Perangi Judol dan Kejahatan Perbankan: Inilah saatnya Membenahi Sistem

Perangi Judol dan Kejahatan Perbankan: Inilah saatnya Membenahi Sistem

Dalam beberapa waktu terakhir, kasus kasus
kejahatan di internal perbankan
yang disebabkan oleh pelaku yang kecanduan judi online semakin marak. Kasus-kasus tersebut tidak hanya merugikan nasabah, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap sektor perbankan.

Misalnya saja belum lama ini, seorang karyawati Bank BPD Jambi cabang Kerinci berinisial RS (26) ditangkap aparat kepolisian setelah dinyatakan terbukti membobol dana dari 27 rekening nasabah. Total kerugian dalam kasus ini sendiri ditaksir mencapai Rp7,1 miliar.

Seturut pemberitaan
Kompas
, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Wadirreskrimsus) Polda Jambi, AKBP Taufik Nurmandia, menyampaikan bahwa uang hasil kejahatan tersebut digunakan RS untuk bermain judi online.

Taufik menambahkan, bahwa dalam satu kali permainan, pelaku bisa menyetor deposit atau modal hingga Rp 70 juta. Saat ini, saldo di rekening pelaku dikabarkan tinggal tersisa Rp80 ribu.

Modus awal yang dilakukan oleh RS, yang bekerja sebagai analis kredit Bank BPD Jambi, tersebut berawal dari kepercayaan salah satu nasabah yang memintanya membantu proses penarikan dana. Dari situ, RS mulai memalsukan tanda tangan dan mengeklaim kepada teller bahwa ia telah diberi kuasa oleh nasabah lain untuk menarik dana.

“Jadi, dia mengaku ke teller bank bahwa dia dipercaya oleh nasabah untuk mengambil uang. Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, pihak teller akhirnya percaya dan mencairkan uang tersebut,” ujar Taufik seperti yang dikutip dari Kompas, Senin (2/5/2025).

Aksi RS sendiri berlangsung sejak September 2023 hingga September 2024. Dalam kurun waktu hampir setahun itu, ia telah menggasak uang nasabah dengan nominal bervariasi mulai dari Rp400 juta hingga Rp1 miliar.

Kasus RS di Jambi bukanlah yang pertama. Sebelumnya, kasus serupa terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat pada November 2024.

Saat itu, Kepolisian Resor Cirebon Kota, berhasil mengungkap kasus kejahatan perbankan. Dalam kasus ini, tersangka berinisial AY diketahui telah menggelapkan dana nasabah hingga mencapai ratusan juta rupiah, yang kemudian digunakan untuk kebutuhan pribadi dan judi online.

Seturut pemberitaan
Bisnis.com
, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Cirebon Kota AKP Eko Anggi mengatakan tersangka memanfaatkan posisinya untuk mendekati nasabah dan menawarkan program deposito dengan janji imbal hasil bunga yang lebih tinggi dari biasanya. Lalu, usai nasabah menyetujui tawaran tersebut, tersangka AY meminta mereka melakukan transfer dana melalui aplikasi perbankan digital.

Pengawasan Internal Harus Segera Diperbaiki

Pengamat Perbankan, Paul Sutaryono, menilai kasus pegawai internal bank yang mencuri dana nasabah sejatinya bukanlah hal yang baru dalam dunia perbankan. Fenomena ini, menurutnya, telah berulang kali terjadi dan menunjukkan pentingnya penataan ulang sistem pengendalian internal di tubuh lembaga perbankan, khususnya dalam pengelolaan akses informasi dan transaksi.

“Oleh karena itu, pihak bank harus terus menerus menata kembali pemberian password kepada pegawai mereka,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (5/6/2025).

Ia menjelaskan, pada umumnya terdapat dua jenis password. Pertama: password untuk data entry untuk pegawai dengan pangkat yang lebih rendah; kedua, password untuk verifikasi yang dipegang oleh atasan atau pegawai yang memiliki kewenangan lebih tinggi.

Setiap pegawai yang memegang salah satu dari akses tersebut, lanjut Paul, wajib melaksanakan perubahan password secara berkala dan atau tak berkala.

“Lebih dari itu, pegawai yang memegang password verifikasi dilarang untuk “meminjamkan” password-nya kepada bawahannya dalam kondisi mendesak seperti tidak masuk kerja atau tugas luar,” sambungnya.

Selain hal atau aspek teknis seperti manajemen password, Paul juga menyoroti pentingnya penguatan sistem pengawasan internal. Menurutnya, di setiap unit setingkat cabang, wajib ada pengawas internal. Begitu pula di level divisi, harus ada divisi audit yang menjalankan fungsi pengawasan menyeluruh.

“Divisi Audit juga wajib melakukan pengawasan atau audit teknologi di luar audit berkala. Upaya demikian merupakan mitigasi risiko pembobolan bank,” pungkasnya.

Agar Kasus Serupa Tak Terulang

Terpisah, pengamat perbankan Agus Wibowo menilai maraknya kasus kejahatan di sektor perbankan–khususnya penggelapan dana oleh pegawai yang terjerat judi online–mengindikasikan lemahnya sistem pengendalian internal di tubuh perbankan itu sendiri.

Sebagai langkah preventif, Agus Wibowo—yang juga merupakan dosen di Politeknik Jakarta Internasional—menyarankan agar upaya pencegahan dimulai dengan penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Langkah awal yang krusial adalah memperketat proses seleksi dan memberikan pelatihan yang tepat bagi para karyawan.

Selain itu, bank perlu memperkuat budaya organisasi yang berorientasi pada manajemen risiko dan kepatuhan. Salah satu mekanisme yang direkomendasikan adalah penerapan konsep dual control, yaitu pembagian wewenang dalam proses transaksi agar tidak ada satu pegawai pun yang mengendalikan seluruh proses dari awal hingga akhir.

“Dual control itu artinya tidak boleh seseorang atau satu orang karyawan melakukan pekerjaan dari awal hingga akhir. Jadi harus satu pekerjaan dipegang satu orang kemudian satu lagi ada supervisornya dan satu lagi ada pengawasnya lagi,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (5/6/2025).

Selain itu, ia juga menyoroti adanya pemisahan fungsi atau segregasi tugas. Sebagai contoh, orang yang memegang jabatan sebagai marketing atau account officer yang bertugas untuk mencari nasabah atau calon debitur tidak seharusnya menangani tugas lainnya.

Setiap tahapan harus ditangani oleh unit yang berbeda agar tidak terjadi konflik kepentingan atau kecurangan. “Jangan semua dari awal hingga akhir satu orang itu yang ngerjain. Itu riskan sekali,” ujarnya.

Selain Itu, Agus juga menekankan pentingnya audit internal. Menurutnya, sesuai ketentuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), audit internal di setiap cabang wajib dilakukan minimal satu kali dalam setahun.

Dari sisi regulator seperti OJK dan Bank Indonesia, Agus menyebut bahwa regulasi sudah cukup lengkap, terutama sejak diberlakukannya prinsip Know Your Customer (KYC) yang kini telah berkembang menjadi Know Your Employee (KYE). Namun, ia menekankan bahwa sebesar apa pun regulasi dibuat, jika tidak dijalankan dengan disiplin oleh pihak bank, maka efektivitasnya tidak akan terasa.

Agar kasus serupa tak terulang, budaya risiko dan budaya anti-fraud harus dibangun kuat di semua lini, dari direksi sampai petugas keamanan dan office boy. “Dan kemudian ya, compliance, kepatuhan bank dalam melaksanakan regulasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” pungkasnya.