PIKIRAN RAKYAT –
Ketidakharmonisan di elit eksekutif Pemerintah Provinsi Jawa Barat seperti diakui Wakil Gubernur Erwan Setiawan bukan hal aneh. Demikian ucap Pengamat Politik dari Universitas Langlabuana, Rafih Sri Wulandari.
Pengakuan Erwan yang menyebut tidak pernah dilibatkan bahkan diberi tahu agenda penting pemerintahan merupakan potret kondisi hubungan kepala daerah dengan wakilnya di sejumlah kota, kabupaten, maupun provinsi lain di Indonesia.
Rafih memandang, peran wakil wali kota atau bupati, juga wakil gubernur tak optimal di banyak daerah. Pasalnya, wakil kepala daerah bergerak berdasarkan pelimpahan dari gubernur, wali kota atau bupati.
Secara aturan, ucap dia, hal itu tertera dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Akan tetapi, idealnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan kesatuan pada lembaga eksekutif. Hal itu termasuk sekretaris daerah.
“Terutama kepala daerah dan wakil kepala daerah, mesti menjadi kesatuan utuh, bukan hanya kepentingan politik sesaat dalam pemenangan pemilihan (Pilkada, red). Saat pelantikan pun, kepala daerah dan wakil melaksanakan bersama-sama secara manunggal,” katanya.
“Berbagi tugas dengan melimpahkan ke wakil kepala daerah merupakan bagian dari kebijaksanaan kepala daerah,” ucap Rafih menambahkan.
Selain aspek legal, ia berpendapat, terdapat sejumlah hal yang menimbulkan ketakharmonisan di elite eksekutif Pemprov Jawa Barat. Salah satu di antaranya, kepercayaan di antara elite belum terbentuk utuh.
Terlepas ada regulasi, menurutnya, tak bijaksana seumpama kepala daerah tak mengoptimalkan keberadaan wakil. Apalagi, dalam konteks Jawa Barat, persoalan begitu kompleks dengan karakteristik kawasan beragam, misalnya Pantura, metropolitan Bandung Raya, Priangan Timur.
Perlu Direvisi
Dirinya memandang bahwa pasal dalam UU tersebut mesti direvisi, sebab tidak mencantumkan tugas dan fungsi wakil kepala daerah secara eksplisit atau gamblang.
Sejauh tak ada pengubahan pasal tugas dan wewenang pimpinan eksekutif daerah, potret kondisi serupa dapat terus berulang.
“Fungsi wakil kepala daerah yang tak optimal akibat lemahnya regulasi berkenaan pembagian kekuasaan kepala dan wakil kepala daerah,” ujar dia.
“Sebaiknya, revisi regulasi itu memuat pasal yang memungkinkan kepala daerah dengan wakil saling evaluasi, serta meredam gaya kepemimpinan
one man show
,” ucapnya lagi.
Pandangan terhadap Pengakuan Erwan
Di sisi lain, Rafih melihat, pernyataan Erwan Setiawan menyiratkan hal positif. Boleh jadi, anak Umuh Muchtar ini ingin bekerja sebagai wujud tanggung jawab kepada masyarakat yang telah memilihnya.
“Selama kontestasi pilkada Jawa Barat lalu, popularitas KDM begitu tinggi. Siapa pun pasangan wakil gubernur saat kontestasi pilkada, tampaknya KDM tetap jadi (gubernur),” kata dia.
“Dalam hal itu, Erwan beroleh keuntungan. Kendati demikian, boleh jadi Erwan ingin menunjukkan kinerja sebagai tanggung jawab kepada pemilihnya,” tutur Rafih Sri Wulandari mengakhiri.***