.CO.ID – JAKARTA.
Indonesia sedang menghadapi tantangan berat guna meraih target penjualan sebanyak 1 juta kendaraan bermotor tiap tahunnya. Mengingat pertumbuhan penjualan saat ini yang mulai menurun, memberikan subsidi serta merevisi kebijakan pajak mungkin dapat membangkitkan kembali sektor otomotif.
Kepala Sekretariat Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan bahwa memberikan insentif ternyata menjadi elemen penting dalam mendorong sektor industri secara signifikan. Hal ini terlihat lebih jelas saat pasar sedang mengalami tantangan seperti krisis atau penurunan kemampuan konsumsi masyarakat.
Contohnya saat pandeminya virus corona di tahun 2020, terlihat penurunan dalam sektor penjualan mobil.
wholesales
Hanya mencapai angka 532.000 unit di tahun tersebut. Namun, setelah pemerintah memberikan insentif, penjualan kendaraan naik menjadi 867.000 unit pada 2021 dan berhasil melewati batas satu juta unit pada tahun 2022 dan 2023.
Meskipun menghadapi beragam perubahan dalam iklim ekonomi, penjualan otomotif kembali merosot menjadi 865.000 unit pada tahun 2024. Tahun ini, Gaikindo memperkirakan bahwa volume penjualan kendaraan bermotor hanya mencapai sekitar 850.000 unit.
“Insentif untuk periode singkat ini sungguh membantu dan memacu sektor kami. Akan tetapi, perubahan pada situasi ekonomi mengakibatkan penurunan (jual beli mobil) kembali. Tetap saja hal tersebut menjadi bukti bahwa insentif cukup efektif,” paparan Kukuh saat partisipasi dalam forum diskusi yang diadakan oleh Forum Wartawan Industri (Forwin), Senin (19/5).
Setelah itu, Kukuh membandingkan angka penjualan kendaraan bermotor dengan berbagai negara di kawasan ASEAN. Dia mencatat bahwa pada tahun lalu, penjualan otomotif dalam negeri Malaysia telah melampaui Thailand.
Penjualan kendaraan bermotor di pasarn dalam negeri Malaysia tercatat sebanyak 816.747 unit, menjadikan negara ini berada pada urutan kedua setelah Indonesia. Berdasarkan pernyataan Kukuh, daya beli mobil di Malaysia diperkirakan masih akan meningkat karena pihak berwenang tetap memberikan insentif serupa dengan periode pandemic Covid-19.
“Meskipun Malaysia memiliki populasi sekitar 30 juta orang, mengapa pasar mereka mencapai angka 800.000? Menurut informasi dari kawan kita di sana, sepertinya pemerintah Malaysia masih menetapkan aturan yang diberlakukan saat pandemic dan belum dibatalkan. Hal ini rupanya memberikan dampak signifikan terhadap ukuran pasar tersebut,” jelaskan Kukuh.
Di samping itu, Kukuh juga mengkritik aturan perpajakan. Hal ini karena Indonesia termasuk salah satu negara dengan tarif pajak untuk Kendaraan Bermotor yang paling tinggi di seluruh dunia.
“Saya pernah menghadiri suatu acara internasional di Vietnam. Ada keluhan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tarif pajak tertinggi. Aku terkejut mendengarnya. Namun ketika diperlihatkan buktinya, aku hanya bisa tersenyum sebab memang itu faktanya,” ungkap Kukuh.
Kukuh menyebutkan bahwa sebuah mobil langsung dari pabrikan dengan hargaRp 100 juta dapat naik hingga Rp 150 juta ketika dijual kepada konsumen. Dia juga menunjukkan perbedaan dalam tingkat pajak untuk tipe kendaraan tersebut; biaya pajaknya di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangganya, Malaysia.
Sebagai contoh untuk kendaraan seperti Avanza, PKB dan BBN di Malaysia kurang dari Rp 1 juta. Sementara itu di Indonesia bisa mencapai kira-kira Rp 6 juta. Bedanya dengan kondisi di Indonesia, di Malaysia tak ada keharusan melakukan perpanjangan setiap lima tahun.
Kukuh juga menggarisbawahi penarikan cukai pada barang-barang mewah seperti beberapa tipe mobil. Sebenarnya, tipenya ini justru sering digunakan oleh orang-orang sebagai alat utama dalam upaya memenuhi kehidupannya sehari-hari dan mendapatkan penghasilan.
Kukuh mengatakan bahwa diperlukan penilaian komprehensif untuk menciptakan regulasi jangka panjang yang dapat memacu perkembangan sektor industri secara berkesinambungan. Terlebih lagi, dengan kemajuan teknologi yang pesat ini telah membawa keluar jenis dan model mobil baru.
“Kemungkinan besar diperlukan penilaian ulang, sebab kami menginginkan suatu keputusan yang dapat berlangsung lama. Akan tetapi, di samping itu pula harus ada peningkatan dalam hal kemampuan konsumen untuk membeli barang atau jasa. Sebab bagaimana pun jika rakyat tidak memiliki kapabilitas ekonomis, memberikan insentif apapun menjadi tantangan,” tegas Kukuh.
