– Keributan di Pati yang dipicu oleh Bupati Pati Sudewo dimulai dengan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 250 persen. Kebijakan menaikkan PBB secara mendadak menunjukkan perubahan pemahaman pemerintah daerah (Pemda). Dari PBB sebagai pengendali harga tanah menjadi sumber pendapatan Pemda.
Sekretaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria Iwan Nurdin menyampaikan bahwa kebijakan kenaikan PBB sebesar 250 persen dan berbagai daerah yang melakukan hal ini secara bersamaan dan tanpa perencanaan yang matang merupakan bukti bahwa Pemda telah mengubah pandangan mereka. “PBB yang dulu berfungsi sebagai pengendali harga tanah kini berubah menjadi sumber pendapatan,” ujarnya.
Meskipun sesuai dengan Undang-undang (UU) 5/1960 tentang Agraria, PBB hanya bertugas sebagai pengendali harga tanah. Namun, kenyataannya pemerintah daerah melanggar UU tersebut karena alasan kekurangan dana.
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
“Sebelumnya informasinya pemerintah daerah tidak memiliki dana atau anggaran, semua orang tidak tahu tingkat dari ketiadaan anggaran ini. Biasa saja, sedang atau parah hingga membuat pemerintah daerah dengan mudah menaikkan PBB,” katanya.
Selain itu, diketahui bahwa dana yang berasal dari pusat ke pemerintah daerah mengalami penurunan, sehingga menjadi penyebab kekurangan anggaran di tingkat daerah. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah daerah menuntut pemerintah pusat untuk berbagai jenis dana yang berasal dari pusat, seperti dana alokasi khusus, dana alokasi umum, bagi hasil pajak dan lain sebagainya.
“Getol meminta dana alokasi dari pusat. Bukan dengan menaikkan PBB secara sembarangan,” katanya.
Selain itu, kenaikan pajak harus disertai dengan presentasi yang jelas. Masyarakat, asosiasi, pengusaha, dan rakyat diajak berdiskusi mengenai alasan kenaikan serta dasar hukumnya.
“Selain itu, dasar kenaikan sebesar 250 persen tidak jelas. Seharusnya terdapat tim survei dan penilaian untuk memastikan bahwa dasar kenaikan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku. Tim survei ini juga memerlukan biaya yang cukup besar,” ujarnya.
Selain itu, PBB ini adalah warisan kolonial Belanda. Yang selama ini terus diakomodasi oleh pemerintah.
“Kemendagri hanya menetapkan aturan yang dapat direvisi setiap 3 tahun, baik meningkat atau menurun,” tegasnya.
Saat membahas mengenai tanah, terdapat berbagai jenis pajak. Dalam transaksi tanah terdapat pajak penghasilan, bea peralihan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah/Bangunan (BPHTB), serta pajak pertambahan nilai. Selain itu, setiap tahun juga ada PBB. Banyak sekali pajak terkait tanah, padahal seharusnya pajak tersebut dikembalikan kepada masyarakat.
“Apakah yang dikembalikan ke negara sebagai kontribusi, tidak ada. Tidak ada kejelasan dalam penggunaan dana hasil pajak. Wilayah yang terkena banjir tetap tergenang, lingkungan yang tidak aman tidak ada yang menangani,” tegasnya.
Oleh karena itu, selanjutnya, sebagai cara mengatasi masalah PBB dan tanah, pemerintah daerah perlu kembali pada pandangan awal. “PBB berfungsi sebagai pengendali harga tanah, bukan sebagai sumber pendapatan negara,” jelasnya.