jabar.
, BANDUNG – Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung kini tengah berada dalam tahap persiapan menuju pemilihan rektor baru yang akan menjabat dari tahun 2025 hingga 2030.
Pada hari Selasa tanggal 6 Mei 2025, Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) telah memilih tiga calon untuk posisi rektor, yaitu Profesor Didi Sukyadi, Profesor Vanessa Gaffar, serta Profesor Yudi Sukmayadi.
Akan tetapi, perjalanan menuju terpilihnya rektor baru di institusi pendidikan negeri yang dulunya dikenal sebagai Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (IKIP) Bandung ini dinilai mempunyai beberapa masalah. Sejak jauh hari sebelum pelaksanaannya, anggota Senat Akademik (SA) dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Profesor Elly Malihah menyatakan keragu-raguan atas cara pemilihan tersebut.
Program Studi Pendidikan Sosiologi menganggap bahwa tahapan memilih rektor di UPI mungkin tidak akan mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, keterbukaan informasi, serta keadilan. Alasan utama dugaan ini adalah terkait dengan Pasal dalam Peraturan MWA No. 1/2025 yang membahas tentang Proses Tersebut.
Menurut Elly, Pasal 17 dari Peraturan MWA tMWA No. 1/2025 mengandung aturan yang bisa membuka peluang untuk terjadinya persekongkolongan, tidak sesuai dengan prinsip-demokrasi, serta bertentangan dengan Statuta UPI. Ia menekankan perihal metode ‘one person nine vote’ dalam proses pemilihan anggota MWA UPI di masa lalu sebagai salah satu contoh masalah tersebut.
“Anggota SA yang memilih sembilan individu dalam MWA secara jelas mengindikasikan adanya persekongkolangan serta tindakan yang bertentangan dengan demokrasi. Hal ini membentuk dominansi dan otoritarianisme dari kelompok mayoritas,” ungkap Elly beberapa saat yang lalu.
Di samping itu, Elly juga berpendapat bahwa aturan di Peraturan MWA UPI malah membatasi kewenangan Menteri Pendidikan Tinggi dalam proses penunjukan rektor UPI. Kekuatan sang menteri yang tadinya mencapai 35 persen dikurangi hanya menyisakan satu suara saja.
“Elly menyatakan bahwa aturan MWA yang menetapkan suara menteri setingkat dengan anggota MWA lainnya adalah tidak sah,” ungkap Elly yang berbicang atas nama delapan koleganya dari SA UPI.
Sesungguhnya SA UPI sudah berjumpa dengan MWA pada tanggal 15 April 2025. Di pertemuan tersebut turut hadir Ketua MWA UPI Komjen (Purn) Nanan Soekarna, yang mengusulkan tagline ‘nilai untuk nilai, komitmen penuh, tanpa konspirasi’ dalam proses pemilihan rektor.
Pada rapat di University Center UPI, Elly bersama timnya dari SA mengecam aturan dalam Pasal 17 MWA yang berkaitan dengan prosedur pemilihan rektor. Sehubungan hal ini, SA mendesak agar MWA melakukan penyempurnaan terhadap regulasi seputar pemilihan rektor tersebut.
“ Tanpa perubahan Pasal 17, peraturan MWA berpotensi delik hukum yang akan mengganggu proses penetapan rektor,” imbuh Elly.
Prof. Dr. Nugraha dari UPI, seorang guru besar yang terhormat, memiliki ketidaknyamanan serupa. Dia, ahli utama dalam bidang manajemen keuangan perilaku, merisaukan bahwa praktik satu orang tiga suara saat memilih rektor di UPI dapat menciptakan peluang untuk persekongkolannya kuasa.
“Apabila seorang individu dapat mempunyai tiga hingga sembilan suara, maka dimanakah posisi dari keadilan yang mewakili untuk kalangan academica lain?” ungkap Prof. Nugraha.
Nugraha mengatakan bahwa skema tersebut dapat menyebabkan penghitungan suara menjadi statis sebelum tahap voting dimulai. Karena alasan ini, ia meminta agar aturan-aturan yang tidak demokratik dan menciderai hak suara golongan lain direvisi.
“Kami mengajak untuk melakukan perubahan pada mekanisme voting di UPI, terutama dalam penentuan anggota SA di setiap fakultas, pemilihan anggota MWA oleh SA, serta proses pemilihan calon rektor oleh MWA,” ungkapnya.
(mar5/jpnn)