– Pasukan TNI telah dipersiapkan untuk mengamankan semua kantor Kejaksaan di Indonesia setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) sukses menahan sejumlah besar uang dalam perkara diduga penyuapan serta pelaksanaan tindakan pencucian uang (TPPU) yang terkait dengan PT Duta Palma Group.
Harli Siregar, Kepala Pusat Pemberian Informasi Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), menyebut bahwa dana yang diamankan tidak terbatas pada jenis uang rupiah saja, melainkan juga mencakup mata uang asing dari berbagai negara.
Di samping menggelembuskan uang senilai Rp 6,8 triliun, Kejaksaan Agung juga menemukan dan menyita jumlah USD yang mencapai 13.274.490,57.
Kemudian juga diamankan sebanyak 12.859.605 dolar Singapura (SGD) serta 13.700 dolar Australia (AUD).
“Nilai tukar Yuan Cina adalah 2.005. Selanjutnya Yen Jepang sebesar 2.000.000. Kemudian terdapat Won Korea dengan nilai 5.645.000, serta Ringgit Malaysia senilai 300,” jelasnya.
Apabila dihitung totalnya, dana yang telah disita oleh Kejaksaan Agung mencapai lebih dari Rp 7 triliun.
Maka, apa yang terjadi pada dana yang telah disita itu?
Menurut Harli Siregar, dana yang disita oleh Kejaksaan Agung itu akan segera dimasukkan ke dalam akun penyimpanan.
Bank Persepsi
Yang berfungsi untuk menerima setoran negara.
“Jadi ketika kita periksa, biasanya dana sebesar itu tidak kami bawa pulang atau simpan di saku, melainkan langsung dialihkan dan dititipkan ke rekening penyimpanan milik Kejaksaan di Bank Persepsi,” katanya.
Berikut ini adalah informasinya, PT Duta Palma Group serta beberapa entitas bisnis lainnya diketahui terlibat dalam praktik suap dan penipuan keuangan yang berkaitan dengan operasi perkebunan kelapa sawit mereka.
Sejumlah perusahaan yang terlibat dalam investigasi ini meliputi PT Palma Satu, PT Siberida Subur, PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Kencana Amal Tani, PT Asset Pacific, serta PT Darmex Plantations.
Pada kasus tersebut, Mahkamah Agung menghukum Surya Darmadi selaku pemimpin dari PT Duta Palma Group dengan hukuman kurungan penjara sebanyak 16 tahun.
Surya Darmadi dinyatakan bersalah atas kasus suap yang berhubungan dengan penyitaan tanah di kabupaten Indragiri Hulu.
Dalam kasus ini dicurigai bahwa kerugian yang dialami oleh negara serta ekonomi negeri mencapai angka Rp 104 triliun.
Pada awalnya, kasus tersebut diperkirakan menimbulkan kerugian pada ekonomi negara sebesar Rp 78 triliun sesuai dengan kalkulasi yang dilakukan oleh penyidik dari Kejaksaan Agung.
Berdasarkan laporan hasil pengauditan yang diberikan kepada pihak penyelidik oleh Badan Pemerika Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara mencapai angka sebesar Rp 4,9 triliun dalam bidang keuangan.
“Kerugian ekonomi negara sebesar Rp 99,2 triliun,” demikian disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), posisi yang kala itu diemban oleh Febrie Adriansyah pada konferensi pers di Kantor Kejaksaan Agung, Selasa (30/8/2022).
Perhitungan itu didasari pada kerjasama antara BPKP, pakar lingkungan hidup, serta ekonom dari Universitas Gadjah Mada dalam mengembangkan metode pengukuran tersebut.
Jika dijumlah, kerugian yang ditimbulkan dari kasus dugaan korupsi PT Duta Palma Group baik kerugian keuangan negara maupun kerugian perekonomian negara telah mencapai Rp 104,1 triliun.
Personel TNI Dikerahkan Pengamanan Seluruh Kejaksaan di Indonesia
Kepala Angkatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Agus Subiyanto, dilaporkan sudah memberikan instruksi untuk memperkuat keamanan seputar Kejaksaan Tinggi (Kejati) serta Kejaksaan Negeri (Kejari) yang ada di setiap wilayah tanah air.
Perintah tersebut tercantum dalam Telegram Panglima TNI No. TR/442/2025 yang dikeluarkan pada tanggal 6 Mei 2025.
Dalam telegram tersebut, Panglima TNI mengerahkan personel dan alat perlengkapan dalam rangka dukungan pengamanan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar membenarkan informasi adanya pengamanan dari TNI untuk Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia.
