Rencana Tony Blair, Israel Tertipu Beruang

Rencana Tony Blair, Israel Tertipu Beruang

Perangkap Beruang dalam Konflik Israel-Palestina

Bendera Palestina berkibar di London, sebuah tanda yang menunjukkan perubahan signifikan dalam dinamika politik global. Tidak hanya sebagai simbol kebangkitan semangat rakyat Palestina, tetapi juga sebagai indikasi bahwa dunia mulai mengubah pandangan terhadap konflik ini. Banyak pihak menyebutnya sebagai “perangkap beruang” dalam konteks investasi, namun dalam konteks politik dan diplomasi, ini lebih mirip dengan strategi yang memancing Israel untuk membuat kesalahan besar.

Perangkap beruang muncul ketika Presiden AS Donald Trump melakukan pembicaraan dengan PM Inggris Keir Starmer di London. Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan saat itu menjadi awal dari krisis diplomasi yang melibatkan banyak negara. Trump mencoba meyakinkan Inggris agar tidak mengakui Palestina sebelum sidang Umum PBB. Namun, langkah ini justru memicu reaksi dari negara-negara lain yang mendukung pengakuan Palestina.

Pengakuan Inggris terhadap Palestina, meskipun bersifat simbolis, memiliki dampak psikologis yang besar. Negara-negara seperti Kanada, Australia, New Zealand, Singapura, India, dan Afrika Selatan semakin kohesif dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Ini menciptakan tekanan politik yang signifikan terhadap Israel, yang seolah-olah tenggelam dalam optimisme yang tidak realistis.

Dalam konteks politik, “perangkap beruang” merujuk pada situasi di mana Israel terjebak dalam posisi yang merugikan mereka sendiri. Meski secara fisik tampak kuat, mereka justru kalah dalam diplomasi. Penghancuran Gaza, serangan terhadap gedung-gedung tinggi, serta pengusiran warga ke wilayah tidak aman, justru memberi kesan bahwa Israel gagal dalam upaya perdamaian.

Ketiga tokoh sayap kanan Israel—Benyamin Netanyahu, Bezalel Smotrich, dan Ittamar Ben Gvir—terlihat memainkan peran penting dalam situasi ini. Mereka mencoba menggambarkan bahwa Hamas adalah ancaman nyata, padahal pengakuan Palestina tidak sama dengan pengakuan terhadap Hamas. Inggris menjelaskan bahwa mereka tidak akan membatalkan pengakuan mereka karena Hamas hanyalah bagian dari proses menuju kemerdekaan, bukan seluruhnya.

Deadline yang diberikan oleh Inggris adalah akses bantuan ke Gaza, penolakan aneksasi Tepi Barat, dan gencatan senjata. Namun, semua ini diabaikan oleh Israel. Akibatnya, bendera Palestina berkibar di London, menandai perubahan arah politik internasional.

Negara-negara anggota Commonwealth seperti Kanada, Australia, dan New Zealand telah menunjukkan dukungan kuat terhadap Palestina. Ini membuktikan bahwa dunia mulai melihat Israel sebagai negara yang tidak bisa lagi mengabaikan tekanan internasional. Inggris sepertinya tidak memiliki hambatan untuk mendorong kemerdekaan Palestina. Pengakuan ini merupakan langkah awal menuju pembentukan negara baru bernama “Palestina”.

Pentingnya meratakan Gaza dan menghindari aneksasi Tepi Barat adalah bagian dari strategi Israel untuk membuat Gaza menjadi tanah tak bertuan. Namun, langkah ini justru memicu reaksi dari komunitas internasional, termasuk Mahkamah Internasional yang menyatakan wilayah tersebut sebagai wilayah pendudukan ilegal.

Deklarasi New York yang diprakarsai Arab Saudi dan Prancis tentang masa depan Gaza setelah perang mendapat dukungan luas. Ini menunjukkan bahwa dunia ingin melihat solusi yang adil dan berkelanjutan bagi Palestina.

Presiden Donald Trump, meski terlihat keras kepala, akhirnya mengakui bahwa kebijakan Israel tidak sepenuhnya didukung oleh oposannya. Pemimpin-pemimpin seperti Yair Lapid, Benny Gantz, dan Ehud Olmert tampak tidak sepenuh hati mendukung pendekatan ekstrem yang diambil oleh pemerintahan Sayap Kanan Israel.

Rencana Tony Blair tentang pembentukan otoritas transisi di Gaza, yang disetujui oleh Trump, menjadi alternatif untuk mengatur jalur Gaza setelah perang. Rencana ini tidak terkait dengan pengusiran warga atau ambisi pribadi dari tokoh-tokoh tertentu. Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA) akan menjadi pelaksana pemerintahan sementara sebelum diserahkan kepada otoritas Palestina yang dipilih nanti.

Tokoh-tokoh seperti Smotrich, Netanyahu, dan Ben Gvir ternyata masuk ke dalam “perangkap beruang”. Tindakan mereka yang berlebihan di Gaza justru membuat kawan maupun lawan malu. Dunia mulai menyadari bahwa Israel tidak bisa lagi bermain sendirian dalam menghadapi tekanan internasional.