, SOLO– Es puter adalah salah satu kuliner di Solo, Jawa Tengah, yang sarat sejarah dan nostalgia.
Kehadirannya tak bisa dilepaskan dari pengaruh kolonial Belanda yang memperkenalkan es krim ke Nusantara.
Namun, karena harga susu sapi saat itu sangat mahal, masyarakat Indonesia mencari cara untuk membuat versi mereka sendiri yang lebih terjangkau.
Dari situlah lahir es puter, si “es krim rakyat” yang gurih, manis, dan menyegarkan.
Dari Es Krim Kolonial ke Es Santan Nusantara
Pada masa kolonial, es merupakan barang mewah.
Pabrik es pertama di Indonesia, Pabrik Es Petojo, berdiri sekitar tahun 1870-an dan menjadi simbol kemewahan kala itu.
Hanya kalangan tertentu yang bisa menikmati es krim berbahan susu impor.
Masyarakat lokal, dengan kreativitasnya, mulai bereksperimen dengan bahan-bahan yang mudah ditemukan.
Susu diganti dengan santan kelapa, gula digunakan sebagai pemanis, dan buah-buahan lokal seperti nangka, kelapa muda, atau durian ditambahkan sebagai pelengkap.
Hasilnya adalah es krim versi tropis dengan rasa khas Nusantara yang kemudian dikenal dengan nama es puter.
Asal Nama dan Proses Pembuatan
Nama “es puter” berasal dari cara pembuatannya.
Campuran santan, gula, dan bahan tambahan dimasukkan ke dalam tabung logam, lalu tabung itu diputar-putar di dalam es batu dan garam agar membeku perlahan.
Proses ini menciptakan tekstur es yang lembut namun sedikit kasar, berbeda dari es krim susu yang halus sempurna.
Selain “es puter,” hidangan ini juga dikenal dengan berbagai nama seperti es dung dung, es tung tung, atau es podeng.
Sebutan “dung dung” berasal dari suara gong kecil yang dipukul pedagang keliling saat menjajakan dagangannya, bunyi khas yang dulu sering terdengar di jalan-jalan kampung pada siang hari.
Cara Penyajian yang Sederhana namun Ikonik
Penyajian es puter terkenal sederhana dan merakyat.
Es biasanya disajikan di atas cone berbentuk kerucut, diapit dua lembar roti tawar, atau disajikan dalam gelas kaca kecil.
Untuk menambah rasa dan tekstur, sering kali ditambahkan kacang tanah sangrai, ketan hitam, potongan buah nangka, sagu mutiara, atau serutan kelapa muda.
Kombinasi santan yang gurih, manisnya gula, dan aroma buah tropis membuat es puter menjadi hidangan yang tak hanya menyegarkan, tetapi juga sarat kenangan.
Simbol Kehangatan di Hajatan Jawa
Dalam tradisi pernikahan Jawa, setiap hidangan memiliki urutan dan makna tersendiri.
Sajian dimulai dengan teh manis dan makanan ringan, dilanjutkan dengan sop manten atau selat Solo sebagai hidangan pembuka yang gurih.
Setelah makanan utama seperti nasi dan lauk pauk dihidangkan, acara ditutup dengan sajian penutup dan di sinilah es puter sering kali muncul.
Kehadiran es puter di akhir acara bukan hanya sebagai penutup rasa, tetapi juga sebagai penanda waktu kondur (pulang) bagi tamu undangan.
Biasanya, es puter disajikan sedikit belakangan agar para tamu dapat bercengkrama lebih lama sebelum berpamitan.
Filosofi ini mencerminkan keramahtamahan khas masyarakat Jawa yang ingin memastikan tamunya pulang dengan hati yang manis, sebagaimana rasa es puter itu sendiri.
(*)






