.CO.ID, PADANG – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto memberikan tanggapan atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menyatakan bahwa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta madrasah atau jenjang pendidikan setingkat tersebut tidak boleh menetapkan biaya bagi siswa-siswanya, sehingga layanan ini menjadi gratis. Ia menjelaskan bahwa keputusan dari MK bersifat final dan wajib dijalankan dengan patuh.
“Mengingat keputusan MK bersifat final dan wajib diterapkan, namun penyesuaiannya akan berdasarkan pada perencanaan fiskal,” ungkap Bima Arya Sugiarto selaku Wamendagri dalam keterangan di Padang, Sumatera Barat, Kamis (30/5/2025).
Menurut Bima, saat ini berbagai kabupaten dan kota di wilayah tengah proses menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Proses ini memerlukan penyesuaian agar dapat disinkronisasikan dengan Standar Layanan Minimal bagi publik. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-XXII/2024, Kementerian Dalam Negeri langsung mengadakan pertemuan gabungan dengan pemimpin pemerintahan daerah, termasuk para kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dari seluruh Indonesia.
Menurutnya, keputusan MK tentang pendidikan gratis untuk jenjang SD, SMP, serta madrasah setingkat tersebut harus didiskusikan lebih lanjut terlebih dahulu sebelum benar-benar diterapkan.
Mahkamah Konstitusi telah menentukan bahwa negara, khususnya pemerintahan pusat dan lokal, wajib menyediakan layanan pendidikan dasar secara gratis untuk satuan pendidikan seperti SD, SMP, serta madrasah atau institusi sejenis, termasuk baik sekolah milik pemerintah maupun swasta.
“Menyetujui bagian dari permohonan para pemohon,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan isi putusan nomor 3/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, pada hari Selasa.
MK mengemukakan bahwa ungkapan “harus mendapatkan pendidikan paling tidak sampai tingkat pendidikan dasar tanpa dipungut biaya” yang terdapat di Pasal 34 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), telah menciptakan interpretasi ganda serta penyebaran perlakukan yang berbeda-beda, sehingga kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa frasa “harus mengikuti pendidikan setidaknya hingga tingkat dasar tanpa dipungut biaya” yang diterapkan hanya untuk sekolah negeri bisa menyebabkan ketimpangan dalam akses kependidikan dasar bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta.
Secara sebenarnya, undang-undang dasar tidak menetapkan jenis pendidikan dasar apa saja yang harus ditanggung oleh pemerintah. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengharuskan negara mendanai pendidikan dasar bertujuan supaya seluruh rakyat bisa menjalankan hak mereka untuk berpartisipasi dalam pendidikan dasar tersebut.
“Dalam konteks ini, pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 perlu diartikan sebagaimana mestinya sebagai pendidikan dasar; termasuk yang dikelola oleh pemerintah dan negara serta yang dikendalikan oleh masyarakat atau sektor swasta,” jelas Enny.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), apabila pernyataan “harus menempuh pendidikan paling tidak sampai tingkat pendidikan dasar dan itu gratis” ditafsirkan hanya berlaku bagi sekolah negeri saja, hal ini sebenarnya mencerminkan ketidakpedulian terhadap kondisi bahwa kapasitas tempat duduk yang terbatas di sekolah negeri membuat banyak siswa harus melanjutkan studinya di sekolah swasta dengan biaya tambahan yang lebih mahal.
Berdasarkan alasan tersebut, MK dalam keputusannya merombak bunyi pasal frasa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menjadi “Pemerintah serta pemerintahan di daerah bertanggung jawab untuk menyediakan layanan wajib belajar sekurangnya hingga tingkat pendidikan dasar tanpa adanya pemungutan biaya, termasuk bagi satuan pendidikan dasar yang dikelola oleh pemerintah ataupun satuan pendidikan dasar yang dikendalikan oleh masyarakat”.