“Betul, adanya perlindungan yang diberikan oleh TNI kepada Kejaksaan sampai di tingkat daerah (sedang berlangsung di wilayah setempat) merupakan bagian dari kolaborasi antara TNI dan Kejaksaan,” jelas Harli ketika dimintakan keterangan oleh Kompas.com pada hari Minggu, 11 Mei 2025.
Harli menyebutkan bahwa keamanan itu adalah hasil dari kolaborasi diantara Tentara Nasional Indonesia dan Jaksa Agung.
“hal itu merupakan bentukdukungan dari TNI kepada Kejaksaan dalam melaksanakan kewajibannya,” katanya.
Kapuspen TNI: Kerja Sama Pengamanan yang Bersifat Rutin dan Preventif
Saat ini, Kapuspen TNI Mayjen TNI Kristomei Sianturi menyatakan bahwa telegram tersebut adalah komponen dari kerjasama keamanan yang dilakukan secara berkala dan bertujuan pencegahan, seperti halnya yang sudah terjadi sebelumnya.
“Bantuan militer dari TNI ke Kejaksaan adalah sebagian dari kolaborasi formal di antara Tentara Nasional Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang dicatat dalam Memorandum Persetujuan No. NK/6/IV/2023/TNI pada tanggal 6 April 2023,” katanya.
Menurutnya, cakupan kolaborasi itu mencakup beberapa hal berikut:
1. Pendidikan dan pelatihan;
2. Pertukaran data guna mendukung pelaksanaan hukum;
3. Tanggung jawab pasukan TNI dalam wilayah kekuasaan Kejaksaan Republik Indonesia;
4. Penugasannya meliputi peran jaksa sebagai pengawas dalam Ouditur Jenderal TNI;
5. Dukungan serta bantuan staf TNI pada saat melaksanakan kewajiban dan peran Jaksa Agung;
6. Dukungan terhadap TNI dalam ranah Perdata dan Tata Kelola Pemerintahan mencakup pendampingan hukum, penyediaan bantuan hukum untuk perkara pengadilan maupun yang tidak perlu kepengadilan, pelaksanaan aturan hukum, serta langkah-langkah hukum tambahan lainnya;
7. Penggunaan fasilitas dan infrastruktur untuk memperkuat implementasi kewajiban serta peran berdasarkan permintaan;
8. Koordinasi aspek teknis dari investigasi dan proses perdata serta pengelolaan kasus-kasus terkait jaringan kejahatan.
“Semua jenis dukungan TNI itu dijalankan sesuai dengan permohonan resmi dan kebutuhan yang telah ditetapkan, sambil tetap mematuhi peraturan hukum yang berlaku,” tegasnya.
“TNI senantiasa menjunjung tinggi prinsip profesionalitas, netralitas, dan sinergitas antar-lembaga. Hal ini juga sebagai pengejawantahan tugas pokok TNI sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara,”jelasnya kemudian.
Menggali Kembali Serangan Terhadap Kejaksaan Agung Pasca Penyelidikan Kasus Pertambangan Timah
Di awal bulan November tahun 2024, kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia menghadapi serangan teror usai menyelesaikan penyelidikan tentang skandal suap yang berhubungan dengan perdagangan timah.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan adanya sejumlah petugas dari Brimob yang terlibar dalam pemblokiran kantor Kejaksaan Agung ketika sedang melakukan penyelidikan kasus suap timah.
Burhanuddin menyampaikan pernyataannya saat rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, merespons pertanyaan dari anggota Komisi III Benny K Harman yang menuntut klarifikasi tentang insiden itu.
“Pengepalan Kejaksaan Agung terjadi, dengan jujur dikatakan, dilakukan oleh sejumlah anggota Brimob,” ungkap Burhanuddin di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari Rabu (13/11/2024).
Dia menyebutkan bahwa mereka sudah menyerahkannya ke Mabes Polri atas insiden yang melibatkan seorang anggota Brimob dan kini tak mengawasi perkembangannya lebih lanjut.
Dalam pertemuan tersebut, Benny K Harman menuntut klarifikasi tambahan tentang kejadian yang berlangsung di waktu itu.
Benny pun menyoroti kejadian pemantauan yang melibangkan dua orang dari Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie Ariansyah di suatu rumah makan di Cipete, Jakarta Selatan, pada tanggal 19 Mei 2024.
“Kami meminta klarifikasi pertama tentang apakah kita dapat diberikan penjelasan mengenai kejadian Kantor Kejaksaan Agung diketamengambarkan oleh satuan tugas bernama ‘coklat’. Apakah mereka merujuk pada Brimob? Hingga saat ini, tidak ada rincian resmi; informasi hanyalah berasal dari berita dan foto bertepuk tangan saja. Namun, publik sangat menuntut untuk mendapat pemahaman yang lebih jernih terkait insiden tersebut,” papar Benny.
