng, Pdt. Ayang Setiawan Tundan melalui Sekretaris Umum PGIW Kalteng, St. Dr. Parluhutan Dodo. B., MP, inses dianggap sebagai penyakit masyarakat. Ia menjelaskan bahwa dalam Alkitab, hubungan sedarah termasuk dosa yang sangat dimurkai oleh Tuhan.
Bahkan dalam kitab Kejadian 19, kisah tentang Sodom dan Gomora menunjukkan bagaimana masyarakat di sana melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan, termasuk hubungan sesama jenis dan keluarga sendiri. Akibatnya, Tuhan memberikan hukuman berupa api yang menghancurkan kota tersebut dan seluruh penduduknya.
Pdt. Ayang Setiawan Tundan menegaskan bahwa tindakan seperti ini tidak boleh terjadi di Bumi Tambun Bungai. Oleh karena itu, gereja memiliki peran penting dalam mencegah penyebaran penyakit sosial tersebut.
Edukasi dan Pembinaan di Gereja
Ketua III PGIW Kalteng, Pdt. Jevta Ay, STh menyampaikan bahwa pihak gereja telah secara khusus mengajarkan kepada anak-anak, remaja, hingga pemuda tentang pentingnya menjaga hubungan dalam pernikahan sesuai dengan perintah Tuhan.
Dalam proses pembinaan, gereja menyediakan konseling pra nikah yang biasanya dilakukan tiga bulan sebelum pernikahan. Melalui konseling ini, calon pasangan pernikahan dibekali dengan pengetahuan dan kesadaran akan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Selain itu, setiap pengajaran di gereja memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Di setiap tahap, jemaat diajarkan firman Tuhan yang berkaitan dengan hubungan seksual dan kehidupan bermoral. Dalam setiap pertemuan dengan jemaat, topik ini selalu dibahas secara intensif agar pergaulan anak muda bisa lebih terarah dan benar.
Peran Pendeta dan Majelis Gereja
Para tokoh gereja menekankan pentingnya peran pendeta dan majelis gereja dalam menjalankan tugas pelayanan dengan baik. Mereka harus mampu menyentuh seluruh lapisan jemaat agar dapat memberikan bimbingan spiritual dan moral yang kuat.
Selain itu, pengajaran tentang inses dan tindakan menyimpang lainnya perlu dipertegas sesuai dengan firman Tuhan. Masyarakat gereja diharapkan tidak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, tidak mudah terprovokasi, atau terbujuk rayu.
Peringatan untuk Masyarakat
Tidak hanya fokus pada inses, para tokoh gereja juga mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap berbagai bentuk paham menyimpang yang dapat merusak moral dan ideologi bangsa. Beberapa ancaman yang perlu diperhatikan antara lain radikalisme, terorisme, dan intoleransi.
Dengan kesadaran dan edukasi yang tepat, masyarakat dapat lebih bijak dalam menghadapi tantangan-tantangan moral yang semakin kompleks di era modern ini.