Setengah Hari di Gurdwara: Menjelajahi Budaya Sikh di Medan

Setengah Hari di Gurdwara: Menjelajahi Budaya Sikh di Medan





,


Medan


– Matahari mulai terik saat tiba di

Gurdwara

Sri Guru Nanak Dev Ji di Jalan Teuku Umar Nomor 14-16, Kota Medan. Rumah ibadah umat Sikh ini, sebelah kanannya berdiri Kuil Sri Mariamman. Sebelah kiri, ada Perguruan Nasional Khalsa. Sekolah tua yang pernah jaya dan terkenal karena satu-satunya yang menggunakan kurikulum Cambridge di Kota Medan.

Pintu gerbang terkunci, pengunjung diarahkan masuk dari sekolah yang dikelola Yayasan Sikh Medan. Begitu melewati gerbang besi, pandangan disambut lapangan luas yang dikelilingi bangunan ruang belajar setinggi empat lantai yang kosong. Beberapa mobil parkir di sudut kanan, dekat lapangan basket. Di lantai empat sisi kiri, beberapa tukang terlihat sedang bekerja.

Terus berjalan ke sisi kiri, terlihat gerbang menuju Gurdwara. Sayup-sayup terdengar senandung dan irama. Setelah mencuci tangan dan kaki, menutup kepala,

Tempo

menaiki beberapa anak tangga dan masuk ke ruangan yang mirip masjid. Beberapa perempuan dan laki-laki sudah berada di sana, duduk di lantai mendengarkan pinandita membaca bait-bait (Shabad) dalam Sri Guru Granth Sahib, menggunakan alat musik seperti harmonium, tabla, dan lainnya, yang disebut Shabad Kirtan.

Sri Guru Granth Sahib, kitab suci yang dianggap guru abadi umat Sikh, tebalnya 1430 halaman. Berisi kumpulan ajaran dan puisi yang disusun dan dikompilasi guru-guru Sikh, dimulai dari pendiri Sikhisme Guru Nanak Dev pada 1469 sampai Guru Gobind Singh pada 1708.

Kitab itu ditaruh di atas bantal yang ditutup kain warna-warni, di bawah kubah biru, yang terletak di tengah ruangan (Darbar Sahib) yang ditinggikan. Tempat itu dikelilingi bunga-bunga dan hiasan dengan simbol-simbol tertentu. Setiap jemaat yang datang, meyembahhnya dan menyelipkan sumbangan ke tempat yang sudah disediakan.

Selesai ibadah, pandita mengambil panci besi berisi Karah Prasad. Membagikan sekepal makanan suci itu ke tangan semua orang yang hadir, walau bukan umat Sikh. Ajaran warisan Guru Nanak ini, menekankan pentingnya berbagi dan memberi kepada orang lain dengan kerendahan hati, kasih sayang, dan pelayanan tanpa pamrih.

“Ini tepung beras, gula dan minyak sapi. Cuma pendeta yang memasaknya,” kata seorang jemaat perempuan sambil memasukkan kudapan ke mulutnya, Rabu 13 Mei 2025. Rasanya seperti dodol atau jenang dengan aroma minyak sapi yang kentara.

Beranjak keluar Darbar Sahib,

Tempo

diajak menuju Guru Ka Langgar, makan bersama di dapur yang bersih dan asri. Makanan dan minuman disediakan gratis, menunya vegetarian. Selembar roti canai, dikuahi sup kacang hijau dengan labu kuning atau Dal, serta sepotong bakwan sayur (Pakora). Semuanya enak, menyesal hanya ambil sedikit. Selesai makan, masing-masing mengangkat piring dan memberikannya kepada relawan yang sudah menunggu.



Roti Canai dikuahi Dal dan Pakora di Guru Ka Langgar, Gurdwara Sri Guru Nanak Dev Ji, Kota Medan. Tempo/Mei Leandha

Datang dari Punjabi

Ketua Perkumpulan Sosial Guru Nanak Kota Medan Manaishwer Singh terlihat sibuk. Sempat kembali ke Gurdwara memimpin doa untuk jemaat. Hampir satu jam menunggu, akhirnya pria berusia 70 tahun yang ramah, menyilakan

Tempo

masuk ke ruangannya. Perbincangan terputus-putus karena generasi keempat

Sikh

di Kota Medan itu, harus meladeni dan menyapa tamu yang datang.

“Hari ini tanggal 1 Jeth. Bukan tahun baru, tapi pergantian bulan. Banyak acara…” ucapnya memulai cerita kedatangan warga India ke Sumatra Utara.

Orang Sikh, kata Manaishwer, pertama kali menginjakkan kaki di Sumut pada 1884. Dari Punjabi mereka jalan darat ke Kalkuta, lalu naik kapal ke Malaka dan berlabuh di Pulau Pinang, Malaysia. Di Pulau Pinang, ada Gurdwara berusia ratusan tahun yang sampai berdiri hingga saat ini. Di tempat itu ada banyak kamar untuk tempat tinggal sementara sebelum menyeberang ke perairan terdekat yaitu Aceh dan Medan.

“Mulailah berdatangan orang Sikh. Ada yang pensiunan serdadu Inggris, memilih menetap di sini. Menjadi petugas keamanan perkebunan, dokter, guru, peternak dan pedagang. Kamilah sekarang keturunannya.

Papa

saya masuk ke Indonesia umur sembilan tahun. Di jaman Belanda, dia juara lari marathon,” katanya tertawa.