Benny juga mendesak Burhanuddin untuk menyampaikan kronologi kejadian tersebut.
Dia menyadari adanya kemungkinan keraguan dalam menjelaskan insiden yang terjadi selama kepemimpinan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo.
Akan tetapi, mengingat pergantian pemerintahan yang sedang terjadi, Benny berkeinginan untuk transparansi tentang kejadian itu bisa diberitahukan.
“Tetapi pada zaman baru ini, saya percaya keraguan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Karena itu, saat ini adalah kesempatan tepat bagi Jaksa Agung untuk menguraikan hal ini dengan sebaik-baiknya,” katanya.
Kejaksaan Agung tandatangani perjanjian kerjasama bersama Pusat Polisi Militer TNI
Setelah serangan drone di kompleks Kajagung RI itu, Kejaksaan Agung RI bersama TNI menandatangani perjanjian kerjasama.
TNI diwakili oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) serta Kejaksaan Agung lewat Jabhane Intelejen Jaksa Agung Muda.
Perjanjian kerjasama tersebut meliputi pemeliharaan keamanan kejaksaan, bidang pendidikan, program pelatihan, pertukaran informasi, serta data inteligen.
Kepala Staf Umum (Kasum) TNI yang saat itu dijabat Letjen TNI Bambang Ismawan menjelaskan perjanjian kerja sama itu merupakan tindak lanjut dari kerja sama yang juga telah disepakati pimpinan dua lembaga.
“Kerja sama ini meliputi pengamanan, pendidikan, kemudian tukar-menukar informasi kalau diperlukan, dan segalanya yang akhirnya menyangkut kerja antara TNI dan Kejaksaan Republik Indonesia,” kata Kepala Staf Umum TNI saat jumpa pers selepas menyaksikan acara penandatanganan dokumen perjanjian kerja sama itu di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, 2024.
Perjanjian kerjasama tersebut ditandatangani oleh Danpuspom saat itu dipimpin Mayor Jenderal TNI Yusri Nuryanto dari TNI serta Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung Republik Indonesia Reda Manthovani.
Bambang meneruskan bahwa perjanjian kolaborasi tersebut akan berlangsung selama 5 tahun mendatang dan akan ditinjau setiap tahunnya.
Beberapa elemen kolaborasi sudah mulai dilaksanakan oleh TNI bersama dengan Kejaksaan Agung, seperti halnya dalam urusan penanganan keamanan.
Bam-bang mengatakan saat itu bahwa di Kejaksaan Agung terdapat Jabatan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer atau yang disebut Jampidmil. Untuk personel TNI, kolaborasi ini secara otomatis telah tersusun dan berlangsung.
Terkait dengan kolaborasi penukaran informasi dan data inteligen, Jamintel Reda Manthovani menyatakan bahwa aktivitas tersebut bertujuan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Dia mencontohkan, Kejaksaan dapat mendukung Puspom TNI dalam memasok data dan informasi yang mereka butuhkan, begitu juga sebaliknya.
“Pokoknya adalah kerjasama dalam pelaksanaan hukum antara Puspom dengan Kejaksaan,” jelasnya saat itu.
Selama ini, Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin pada kesempatan berbicara mengatakan bahwa perjanjian kolaborasi tersebut mencerminkan janji dua institusi untuk memperkuat kedaulatan hukum di tanah air.
“Mari kita terapkan sepenuhnya perjanjian kolaborasi ini guna mencapai tujuan bersama yaitu memperkuat pelaksanaan hukum demi menjadikan Indonesia sebagai negeri berdasarkan hukum, di mana aturan menjadi prioritas utama,” ujar Jaksa Agung Republik Indonesia.
Kapal Militer Suriah Minta Panglima TNI Menarik Kembali Perintah Pengumpulan Tentara dari Area Kejaksaan
Baru-baru ini, Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) untuk Reformasi Sektor Keamanan mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap surat telegram dari Panglima TNI dengan tanggal 5 Mei 2025. Surat tersebut memerintahkan persiapan serta penyebaran fasilitas pendukung ke semua Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia.
Menurut mereka, instruksi tersebut bertentangan dengan sejumlah aturan yang sudah ada, khususnya Undang-Undang Dasar, UU Sistem Peradilan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Perlindungan Negara, serta UU Tentara Nasional Indonesia itu sendiri yang menjelaskan secara rinci tanggung jawab dan fungsinya.
“Konsentrasi kekuatan serupa semakin memperkokoh dugaan campur tangan tentara dalam urusan sipil terlebih lagi di sektor pengelolaan hukuman,” begitu bunyi pernyataan formal koalisi melalui rilis tertulis mereka pada hari Minggu (11/5/2025) yang dipetik dari Kompas.com.
