news  

RSUD Al Ihsan Jadi Rumah Sakit Berwajah Kemanusiaan, Akademisi Kehilangan Jawaban

RSUD Al Ihsan Jadi Rumah Sakit Berwajah Kemanusiaan, Akademisi Kehilangan Jawaban

Perubahan Nama Rumah Sakit dan Kritik terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah

Pergantian nama RSUD Al Ihsan menjadi Welas Asih oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi memicu berbagai perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi. Salah satu tokoh yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan ini adalah Suwatno, dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Menurutnya, keputusan tersebut tidak didasari partisipasi publik yang cukup, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang niat dan dasar pengambilan keputusan.

Suwatno menyoroti pentingnya adanya proses survei atau public hearing sebelum mengambil keputusan besar seperti pergantian nama institusi. Ia mempertanyakan apakah ada aspirasi masyarakat yang benar-benar mendukung perubahan tersebut, atau justru hanya sekadar hasil dari selera pribadi yang disampaikan dalam bentuk dalih kebudayaan.

Pentingnya Proses Sosial dalam Pengambilan Keputusan

Menurut Suwatno, pemerintahan daerah seharusnya tidak gegabah dalam membuat keputusan yang berdampak luas. Proses pengambilan keputusan harus didasarkan pada riset sosial yang memadai, agar tidak terjadi kesalahan yang bisa merugikan masyarakat.

Selain itu, ia menilai bahwa energi, anggaran, dan perhatian seharusnya difokuskan pada perbaikan sistem layanan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta pembenahan infrastruktur rumah sakit. Perubahan nama, menurutnya, tidak akan langsung meningkatkan kualitas pelayanan. Branding bukan hanya tentang nama, tetapi juga pengalaman, persepsi, dan reputasi yang dibangun melalui kerja keras dan dedikasi.

Rebranding Tidak Cuma Urusan Simbol

Rebranding, kata Suwatno, merupakan proses strategis yang kompleks. Ini melibatkan perubahan elemen-elemen identitas organisasi seperti nama, logo, slogan, desain visual, citra, dan nilai-nilai merek. Tujuannya adalah untuk membentuk persepsi baru di benak konsumen agar relevan dan kompetitif.

Dalam dunia komunikasi dan manajemen merek, nama bukan hanya simbol semata, tetapi representasi dari reputasi, sejarah, persepsi masyarakat, dan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam benak publik. Nama Al Ihsan bukan sekadar nuansa Arab, tetapi brand yang dikenal dan melekat dalam top of mind masyarakat.

Mengubahnya berarti mengulang proses panjang membangun awareness, citra, dan kepercayaan dari nol. Setiap brand memiliki investasi tak ternilai dalam bentuk memori kolektif. Jika dengan mudah diganti, justru menunjukkan bahwa kebijakan ini tampak lebih politis daripada rasional.

Konsekuensi Biaya dan Kompleksitas

Perubahan nama institusi tidak hanya sekadar memodifikasi baliho atau mengganti desain logo di kop surat. Ada konsekuensi biaya besar yang mengikuti, mulai dari cetak ulang dokumen, desain ulang atribut visual, penggantian logo di ambulans, seragam, bangunan, papan petunjuk arah, hingga sistem informasi digital.

Lebih lanjut, Suwatno menekankan bahwa kata “Ihsan” dalam nama Al Ihsan memiliki konotasi positif, yakni kebaikan, keikhlasan, dan pelayanan optimal. Nilai-nilai ini sejalan dengan semangat kemanusiaan universal dan tidak bertentangan dengan kearifan lokal. Bahkan, ia menilai bahwa nama bernuansa Arab tidak asing bagi masyarakat Sunda, karena memiliki hubungan historis dan kultural yang erat dengan Islam.

Kebijakan Publik Harus Berangkat dari Partisipasi

Dalam demokrasi yang sehat, kebijakan publik seharusnya berangkat dari proses konsultasi, keterlibatan publik, dan pengkajian yang mendalam. Kebijakan semacam ini perlu diuji secara akademik, dikaji dampaknya, dan dilandaskan pada urgensi objektif, bukan intuisi semata.

Survei tentang pro dan kontra perubahan nama akan jauh lebih elegan daripada sekadar mengandalkan persepsi pribadi penguasa. Penamaan institusi publik bukan ranah privat kepala daerah, namun milik rakyat, dan harus mencerminkan aspirasi rakyat. Jika tidak, maka kebijakan ini tak ubahnya menjadi simbolisasi kekuasaan yang tidak menyentuh kebutuhan publik secara nyata.

Fokus pada Perbaikan Layanan

Jika ingin menghadirkan wajah baru bagi rumah sakit kebanggaan Jawa Barat, Suwatno menyarankan untuk mulai dari hal yang esensial: meningkatkan mutu pelayanan, menjamin ketersediaan tenaga medis, mempercepat layanan, dan memperbaiki sistem manajemen. Ini adalah langkah nyata yang dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.