news  

Rasa Khas Kota Solo di Trotoar Jalan

Rasa Khas Kota Solo di Trotoar Jalan

Kembali ke Solo, Menikmati Bunga-Bunga Kuliner Trotoar

Pernah suatu ketika, beberapa tahun lalu, kota Solo berutang semangkuk soto Triwindu kepada diriku. Hanya karena aku datang pukul 17.00 WIB, saat kuah soto di dalam dandang warung soto itu tinggal sepah. Padahal, malam harinya aku harus pulang naik kereta ke Gambir. Tapi itu dulu. Tahun lalu utang itu sudah dibayar lunas. Semangkok soto daging sapi yang sedap itu sudah merayapi organ pencernaanku. Sebagian mungkin telah menjadi kolesterol di pembuluh darah, sebagian besarnya menjadi energi yang telah terbakar, sementara bagian sepahnya terbuang entah di mana.

Begitulah nasib makanan. Kita mengingatnya sewaktu terhidang di meja makan. Tapi lupa kapan dan di mana sepahnya dibuang. Gantian aku yang kemudian berutang pada kota itu. Pada 22-24 April 2025 yang lalu aku bersama istri berkunjung ke Solo untuk ikut acara keluarga besar. Bukan rahasia lagi, kota Solo adalah surga kuliner trotoar. Itu target sampingan kami datang ke kota itu. Rugi kalau tak menyempatkan diri menikmati aneka makanan enak yang tersaji di tepi jalan kota itu.

Begitulah, tiga hari di Solo, tiga warung kuliner kelas trotoar yang aku sendiri atau kami berdua kunjungi. Pertama, Kedai Bali di tepi Kali Pepe; kedua, angkringan serabi Bu Sri Yatno di Widuran; ketiga, warung tenda nasi liwet Bu Painah, juga di Widuran. Tiga warung atau angkringan itu kusebut sebagai bunga-bunga kuliner trotoar jalanan Solo. Aku berjanji paling lama akhir April 2025 sudah akan menulis tentang mereka. Faktanya, dua bulan lebih berlalu, aku belum menulis juga. Karena itu aku berutang tulisan kepada kota Solo. Kini dan di sini, aku mau bayar utangku.

Kedai Bali yang Rumah

Sinar matahari sore semburatkan merah dari balik awan di langit barat Solo. Udara kota berangsur hangat, menuju sejuk. Aku pamit pada istriku, cari kopi sore di warung tepi Kali Pepe. Sejak pagi aku belum minum barang seteguk kopi. Tadi subuh harus buru-buru mengejar kereta pagi pertama dari Senen ke Solo. Sebenarnya bisa saja beli kopi di gerbong restorasi. Tapi suara hati bilang, “Apa enaknya minum kopi dari wadah karton?”

Aku mengayunkan langkah ke Kedai Bali, menyusuri Jalan Wentar, tepi Kali Pepe, ke arah timur. Kedai itu hanya sekitar 200 meter jaraknya dari rumah keluarga besarku di Kebalen. Atau 50 meter ke barat dari belakang gedung Radio PTPN, yang berdiri di ujung timur blok Kebalen itu. Sebenarnya sudah sejak lama aku tahu keberadaan kedai itu. Sebab tiap kali ke Solo, aku pasti melintas di depannya, sekali dua kali bila keluar dari atau kembali ke rumah keluargaku.

“Maaf, apakah masih buka?” Aku bertanya, sambil melongok ke dalam dari pintu kedai yang terbuka. Ada seorang bapak tua, bersama ibu tua dan anak gadis sedang duduk di dalam, berbincang sambil menonton televisi. Kedai itu adalah rumah, sebuah rumah tinggal. Posisinya menempel pada tembok belakang rumah almarhum Bapak I.J. Kasimo, pendiri Partai Katolik, Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian (1948-1950). Keluarga penghuni rumah itu, sekaligus pemilik dan pengelola Kedai Bali, adalah anak dari pengurus rumah I.J. Kasimo.