Koalisi mengungkapkan bahwa peranan dan tanggung jawab TNI harus difokuskan pada bidang pertahanan saja dan bukan semestinya mencakup area penegakan hukum yang menjadi kewenangan Kejaksaan sebagai lembaga sipil.
Pihak koalisi berpendapat bahwa pengiriman pasukan itu tidak didasari oleh landasan hukum yang solid sebab belum adanya aturan formal yang mengatur bantuan TNI di luar situasi peperangan untuk operasi militer selain perang (OMSP), khususnya ketika berkaitan dengan pelaksanaan hukum.
“Pihak kami berpendapat bahwa struktur kemitraan dua sisi antara TNI dan Kejaksaan belum didasari oleh landasan hukum yang kokoh sebagai acuan penugasan pasukan bantu ke Kejaksaan. Perjanjian Kerjasama tersebut sebenarnya sudah bertabrakan dengan Undang-Undang Tentang TNI itu sendiri,” demikian disampaikan koalisi.
Koalisi mengatakan bahwa tugas menjaga kelengkapan lembaga penuntutan harusnya dapat dijalankan oleh pasukan keamanan dalam negeri saja, tidak memerlukan keterlibatan anggota militer.
Karena, tak terdapat ancaman apapun yang dapat membenarkan pengiriman pasukan TNI.
Pemeliharaan institusi lembaga penegak hukum sipil dapat dijamin contohnya dengan pasukan keamanan internal seperti petugas keamanan kejaksaan. Sehingga, teks telegram tersebut benar-benar tidak seimbang berkaitan dengan tanggung jawab bantuan dan perilaku yang bertentangan dengan aturan serta peraturan,” tulis kelompok aliansi.
Koalisi menyatakan peringatan bahwa tindakan itu bisa berdampak pada kemerdekaan pelaksanaan hukum serta membuat garis pembatas antara tanggung jawab militer dan kepolisian menjadi tidak jelas.
Mereka berpendapat bahwa instruksi itu dapat memunculkan kembali sistem dwifungsi TNI yang sebelumnya telah ditiadakan selama masa Reformasi.
“Instruksi pengumpulan tentara ini semakin memperkuat keyakinan publik tentang kemungkinan pemulihan fungsi ganda TNI setelah Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia direvisi beberapa bulan yang lalu, termasuk salah satu pasal yang menambahkan Jaksa Agung sebagai lembaga yang bisa dikendalikan oleh TNI. Namun, catatan dari rapat dan revisi yang menyebutkan bahwa penambahan Jaksa Agung ke dalam revisi UU TNI hanyalah bagi Jampidmil sebenarnya tak diindahkan instruksi ini, karena dengan jelas pendirian pasukan ini berlaku secara umum untuk seluruh Kejaksaaan Tinggi dan Pengadilan Negeri,” demikian tertulis dalam pernyataan koalisi tersebut.
Berdasar hal itu, mereka mengecam Komandan Utama TNI agar segera membatalkan instruksi tersebut dan kembali menjadikan prioritas TNI adalah bertahan bagi negara. “Kami menuntut Komandan Utama TNI untuk mencabut Instruksinya dan merestorasi fungsi TNI dalam bidang pertahanan,” ungkap kelompok bersatu.
Mereka pun mengharapkan agar DPR RI, terutama Komisi I, III, serta XIII, dapat melanjutkan penanganan masalah tersebut dan memverifikasi bahwa tak akan ada lagi praktek dwifungsi ABRI di waktu yang akan datang.
“Kami pun menyerukan kepada DPR RI agar menginggatkan Presiden selaku Ketua Pemerintahan serta Menteri Pertahanan supaya mencabut surat perintah itu, guna melestarikan kedaulatan sipil dalam pelaksanaan hukum di Indonesia yang berdasarkan pada sistem demokrasi konstitusi,” ungkap koalisi.
Dalam pernyataan tertulis yang disebarkan, kelompok masyarakat sipil tersebut mencakup Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia (KKHAM), WALHI, Institut Setara, Inisiatif Cakra, Badan Bantuan Hukum (BBHW) Jakarta, LBH Pers, dan LBH Masyarakat.
Selanjutnya, LBH Surabaya Pos Malang, ALDP atau Aliansi untuk Demokrasi Papua, Public Virtue, ICJR yakni Institut untuk Reforms dalam Keadilan Pidana, AJI Jakarta dari Aliansi Jurnalis Independen, PPMAN yang merupakan Perhimpunan Pendukung Masyarakat Adat Nusantara, Badan Eksekutif Mahasiswa SI, dan De Jure.
(*//Kompas.com)