Risiko Wedge di BUMN: Ketimpangan Hak Kendali dan Risiko Ekonomi

Risiko Wedge di BUMN: Ketimpangan Hak Kendali dan Risiko Ekonomi

Konsep wedge dalam tata kelola perusahaan, mengacu pada ketimpangan antara hak suara (voting rights) dan hak atas arus kas (cash flow rights) yang dimiliki oleh pengendali perusahaan. Ketimpangan ini menimbulkan moral hazard karena memungkinkan pengendali untuk memaksimalkan kontrol terhadap perusahaan tanpa menanggung risiko ekonomi secara sepadan. Fan dan Wong (2005) menunjukkan bahwa pemisahan antara kontrol dan kepemilikan ekonomi ini menjadi sumber utama kelemahan tata kelola, terutama di pasar negara berkembang dengan struktur kepemilikan terkonsentrasi seperti di banyak negara Asia.

Wedge di BUMN muncul ketika negara, melalui pejabat yang diberi kewenangan, memiliki kekuasaan strategis dalam pengambilan keputusan penting perusahaan, namun tidak menanggung secara langsung kerugian atau dampak finansial dari keputusan tersebut. Hak suara diwujudkan melalui pengangkatan direksi, penetapan strategi perusahaan, serta kepemilikan atas saham istimewa yang memberikan hak veto terhadap keputusan tertentu. Sementara itu, kerugian yang muncul akibat kesalahan strategi atau inefisiensi operasional tidak menimpa pengambil keputusan secara pribadi, tetapi ditanggung oleh negara secara kolektif melalui mekanisme fiskal. Di sinilah letak ketimpangan, penguasaan kontrol tidak diimbangi dengan tanggung jawab finansial.

Fan dan Wong (2005) mengidentifikasi bahwa dalam situasi seperti ini, pengendali cenderung memiliki insentif untuk melakukan ekspropriasi terhadap pemegang kepentingan lain melalui praktik-praktik seperti transaksi pihak berelasi, manipulasi laba, atau pengalihan aset.

Ekspropriasi di sini bermakna:

Penyalahgunaan kekuasaan pengendali dalam perusahaan untuk mengambil manfaat ekonomi pribadi dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham minoritas (Konflik agensi tipe II)

Fan dan Wong (2005) juga menemukan bahwa pasar merespons ketimpangan tersebut dengan memberikan diskon nilai terhadap perusahaan yang memiliki wedge besar, karena dianggap lebih berisiko dan kurang kredibel. Di sinilah pentingnya keberadaan mekanisme pengawasan yang efektif untuk mengurangi risiko ekspropriasi dan menjaga kredibilitas laporan keuangan. Namun, efektivitas pengawasan menjadi terbatas jika pengendali memiliki kekuasaan yang dominan dan tidak tunduk pada mekanisme akuntabilitas eksternal yang kuat.

Risiko wedge dalam BUMN menjadi lebih signifikan ketika entitas tersebut menjalankan fungsi ganda. BUMN bertindak sebagai badan usaha komersial dan sekaligus instrumen kebijakan publik. Keputusan investasi atau ekspansi pada situasi ini dapat terdorong oleh pertimbangan politik jangka pendek, bukan oleh rasionalitas bisnis. Akibatnya, terjadi alokasi sumber daya yang tidak efisien dan pemborosan anggaran yang berpotensi merugikan kepentingan publik. Ketika tidak ada keterkaitan langsung antara risiko ekonomi dan pengambil keputusan, maka dorongan untuk bertindak hati-hati dan akuntabel menjadi lemah.

Fan dan Wong menyimpulkan bahwa upaya penguatan tata kelola di negara berkembang tidak cukup dilakukan melalui reformasi standar akuntansi atau transparansi formal saja.

Perubahan tata kelola BUMN tidak akan efektif jika hanya berfokus pada reformasi prosedural atau peningkatan transparansi formal. Diperlukan intervensi kelembagaan yang memastikan bahwa otoritas pengendali turut menanggung beban risiko dari keputusan strategis yang diambil. Hal ini dapat diwujudkan melalui perancangan sistem insentif berbasis kinerja jangka menengah, penguatan mekanisme clawback atas kerugian signifikan, serta pemisahan yang tegas antara fungsi komersial dan fungsi pelayanan publik di tubuh BUMN. Selain itu, perlu ada pengawasan independen terhadap kewajaran keputusan korporasi yang dijalankan atas nama negara, guna menekan potensi ekspropriasi dan konflik kepentingan. Tanpa rekonstruksi struktur tanggung jawab yang sepadan dengan hak kendali, risiko wedge akan terus menggerogoti nilai ekonomi BUMN dan mengaburkan akuntabilitas publik yang seharusnya dijaga.

Referensi:

Fan, J. P. H., & Wong, T. J. (2005). Do external auditors perform a corporate governance role in emerging markets? Evidence from East Asia. Journal of Accounting Research, 43(1), 35–72.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com