Dalam kesempatan tersebut, Riyanto dari LPEM FEB-UI atau lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia, setuju bahwa memberikan insentif serta mengevaluasi sistem pajak merupakan faktor penunjang utama untuk perkembangan sektor industri.
Menurut Riyanto, penjualan kendaraan bermotor di Indonesia telah mencapai titik jenuh dari tahun 2013 hingga 2019.
Walaupun menghadapi kemacetan, volume penjualan kendaraan bermotor pada masa tersebut tetap mencapai angka satu juta unit. Berbanding terbalik dengan situasi saat ini yang telah menurun di bawah satu juta unit. “Industri otomotif sesungguhnya dapat dikatakan sedang mengalami resesi,” ungkap Riyanto.
Riyanto sempat memerhatikan data penjualan dari Januari hingga April 2025 yang mencapai 256.368 unit dan tercatat berkurang sebesar 2,90% jika dibandingkan dengan periode serupa di tahun sebelumnya. Dengan menggunakan angka tersebut dalam perhitungan simulasi, Riyanto menduga bahwa total volume penjualan kendaraan untuk seluruh tahun 2025 diperkirakan hanya akan menembus angka 769.104 unit.
Perkiraan tersebut jatuh sebesar 11,16% bila dibandingkan dengan penjualan tahun sebelumnya yang mencapai angka 865.723 unit. “Secara kasarnya, jika dilihat secara linear. Semoga saja di pertengahan tahun ada hal-hal yang dapat meningkatkannya,” terang Riyanto.
Riyanto membandingkan situasi di sektor otomotif dengan seseorang yang sedang terjatuh dan ditimpuk oleh sebuah tangga. Ia memberikan ilustrasi tentang kenaikan biaya asuransi sebagai contohnya, sehingga meningkatkan bebannya bagi para pemilik kendaraan.
Riyanto menyatakan bahwa jumlah seluruh pajak untuk kendaraan di Indonesia dapat menjangkau hingga 42% dari nilai penjualan.
“Sebagai contoh, jika harga sebuah mobil adalah Rp 300 juta, maka sekitar 42% di antaranya merupakan pajak. Secara keseluruhan dalam waktu lama, lebih baik dilakukan penilaian untuk menemukan tarif pajak yang tepat bagi pemerintah, industri, dan publik,” jelasnya.
Sebaliknya, Riyanto setuju bahwa memberi insentif pada sektor otomotif bakal berdampak besar, terutama untuk ekonomi negara.
Pada simulasi yang dilakukan oleh Riyanto, dia menyebut bahwa penawaran insentif bebas pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dapat berkontribusi sebesar kira-kira 0,793% pada pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, dari perspektif penghematan sumber daya saya, sejauh ini dibutuhkan keseimbangan segar. Perlu adanya pajak yang dapat merangsang pertumbuhan industri serta mendapat akseptansi publik, disertai dengan pemberian insentif. Pihak berwenang harus mempertimbangkan hal-hal tersebut.
cost-benefit
Secara keseluruhan. Turunannya sangat panjang hingga mencakup pembuatan lapangan kerja, kemajuan industri, serta perkembangan ekonomi,” jelas Riyanto.
Saat ini, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Perlengkapan Pertahanan di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yaitu Mahardi Tunggul Wicaksono, mengonfirmasikan bahwa pihaknya akan menerima beragam saran menjadi bahan evaluasi untuk merevisi kebijakan terkait insentif baik yang bersifat fiskal ataupun non-fiskal.
“Pemerintah pun bakal melihat aspek finansial negara. Jika tak dapat memberikan insentif pajak, kita akan pertimbangkan opsi non-pajak. Kemenperin telah menjelaskan hal ini kepada para pemangku kepentingan di sektor industri serta membahasnya bersama kementerian dan lembaga yang relevan,” ujar Mahardi.
Mahardi juga menyatakan bahwa pemerintah tak hanya fokus pada pengadaan insentif untuk satu jenis teknologi tertentu. Mereka pun sedang mempertimbangkan penawaran insentif bagi seluruh macam campuran sumber daya energi, yang meliputi kendaraan menggunakan bahan bakar hidrogen.
“Setiap campuran energi akan menerima insentif. Mobil hidrogen di masa mendatang juga akan mendapatkannya, sebab beberapa pihak telah mengadakan pembicaraan dengan kita. Kita sedang membahas tentang jenis insentif yang sesuai,” tegas Mahardi.
Berikut adalah data terkini: Terdapat 32 fasilitas manufaktur kendaraan beroda empat di Indonesia serta sebanyak 73 tempat pembuatan sepeda motor baik bertiga maupun beralih ke dua roda. Produktivitasnya mampu menghasilkan total 2,35 juta unit setiap tahun untuk jenis mobil dan 10,72 juta unit tiap tahun untuk ragam sepeda motor.
Jumlah dana yang diinvestasikan dalam sektor otomotif mencapai Rp 174,31 triliun. Dana tersebut terbagi menjadi investasi pada pembuat mobil senilai Rp 143,91 triliun serta investasi pada produsen sepeda motor dengan nilai Rp 30,4 triliun.