Prabowo Bicara Soal Kenali Israel, Akademisi Ingatkan Pemerintah Waspadai Risiko


, JAKARTA –

Pernyataan dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto tentang persiapan negara untuk mengakui Israel serta membina hubungan diplomatiknya menjadi kontroversial.

Ini dipandang sebagai ketidaktepatan waktu, mempertimbangkan serangan Israel terhadap Palestina yang belum juga usai sampai saat ini.

Pernyataan itu dikemukakan Prabowo ketika menghadiri konferensi pers bersama dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka, Jakarta, pada hari Rabu, 28 Mei 2025.

Dalam pengumumannya, Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia akan mengenali Israel setelah Palestina mencapai kemerdekaan, sejalan dengan prinsip solusi dua negara.

Saya tekankan pula bahwa kita perlu mengakui serta memastikan hak Israel untuk menjadi negara dengan kedaulatan sendiri dan juga pentingnya jaminan keselamatan bagi negaranya, kata Prabowo.

Faisal Karim, Dosen IlmuHubunganInternasional dariUniversitasIslamInternasionalIndonesia(UIII), menganggappernyataantersebutberisikoendankemungkinandikatalahartikeitalsuporterhadtuanIsraeldiPalestina.

“Faisal mengingatkan agar jangan sampai pidato presiden yang akan datang ditafsirkan salah sebagai bentuk dukungan untuk genosida terhadap rakyat Palestina,” demikian kutibanya dari Kompas.id pada hari Kamis, 29 Mei 2025.

Faisal menyebutkan bahwa ide mengenai pengakuan terhadap Israel harusnya hanya muncul bila Tel Aviv memperlihatkan kesanggupan atas solusi kedua negara.

Akan tetapi, dia menganggap bahwa hal tersebut akan sulit direalisasikan selagi pemerintahan dari sayap kanan yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu masih memegang kekuasaan.

Namun begitu, Faisal mengusulkan agar pernyataan Prabowo dimengerti dalam kerangka diplomatik yang lebih besar.

Dia memberikan contoh dari Strategi Abu Dhabi yang dirancang oleh Presiden AS Donald Trump, di mana negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim diminta untuk membangun hubungan normal dengan Israel sekaligus mendukung pengakuan kemerdekaan Palestina.

“Dengan cara mendesak negara-negara Barat agar mengenali kemerdekaan Palestina, sekaligus mempengaruhi negara-negara yang belum mengakui Israel supaya merubah pandangannya,” ujarnya.

Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Asra Virgianita, menilai bahwa pendekatan diplomasi dalam mengenali Israel merupakan suatu tantangan yang kompleks dan harus dihindari agar tidak terburu-buru.

Menurut dia, walaupun keterlibatan ekonomi informal dengan Israel telah terjadi, penerimaan secara formal masih memerlukan tahapan yang cukup lama.

“Asra menekankan bahwa kita tak perlu buru-buru membuat keputusan diplomatis. Meski hubungan ekonomi dengan Israel telah ada sebelumnya, namun tingkatannya belum begitu mencolok bila dibandingkan dengan negara lain,” katanya.

Dia mengatakan bahwa umumnya dibutuhkan waktu antara 10-20 tahun setelah pengakuan kemerdekaan sampai terbentuklah hubungan diplomasi formal diantara dua negara.

Dalam hal ini, Indonesia harus mengawasi dengan cermat posisi Israel tentang Palestina secara berkelanjutan.

“Selama dua puluh tahun tersebut, kita menyaksikan dan mengawasi tingkat ke-serius-an Israel dalam merancang kedamaian di wilayah tersebut, baru kemudian kita dapat mendiskusikan pembukaan hubungan diplomats.”Tambahnya.


(*)

Responses (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com