Target penurunan angka tengkes (
stunting
) menjadi 14% pada 2024 tidak tercapai. Hingga 2024, prevalensi tengkes di Indonesia masih berada di level 19,8%. Angka ini mendekati batas 20% yang dipatok WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat yang kronis.
Persoalan
stunting
ini lebih dari sekadar isu gizi. Tidak berkembangnya tubuh anak menggambarkan rendahnya kualitas SDM sejak dini dan berkontribusi pada lingkaran kemiskinan antargenerasi. Anak-anak
stunting
tidak hanya tumbuh lebih pendek, tetapi juga mengalami keterbatasan kognitif dan produktivitas rendah di masa dewasa.
Support kami, ada hadiah spesial untuk anda.
Klik di sini: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Bank Dunia (2016) memperkirakan bahwa
stunting
bisa menyumbang kerugian hingga 2-3% terhadap PDB suatu negara. Sayangnya, hingga kini intervensi
stunting
masih kerap terjebak dalam pendekatan yang terlalu teknokratis: penimbangan, edukasi satu arah, hingga bantuan pangan yang belum tentu dikonsumsi oleh anak yang tepat.
Prevalensi
stunting
terbesar terjadi di provinsi dengan jumlah penduduk miskin tertinggi, seperti Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan NTT, yang artinya penanganan belum merata.
- INFOGRAFIK: Stunting di Indonesia Menurun, Terbanyak di Jabar
- Jokowi Akui Sulit Capai Target Penurunan Stunting, Ini Alasannya
- Apa itu Fortifikasi Pangan? Upaya untuk Atasi Stunting di Indonesia
Komparasi Global Penurunan
Stunting
Negara maju umumnya memiliki anggaran dan sistem kesehatan yang lebih baik untuk menangani
stunting
, termasuk akses layanan kesehatan ibu dan anak, edukasi gizi, dan program sosial. Sedangkan, negara berkembang seringkali belum mampu secara optimal menyediakan hal-hal tersebut.
Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Indonesia, sebagai negara berkembang, perlu meningkatkan kolaborasi lintas sektor dukungan internasional untuk mempercepat penurunan
stunting
(World Bank Group, 2018). Hal ini penting karena Indonesia masih menghadapi tantangan seperti gizi buruk, kemiskinan, minimnya pengetahuan orang tua terhadap nutrisi dan pola asuh, serta ketidakmerataan akses layanan kesehatan.
Menurut Anita (2025), negara berkembang umumnya memiliki tantangan yang serupa. Akan tetapi, hal ini bukanlah penghalang bagi negara berkembang dalam melakukan upaya penurunan prevalensi
stunting
yang efektif (secara signifikan dalam waktu singkat).
Berdasarkan data UNICEF (2023), sembilan dari 10 peringkat teratas negara dengan penurunan
stunting
tercepat di dunia berasal dari Asia. Ditinjau dari klasifikasi pendapatan, tujuh negara tersebut berstatus
lower middle income
(Nepal, Bangladesh, Vietnam, Kamboja, Uzbekistan, Bhutan, dan India) dan bahkan dua negara berstatus
low income
(Korea Utara dan Ethiopia). Di antara daftar tersebut, Cina merupakan satu-satunya negara dengan status
upper middle income
.
Negara berstatus
high income
tidak termasuk dalam top 10 penurunan
stunting
. Justru, negara berkembang yang menunjukkan kemajuan signifikan. Penyebabnya yaitu banyak negara berkembang yang berangkat dari prevalensi yang sangat tinggi sehingga banyak terdapat
room of improvement
.
Tujuh dari sepuluh negara dengan penurunan
stunting
tercepat memulai dari prevalensi di atas 60%. Ini mempertegas bahwa penurunan
stunting
yang efektif bukan hanya tergantung pada tingkat pendapatan negara, tetapi juga pada komitmen politik yang kuat dan kebijakan publik yang tepat (Marini et al., 2017).
Cina, peringkat ke-6 tercepat dalam penurunan
stunting
merupakan
outlier
positif. Sebagai satu-satunya negara
upper-middle income
, prevalensi terkini Cina paling rendah di antara top 10 lainnya (4,8% pada 2017). Dalam tempo 30 tahun, Cina menunjukkan keberhasilan reformasi sistemik dan terintegrasi. Pengalaman ini tentunya dapat menjadi
lesson learned
.
