KORAN – PIKIRAN RAKYAT –
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) mendesak pemerintah untuk membongkar mafia beras. Pasalnya, hal ini telah menciptakan ketidakpercayaan di kalangan konsumen terhadap pedagang pasar tradisional.
“Pedagang pasar kerap kali disalahkan ketika konsumen mendapati kualitas beras yang tidak sesuai. Padahal, banyak dari kami tidak tahu bahwa beras yang kami terima sudah dioplos sejak dari distributor,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) APPSI Mujiburohman dalam keterangan di Jakarta, Selasa 1 Juli 2025.
Dia menyatakan, pihaknya mendukung Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membongkar praktik mafia beras. Menurut dia, maraknya praktik pengoplosan beras itu terjadi dari sisi kualitas maupun kemasan.
Mujiburohman menyambut baik langkah Kementerian Pertanian maupun Satgas Pangan yang melakukan inspeksi mendadak dan membongkar gudang-gudang penyimpanan beras oplosan di sejumlah wilayah.
“Tindakan tersebut tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga menyelamatkan nama baik pedagang pasar yang selama ini terkesan ikut terlibat, padahal juga menjadi korban. Kami berharap, pemerintah terus melakukan pengawasan ketat terhadap rantai distribusi pangan, khususnya beras. Pedagang pasar butuh kepastian bahwa produk yang kami jual berasal dari sumber yang legal dan berkualitas,” katanya.
Mujiburohman mengimbau seluruh pedagang pasar yang tergabung dalam APPSI lebih selektif dalam memilih distributor dan memastikan asal-usul barang dagangan mereka. APPSI juga siap bekerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan pasar yang sehat, transparan, dan berpihak kepada masyarakat.
Pengawasan
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, hampir semua masalah distribusi bantuan pemerintah lemah di aspek pengawasan. Oleh karena itu, hal ini diharapkan menjadi fokus perhatian pemerintah ke depannya.
Masalah lemahnya pengawasan ini juga terjadi pada distribusi beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) seperti yang dipaparkan Menteri Pertanian. “Beras SPHP tidak disalurkan langsung ke masyarakat tapi melalui pedagang dan juga produsen beras,” ujar Huda.
Akibatnya, pedagang beras nakal mendapatkan beras SPHP dan mengoplosnya sama beras medium. Pada bagian ini masyarakat tentu tidak akan ngecek satu per satu beras yang dibeli. Kejadian oplosan seperti ini sering terjadi di pedagang tradisional.
“Namun, bagi pasar modern, seperti supermarket, kejadian beras SPHP ini sangat jarang terjadi. Jadi seharusnya memang disalurkan melalui gudang Bulog langsung atau melalui ritel yang gampang pengawasannya,” tutur Nailul.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian menilai, penyelewengan ini salah satunya karena konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai kualitas, komposisi atau asal-usul beras yang bereka beli.
“Pedagang yang melakukan praktik oplosan pun itu memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability,” kata Eliza menjelaskan.
Di sisi lain, temuan Kementerian Pertanian yang menyatakan ada 85,56% beras premium dan 88,24% beras medium dijual tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu.
Selain itu, praktik oplosan yang dianggap biasa di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran, yang menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. “Jadi memang perlu efek jera misal mencabut izin usaha atau denda berkali kali lipat,” kata Eliza.
Dia mengingatkan bahwa praktik oplosan yang marak dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas. Hal ini dapat memicu keresahan sosial, pasalnya, beras ini komoditas yang begitu sensitif dan bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.***