Kebijakan pemerintah yang bertujuan menggabungkan 50% bahan bakar minyak (BBM) dengan bahan bakar nabati (BBN), dikenal sebagai proyeksi B50, mungkin akan membawa sejumlah tantangan terkait perselisihan lahan pertanian.
Agar tujuan itu tercapai, diperlukan sekitar 20 juta kiloliter (KL) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Sementara itu, produktivitas tanaman kelapa sawit di Indonesia cukup rendah dengan rata-rata nasional mencapai 3.630 kilogram atau setara 3,6 ton per hektare pertahun.
“Ada beberapa rintangan dan kesulitan yang harus diatasi.” Itu poin utama dari pandangan Deputy Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, saat beliau berbicara di Jakarta pada hari Selasa, 20 Mei.
Apabila pemerintah berupaya keras mengejar sasaran itu, kata dia selanjutnya, hal ini dengan tak langsung akan menjadikan Indonesia sangat bergantung pada hasil perkebunan kelapa sawit.
- Mahfud Berjanji Menciptakan Badan Hukum Khusus Pertanian Untuk Menyelesaikan Perselisihan
- Presiden NDB Apresiasi RI yang Berhasil Mengimplementasikan Biodisel B40, Sementara Brasil baru mencapai B14
- B50 Ditetapkan pada Tahun 2026, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Menjamin Tak Membutuhkan Tanah Perkebunan Kelapa Sawit Ekstra
Giorgio mengatakan bahwa pertambahan permintaan CPO untuk sektor biodisel mungkin akan merambah area perkebunan kelapa sawit menjadi di atas 6 juta hektar. Di samping itu, pembesaran ini bisa menimbulkan penghancuran hutan, peningkatan emisi karbon, perselisihan tentang hak tanah, serta ketergantungan ekonomi yang tidak wajar terhadap minyak kelapa sawit.
“Kenaikan konflik pun terlihat signifikan,” katanya.
Lebih dari Seribu Kasus Terdaftar
Di sisi lain, Kepala Departemen Kampanye, Kebijakan Publik, dan Penelitian Sawit Watch, Hadi Saputra, mengatakan bahwa data yang dicatat oleh Sawit Watch menyiratkan adanya lebih dari satu ribu kasus konflik di antara penduduk lokal dan perusahaan dalam area kelapa sawit.
“Secara keseluruhan ada sekitar 1.126 komunitas yang mengalami perselisihan baik dengan masyarakat maupun dengan perusahaan. Jenis konflik paling banyak berkaitan dengan pertikaian tanah,” jelas Hadi.
Hadi menyebutkan bahwa menangani perselisihan dalam pengelolaan kebun kelapa sawit di Indonesia merupakan hal yang tidak mudah dari segi biaya. Dia memberikan contoh, untuk meresolusi satu kasus konflik di area perkebunan sawit, dibutuhkan estimasi anggaran minimal senilai Rp 80 juta.
“Biaya untuk menangani satu kasus bisa mencapai antara Rp 80 juta hingga Rp 240 juta. Bayangkan jika terdapat 1.126 konflik, berapa besar dana yang dibutuhkan untuk mengatasi semua masalah tersebut,” ucapnya.