“Sudah, Pakde. Pakde perlu apa?” jawab anak gadis keluarga itu ramah. Itu jawani sekali; kedai sudah tutup, tapi pantang menolak tamu. Dan yang lebih penting, aku jadi Pakdenya. “Saya hanya ingin secangkir kopi hitam, tanpa gula.” Aku memesan. Seperti teh yang selalu manis, orang Solo juga menyeduh kopi selalu dengan gula. Seakan minum teh atau kopi adalah alasan makan gula.

“Silakan duduk, Pakde,” gadis itu mempersilakan. “Maaf, Mbak, bubuk kopinya sasetan?” “Bukan, Pakde. Kopi bubuk beli di pasar.” Bagus sekali. Itu yang kumau. Kopi asli gilingan pasar tradisional. Aku mengambil tempat duduk di trotoar, seberang kedai itu. Kedai itu, seperti juga warung-warung lainnya, telah memanfaatkan trotoar di sisi kiri dan kanan Jalan Wentar sebagai ruang duduk untuk tetamu kedai.

Di atas trotoar tempatku duduk, disediakan meja pendek untuk pengunjung yang ingin lesehan. Tapi sore itu, karena kedai sudah tutup, taplak meja dan tikar lesehan sudah digulung. Karena itu, aku duduk saja di atas meja, menanti kopi diseduh dan disajikan. “Monggo, Pakde.” Secangkir kopi hitam disajikan anak gadis yang ramah dan, karena itu, manis di atas meja rendah. “Inggih, Mbak. Matur nuwun.” Dia layak mendapat ucapan terimakasih. Bukan saja atas keramahannya, tapi juga karena kesediaannya menyeduhkan secangkir kopi untukku di saat kedai telah tutup.

Aku menyeruput kopi panas itu sedikit. Pahitnya nikmat, melunturkan rasa lelah sejak naik kereta pagi dari Senen. Aku mengamati sekeliling tempatku duduk. Trotoar itu telah ditata menjadi sebuah taman yang asri. Nuansa hijau segar tidak saja diberikan oleh pepohonan di trotoar. Tapi juga berbagai tanaman hias dalam pot-pot yang tersusun serasi. Juga tanaman hias yang menempel di batang pohon. Pada siang hari, sampai menjelang sore, tempat ini ramai oleh pelanggan. Mereka makan siang di situ atau sekadar ngopi atau ngeteh. Ada banyak jenis menu disediakan, antara lain soto, kare, sop, pecel, dan sambel goreng tumpang. Juga aneka gorengan, semisal tempe, tahu, dan martabak. Tentu saja, aneka minuman pun tersedia.

Pada sore menjelang senja itu, hanya ada seorang pengunjung kedai: aku. “Rasanya seperti pulang ke rumah pada sore hari. Lalu melepas lelah di taman belakang, ditemani secangkir kopi hitam.” Aku membatin. Sungguh, mampir di kedai itu terasa seolah pulang ke rumah. “Tiga ribu, Pakde,” jawab gadis ramah itu ketika aku hendak membayar secangkir kopi yang sudah tuntas. Aku pikir itu bukan harga sebenarnya. Di kafe kopi Jakarta aku harus membayar minimal Rp 30.000 untuk secangkir kopi yang harus diminum di tempat yang “bukan rumah”.

Sambil melangkah meninggalkan kedai itu, benakku diselimuti kebingungan: sebenarnya, apakah aku sedang pulang ke rumah atau meninggalkan rumah?

Serabi Bu Sri Yatno yang Nostalgik

Serabi Bu Sri Yatno pertama kali kunikmati pada sebuah pagi di tahun 2000. Bulikku yang membelikannya waktu itu. Tentang bagaimana seorang lelaki Batak bisa punya bulik, gak usah kepo-lah. Aku sangat terkesan dengan rasanya yang gurih dan manis serta teksturnya yang lembut. Aroma wanginya, dengan semriwing bau gosong dari pinggirannya yang garing, sungguh menggoda lidah.

