Petani dan Nelayan Berjuang untuk Hak Tanah dan Laut
Beberapa hari yang lalu, ruang sidang DPR RI di Jakarta dipenuhi oleh para petani dan nelayan dari berbagai wilayah. Mereka hadir bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan tujuan utama untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pihak legislatif. Pertemuan ini bukan sekadar bentuk keluhan, tetapi juga upaya untuk memastikan bahwa suara mereka benar-benar didengar, khususnya terkait tanah yang belum diakui dan wilayah laut yang sulit diakses.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyambut kedatangan para petani dan nelayan dengan tangan terbuka. Ia mengucapkan terima kasih dan selamat datang kepada mereka dalam acara tersebut. Keberadaan para petani dan nelayan ini menunjukkan pentingnya isu agraria dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia.
Pertemuan tersebut semakin serius karena dihadiri oleh beberapa menteri penting, seperti Menteri Kehutanan, Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Pariwisata, serta Kepala Staf Kepresidenan. Kehadiran para pejabat tinggi ini menunjukkan bahwa isu agraria tidak hanya menjadi perhatian masyarakat, tetapi juga pemerintah.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, menjelaskan bahwa masalah agraria sangat kompleks karena melibatkan banyak pihak dan kepentingan yang saling bertumpuk. Meski para petani dan nelayan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pangan bangsa, kepastian atas tanah dan laut yang mereka garap masih jauh dari harapan. Banyak dari mereka bahkan kehilangan akses sepenuhnya terhadap sumber daya yang seharusnya menjadi milik mereka.
“Presiden dan DPR RI harus segera menjalankan reforma agraria yang benar-benar berkelanjutan,” tegas Dewi. Ia menekankan bahwa kebijakan yang dikeluarkan harus mencerminkan keadilan dan perlindungan bagi rakyat kecil.
Selain itu, Dewi juga mengingatkan bahwa aksi demonstrasi yang sempat ramai beberapa waktu lalu lebih fokus pada rumah pejabat yang dijarah, sementara hak-hak rakyat atas tanah dan sumber daya desa terus terabaikan. Ia menyoroti bahwa konsesi-konsesi yang ada sudah berdiri puluhan tahun, namun hingga saat ini, kondisi tersebut belum berubah.
“Serikat tani bukanlah sesuatu yang baru. Sejak zaman Orde Baru, mereka sudah ada, bahkan menjadi kampung dan desa tetap. Namun, sampai saat ini, mereka belum juga dimerdekakan,” tambah Dewi.
Isu agraria tidak hanya menjadi masalah teknis, tetapi juga berkaitan dengan keadilan sosial dan ekonomi. Para petani dan nelayan berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah-langkah nyata untuk memperbaiki kondisi mereka. Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan akan muncul solusi yang dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam sistem agraria Indonesia.