Di

Medan

, masyarakat India bermukim di kawasan Kampung Keling yang sekarang disebut Little India, Kesawan, Polonia, Kampung Angrung, Gedung Johor, dan Sunggal. Mulai membutuhkan rumah ibadah dan sarana pendidikan, bangunan kecil Gurdwara Sri Guru Nanak Dev Ji mulai berfungsi pada 1920. Seiring berjalannya waktu, diperbesar pada 1928 sampai sekarang. Tanahnya hibah dari G Dalip Singh Bath, seorang pengusaha kaya. Pembangunannya gotong royong dari sumbangan umat.

Begitu juga dengan Sekolah Khalsa, dibangun dan berfungsi pada 1931. Awalnya disebut Saint George’s School, kemudian diganti menjadi Khalsa English School. Pada 1964 berganti nama lagi menjadi Khalsa Indian School. Delapan tahun kemudian, tepatnya 1972, berganti menjadi Perguruan Nasional Khalsa sampai sekarang. Tingkatannya mulai Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Ini bukan Gurdwara tertua, yang paling tua di Kota Tebingtinggi, dibangun pada 1911. Bentuknya mirip seperti di India, seperti masjid. Di Medan, ada empat Gurdwara, di luar Medan ada tiga lagi. Umat Sikh di Sumatra Utara sekitar 6.000-an orang,” sebutnya.



Ketua Perkumpulan Sosial Guru Nanak Kota Medan Manaishwer Singh. TEMPO/ Mei Leandha

Menurut Manaishwer, salah satu cara menyatukannya umat Sikh yang sudah menyebar ke mana-mana lewat pendidikan. Para orangtua menyekolahkan anak-anaknya di Khalsa. Ada yang datang dari Kota Binjai, Siantar, Jakarta sampai Pulau Pinang. Guru mata pelajaran umum kebanyakan warga lokal, para alumni dan sukarelawan dari perkumpulan.

Banyak alumni yang terkenal, contohnya dokter forensik Amar Singh yang saat ini menjadi guru besar di Universitas Sumatra Utara (USU) dan Kirpal Singh Narang yang sempat menjadi wakil rektor Universitas Punjabi, India.

“Ini gurdwara, sebelum kemerdekaan, sekitar 1930 sampai 1940, ada tempat tinggal untuk orang yang datang dari jauh. Pada 1995 sekolah ditutup, murid-murid dipindahkan ke sekolah lain,” ucapnya.

Sejak itu, sekolah hanya dibuka setiap pekan, menjadi Sekolah Minggu. Buka kelas belajar gratis membaca dan menulis Bahasa Punjabi mulai pukul 8.30 sampai 10.30 WIB. Sekolah ini bertujuan untuk menyiapkan generasi muda Sikh bisa berbahasa ibu dan membaca Sri Guru Granth Sahib.

Tapi belakangan, banyak alumni meminta agar sekolah dibuka kembali. “Rencananya tahun depan. Saat ini sedang renovasi. Kurikulumnya tetap sama, cuma sistem pengajarannya berubah, mengikuti saat ini,” katanya lagi.

Kembali ke Gurdwara Sri Guru Nanak Dev Ji, Manaishwer menambahkan, perayaan yang paling sering digelar adalah Vaisakhi dan Gurpurab yaitu hari kelahiran Guru Nanak. Biasanya dirayakan pada November sesuai kalender Nanakshahi.

Sudah seabad, tapi belum diakui

Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya USU, Aziz Rizki Lubis mengatakan, pada abad ke-19, Sumatra Timur berbondong-bondong didatangi orang-orang India. Saat itu, perkebunan sedang marak dibuka. Mereka datang untuk bekerja. Awal abad 20, mulailah bermunculan komunitas Sikh yang ditandai dengan munculnya Gurdwara pertama di Kota Tebingtinggi. Semakin berkembang pascakemerdekaan.

“Tidak semua memetik tembakau, ada yang menjadi kusir pengangkut hasil kebun, sebelum kereta api muncul. Dari dulu, mereka beternak dan berdagang, mengantar susu setiap pagi. Tapi tetap fokus utama pendidikan. Mereka lebih maju dari etnis India lainnya, makanya ada Sekolah Khalsa yang khusus mengajar bahasa Inggris,” kata Aziz.

Umat Sikh menolak disebut mirip Hindu karena ajaran Guru Nanak Dev menolak kasta dan pemujaan dewa-dewi. Kalau disebut mirip Islam, tidak juga menerima sepenuhnya, hanya saja banyak kesamaan. Misalnya percaya dengan satu Tuhan, rumah ibadahnya mirip masjid, harus bersuci saat memasuki Gurdwara, menghormati kitab suci, menutup kepala, dan lainnya.



Gurdwara Sri Guru Nanak Dev Ji di Jalan Teuku Umar Nomor 14-16, Kota Medan. TEMPO/ Mei Leandha

Namun, sejak hadir, tumbuh dan berkembang di Kota Medan, keberadaannya diterima. Tidak pernah terjadi konflik agama. Masalahnya saat ini, meski sudah lebih satu abad umurnya, Sikh belum diakui negara sebagai agama resmi.

“Kalau kita menjunjung multi kultural, menjunjung kebersamaan, harusnya kawan-kawan Sikh diberi ruang secara resmi, khususnya oleh pemerintah daerah. Yang jelas, apakah mereka diakui atau tidak, mereka tetap ada, adem-adem aja…” katanya.

Azis senang mendengar sekolah akan dibuka kembali. Sebab, Sekolah Khalsa punya cerita luar biasa dan melahirkan orang-orang yang luar biasa juga. Pemerintah baiknya memberi perhatian dan bantuan kepada sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang sejarah, apalagi yang memberikan perkembangan dan kemajuan pendidikan di Kota Medan.

“Kalau dulu, siapa yang gak kenal Sekolah Khalsa, sudah pasti lancar bahasa Inggris-nya,” kata Aziz mengakhiri percakapan.