Belajar dari Cina
Cina menawarkan pelajaran penting. Negeri ini sukses menurunkan prevalensi
stunting
dari 38,3% pada 1987 menjadi hanya 4,8% pada 2017 (UNICEF, 2023). Lebih spesifik, melalui (salah satu program bernama)
Rural Dibao
(yang dimulai pada 2007), Cina menekan
stunting
dari 11,7% pada 2005 menjadi 4,8% pada 2017, atau turun sekitar 6,9%.
Rural Dibao merupakan program bantuan tunai tanpa syarat (
Unconditional Cash Transfer
) yang menyasar rumah tangga miskin di pedesaan, dengan seleksi yang ketat berdasarkan data pengeluaran, aset, dan kondisi keluarga. Penelitian Chen dkk. (2024) menunjukkan bahwa program ini berhasil meningkatkan tinggi badan terhadap usia anak (
Height-for-Age Z-score
) sebesar 1,05 standar deviasi dan dan menurunkan risiko
stunting
hingga 11,9%.
Uang tunai yang diberikan penggunaanya didorong untuk membeli makanan bergizi yang kaya protein, meningkatkan akses ke layanan kesehatan, dan memperbaiki sanitasi rumah tangga. Namun, kunci keberhasilan Dibao bukan semata pada transfer uangnya, melainkan integrasi dengan intervensi lain seperti edukasi gizi,
monitoring
kesehatan anak, dan perbaikan data sosial.
Stunting dan Tantangan Intervensi Terpadu
Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai skema bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Sembako. Namun, tantangan utamanya adalah akurasi sasaran. Data Setkab pada 2025 menyebutkan 45% penerima PKH dan Sembako tidak tepat sasaran.
Inclusion dan exclusion error
masih menjadi masalah klasik karena validitas data yang relatif lemah.
Di sisi lain, jumlah bantuan yang terlalu kecil dan sifatnya konsumtif belum cukup mendorong perubahan perilaku keluarga dalam memberikan asupan gizi (utamanya protein) yang memadai kepada anak. Bahkan, bantuan tunai bisa menjadi disinsentif jika tidak disertai pembatasan durasi atau insentif berbasis capaian.
Belajar dari Cina, Indonesia perlu memperbaiki desain bantuan sosial agar lebih efektif dalam menurunkan
stunting
:
- Memperbaiki akurasi data dan integrasi sistem, misalnya dengan memanfaatkan data yang sudah ada dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM). Meskipun berasal dari institusi dan memiliki fokus yang berbeda, hal ini dapat memberi arah awal bagi sinergi lintas sektor untuk menyempurnakan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).
-
Meningkatkan kombinasi bantuan tunai dengan edukasi dan pendampingan. Misalnya, ibu wajib mengikuti pelatihan gizi atau membawa anaknya ke posyandu secara rutin yang didukung oleh
monitoring
dan evaluasi secara berkala. - Memberikan insentif berbasis capaian: keluarga yang berhasil meningkatkan status gizi anak sebaiknya memperoleh tambahan bantuan.
-
Memfokuskan intervensi kemudahan akses protein pada enam provinsi dengan jumlah balita
stunting
tertinggi.
Skenario yang penulis kalkulasi, enam provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, NTT, dan Banten) yang memiliki jumlah balita
stunting
paling banyak perlu menurunkan 20% atau sekitar 356.486 balita yang bebas dari masalah
stunting
. Dengan begitu, prevalensi nasional bisa turun hingga 2,6%, dari 21,5% pada 2023 menjadi 18,8% pada 2025. Namun, Jika penurunan 20% tersebut tidak terpenuhi, maka dipastikan target 2025 (sebagai
baseline
2029) tidak akan tercapai.
Masalah
stunting
adalah masalah sistem. Ia tidak akan selesai hanya dengan program karitatif atau kegiatan seremonial. Indonesia butuh reformasi dalam bantuan sosial: memperkuat data, memperbaiki
targeting
, dan membangun integrasi lintas sektor. Bantuan tunai bisa efektif, tetapi hanya jika menjadi alat perubahan perilaku, bukan sekadar angka serapan anggaran. Tanpa itu semua, target 2025 bukan hanya sulit dicapai, tetapi juga menjadi tanda kegagalan kolektif kita sebagai bangsa.