JURNAL SOREANG –Dalam menghadapi isu hukum dan politik yang melibatkan Perusahaan Daerah Bandung Daya Sentosa (BDS), ahli hukum Januar Solehuddin, SHI.,MH.,C.Med, menekankan perlunya kejelasan dan pertanggungjawaban dalam menangani kasus BUMD tersebut.
Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Bandung dalam membentuk Panitia Khusus (Pansus) perlu diiringi dengan pengawasan ketat dari masyarakat agar tidak hanya menjadi prosedural tanpa makna.
“Penyusunan Pansus oleh DPRD merupakan bagian dari fungsi pengawasan yang diatur dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pansus memiliki wewenang politik untuk mengungkap isu terkait BUMD yang berkaitan langsung dengan keuangan daerah dan uang rakyat,” ujar Januar kepada wartawan, Rabu 27 Agustus 2025.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Januar menyarankan agar Pansus DPRD fokus pada beberapa isu utama, antara lain:
1. Meningkatkan kejelasan dalam pengelolaan PT BDS, khususnya mengenai kontrak dan kesepakatan bisnis yang melibatkan dana besar.
2. Menyarankan perbaikan pengelolaan BUMD agar kejadian gagal bayar tidak terjadi kembali.
3. Mendorong lembaga penegak hukum untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap dugaan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
4. Menjaga kepentingan masyarakat dan membentuk lingkungan yang mendukung investasi di Kabupaten Bandung.
“Perkara PT BDS tidak dapat dilihat hanya sebagai keterlambatan pembayaran atau kegagalan dalam membayar. Ini berkaitan dengan akuntabilitas keuangan publik dan kepercayaan masyarakat terhadap BUMD. Oleh karena itu, Pansus harus bekerja secara serius, transparan, serta bebas dari konflik kepentingan,” katanya.
Dalam konteks yang sama, muncul permintaan dari pihak hukum PT BDS kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bandung agar diberikan akses terhadap dokumen perusahaan yang telah disita, yang dibutuhkan dalam persidangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Januar menilai bahwa permintaan ini tidak dapat langsung diterima atau ditolak. Terdapat dua kepentingan hukum yang sah, yaitu hak debitur untuk membela diri di pengadilan perdata dan kewajiban jaksa untuk menjaga kelengkapan barang bukti pidana.
“Di dalam hukum PKPU, debitur berhak mengajukan dokumen sebagai pembelaan diri, sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Namun, dokumen yang telah disita oleh penyidik bersifat sebagai barang bukti sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP, sehingga harus mematuhi prinsip chain of custody,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kejaksaan tidak boleh sembarangan memberikan dokumen karena Pasal 44 KUHAP menyatakan bahwa barang bukti hanya dapat digunakan dengan izin penyidik atau penuntut umum. Namun, solusi tengah bisa diambil, seperti:
• Memberikan salinan resmi yang terbatas, atau
• Menghadirkan pegawai kejaksaan dalam persidangan PKPU untuk menyampaikan dokumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 KUHAP.
“Prinsipnya, hak debitur tetap dihargai, namun kepentingan masyarakat dalam penerapan hukum pidana juga tidak boleh dikesampingkan. Jangan sampai sistem PKPU digunakan sebagai alat untuk menghindari tanggung jawab pidana,” tegasnya.
Januar menegaskan bahwa kasus PT BDS bukan hanya terkait sengketa hutang piutang, tetapi juga melibatkan kemungkinan kerugian keuangan daerah. Seluruh tindakan hukum harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
“Ini menjadi ujian berat bagi DPRD maupun kejaksaan dalam menjaga kredibilitas dan kompetensi. Penerapan hukum harus dilakukan secara nyata, bukan hanya sekadar formal,” tegasnya.
Dengan demikian, masyarakat kini menantikan: apakah Pansus DPRD dan tindakan Kejari Kabupaten Bandung benar-benar akan memberikan transparansi serta perbaikan pada BUMD, atau hanya berhenti pada prosedur formal.***