Dua tahun kemudian, ketika berkunjung ke Solo untuk kedua kalinya, aku pergi sendiri membeli serabi itu langsung ke lapak Bu Sri Yatno. Waktu itu tempatnya di trotor sisi timur, di ujung utara jembatan Kali Pepe, Jalan Arifin. Kira-kira 100 meter jaraknya dari Kedai Bali. Sejak itu, sampai April 2025 yang lalu, aku tak lagi menemukan Bu Sri Yatno dan serabinya di tempat itu. Ada juga seorang ibu yang menjajarkan makanan lain: cabuk rambak. Aku belum tertarik mencobanya.

“Sudah pindah ke Widuran. Di seberang Pegadaian. Dekat lampu merah.” Bulikku memberi tahu. Hitung-hitung olah ragi, pagi-pagi benar aku berjalan kaki mencari serabi Bu Sri Yatno. Menyusuri Jalan Wentar ke timur, lalu belok kiri menyusur trotoar Jalan Arifin ke arah utara. Tiba di lampu merah perempatan Widuran, menyeberang jalan, nah, belok kanan sedikit ketemulah angkringan serabi Bu Sri Yatno.

“Sudah lama saya pindah ke sini.” Bu Sri Yatno menjawab pertanyaanku tentang lokasinya kini. “Sejak Jalan Arifin menjadi satu arah,” dia melanjutkan, tanpa menyebut tahun. “Pembeli berkurang karena malas muter-muter. Jadi saya pindah ke sini.” Begitulah alasan pindah lokasi itu. “Tolong dibungkuskan sepuluh serabi, Bu.” Aku memesan. Aku harus menunggu, karena jumlah serabi matang tinggal empat buah. Pantanganku berdiri menunggu tanpa tanya ini dan itu.

Bu Sri Yatno berkisah. Dia jualan serabi itu sejak tahun 1998, bertepatan krisis moneter. “Meneruskan usaha ibu. Almarhum suami saya yang mendorong,” katanya. Sebagai kenangan atas suaminya, gerobak angkringannya diberi nama “Bu Sri Yatno”, gabungan namanya (Sri) dan nama suaminya (Yatno). “Syukur pada Gusti Allah, dari hasil jualan serabi ini saya bisa membiayai kuliah anak.” Bu Sri Yatno menceritakan betapa usaha angkringan serabinya bisa mencukupi kebutuhan keluarga, utamanya pendidikan anak.

Sambil melangkah pulang menenteng serabi, aku merenung betapa usaha serabi yang kecil itu menghasilkan kekuatan besar untuk menopang ekonomi sebuah keluarga. Tiba kembali di rumah, secangkir teh panas tanpa gula ternyata sudah menantiku di meja makan. Aku duduk tertib, meraih selembar kue serabi Bu Sri Yatno, menggigitnya pelan sambil membaui aromanya, sebelum kemudian mengunyah perlahan-lahan. Ah, rasanya dan teksturnya masih sama seperti 25 tahun lalu. Ini serabi nostalgik banget. Aromanya, manisnya, gurihnya, dan lembutnya melontarkan ingatanku ke tahun 2000, saat pertama kali mencicipinya.

Ada banyak tukang serabi di Solo, bahkan ada yang namanya menasional, meraja di Jakarta, tetapi dalam memori lidahku, tak ada yang senikmat serabi Bu Sri Yatno.

Nasi Liwet Bu Painah yang Surga

Solo itu nasi liwet. Gurih, harum, dan empuk; itu definisi enak. Entah bagaimana ceritanya, nasi berbumbu santan gurih yang diguyur dengan sayur labu siam berkuah, ditambah topping areh, opor ayam suwir dan telur pindang, kok ya bisa sedap nian. Pertama kali aku mencicipinya, ya, tahun 2000 juga. Tempatnya di warung tenda lesehan di Solo Baru, berada di trotoar jalan. Paklik dan bulik yang mengajak istriku dan aku ke sana.

Sejak itu, bagiku Solo adalah nasi liwet. Belum makan nasi liwet, ya, belum ke Solo. Sekalipun sudah melahap kupat tahu, soto, timlo, tengkleng, sate kambing, cabuk rambak, dan serabi Solo berturut-turut dalam sehari. “Jangan lewatkan nasi liwet Bu Painah,” sebuah pesan WA masuk di ponselku, dari seorang rekan yang sejarah hidupnya lekat pada Solo. Aku belum pernah dengar nama nasi liwet itu. “Dimas, kamu tahu di mana nasi liwet Bu Painah?” Kutanya adik sepupuku. “Oh, itu di pojokan lampu merah Widuran, seberang Pegadaian, Mas.” Owala, dekat dengan serabi Bu Sri Yatno rupanya.

“Enak?” “Ya, enak, tapi mahal, Mas.” Lha, piye, tho. Ono rupo ono rego, ada mutu ada harga. Adik sepupuku ini maunya makanan bergizi tapi gratis. Ya, sana kalau gitu, balik jadi murid SD lagi. Selepas magrib, aku dan istriku dengan perut lapar melangkah pasti menuju warung tenda nasi liwet Bu Painah di Widuran. Warung itu hanya buka malam hari, mulai pukul 18.00 WIB. Tempatnya persis di pojokan perempatan Jalan Widuran dan Jalan Arifin, seberang Pegadaian.

Istriku dan aku menjadi pengunjung pertama. Kami mengambil tempat duduk di bangku pada sisi etalase kecil, tempat segala isi dan kondimen nasi liwet ditata. Bu Painah, pemilik usaha, duduk di belakang etalase, siap meracik nasi liwet untuk tetamu. “Bu, kami minta dua porsi, ya. Tanpa ati ampla.” Aku memesan, tanpa jeroan ayam. Bukan gak suka, tapi ikut nasihat dokter. Bu Painah langsung meracik. Gerakannya tampak pelan tapi pasti. Perempuan tua itu bekerja dalam diam, nyaris sangat serius.

“Sudah lama jualannya, Bu?” Aku memecah kebisuan. “Sejak tahun 1985,” jawabnya pendek, tanpa menoleh. Pandangannya fokus pada isi etalase, tangannya sibuk memotong, menyensok, dan menjumput ini dan itu. Hemat kata, banyak kerja. Tak lama kemudian, dua porsi nasi liwet dalam pincuk daun pisang di atas piring sudah pindah ke tangan kami. Isinya, ya, nasi gurih santan, sayur labu siam berkuah disiramkan, telur bacem dibelah dua, suwiran daging ayam opor, irisan tahu tim, serta kondimen areh dan sambal rawit merah.

Suapan pertama setelah doa makan, uwah, luar biasa nikmatnya. Rasa gurihnya penuh tapi lembut dan berimbang pada semua isian pincuk. Teksturnya kaya, mulai dari areh yang sangat lembut, telur bacem dan suwiran daging ayam yang agak pulen, telur tim yang krenyes, sayur labu siam yang meleleh di lidah, dan butiran-butiran nasi liwet yang lembut pulen. Aromanya, hmm, jangan ditanya. Ketika semua itu masuk mulut, ditambah segigit sambal rawit goreng, lalu gigiku mulai melumat dan lidahku mengaduk, aku serasa mengunyah surga di mulut. Nikmat sekali, ternikmat dari semua nasi liwet Jawa yang pernah aku cicipi di Solo dan Jakarta.

Pincuk daun pisang di tangan kami berdua cepat sekali tandasnya. Aku dan istriku berpandangan. Ya, paham, “Tolong satu porsi lagi, Bu.” Lalu, tambahan sep