OPM Mengklaim Warga Sipil Masih Ditarget oleh Penembakan di Tanah Papua

OPM Mengklaim Warga Sipil Masih Ditarget oleh Penembakan di Tanah Papua

.CO.ID,

PAPUA TENGAH – Kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) menyatakan bahwa serangkaian pembunuhan terhadap penduduk biasa masih berlanjut di wilayah Papua. Korban jiwa semakin banyak di antara masyarakat sipil seiring dengan meningkatnya intensitas operasi militer oleh pasukan TNI beberapa waktu belakangan.


Satu operasi militer berlangsung pada hari Jumat (23/5/2025) sekitar pukul 10:15 WITA, yang terjadi di desa Kimupugi dalam distrik Kamu, kabupaten Dogiyai, provinsi Papua Tengah. Menurut klaim TPNPB-OPM saat itu, lima orang warga sipil dinyatakan tewas akibat tembakan.


Di antara mereka ada Marthen Tebai (12 tahun), yang dilaporkan mengalami tembakan di kaki. Selanjutnya, Pios Waine (15) mendapat tembakan di dadanya, Nopentus Tebai (13) terluka oleh peluru di telinganya, Deserius Tebai (12) juga tertembak pada kakinya, sementara Feri Tibakoto dengan usia tidak disebutkan ditembak di bagian perut. Menurut kutipan dari TPNPB-OPM, “Seluruh korban ini merupakan warga sipil yang semuanya adalah anak-anak berusia kurang dari 16 tahun; saat ini mereka semua dalam perawatan tradisional di tempat tinggal masing-masing.”


Diketahui pula bahwa pasukan militer dipindahkan dari Paniai dan Deiyai menuju Dogiyai pada hari Sabtu (24/5/2025) untuk menghadapi situasi tersebut. “Tujuan pergerakan ini adalah dalam upaya penanganan daerah usai insiden kematian warga sipil yang terjadi saat operasi pencarian dilakukan di Kampung Kimupugi.”


Operasi pencarian yang dijalankan oleh tentara pemerintah Indonesia berlangsung setelah satuan TPNPB Kodap XI Odiyai Dogiyai menembak salah satu personel dari Polres Paniai, yaitu Bripda Musa Fidel Castro Korano. Dia mendapat luka akibat tembakan dengan senjata tradisional dari TPNPB.




Pada hari Minggu, tanggal 25 Mei 2025, delapan kendaraan militer Indonesia dari kota Nabire bergerak menuju Dogiyai melalui jalur Kali Menou Nabire serta Kali Bumi menuju Mapia sambil membawa perlengkapan tempur. Selama satu minggu terakhir, 200 personel militer telah diutus ke Dogiyai guna meningkatkan posisi pertahanan militer Indonesia menghadapi serangan TPNPB.


Pada hari Kamis tanggal 22 Mei 2025, pasukan militer melapor bahwa Agus Murib tewas akibat tembakan sekitar pukul 03.00 WITA di kampung Toanggi II, distrik Gome Utara, Ilaga, Papua. Kejadian ini terjadi ketika Agus Murib sedang dalam perjalanan menuju hutan bersama istriya untuk mengumpulkan rotan dan tanaman sayuran. Pihak OPM menyatakan bahwa Agus Murib tidak berafiliasi dengan organisasi mereka.


“Kantor pusat Komnas TPNPB mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Panglima TNI untuk memprioritaskan hukum kemanusiaan saat melancarkan operasi militer di Dogiyai, Puncak, Intan Jaya, serta semua daerah di Papua. Mereka juga menyerukan penghentian serangan pada warga sipil yang tidak berdosa,” demikian tertulis dalam pernyataan itu.


Menurut pemerintah Indonesia, pembantaian serta serangan yang dialami oleh masyarakat biasa disinyalir juga telah dilancarkan kelompok separatis OPM. Pada tanggal 21 hingga 22 Maret tahun 2025 silam, gerakan tersebut diketahui melancarkan penyerangan ke arah para pendidik dan petugas medis di wilayah Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan.


Menimbulkan enam korban jiwa. Antara tanggal 6 sampai 9 April 2025, sekelompok separatis melancarkan serangan terhadap para penggali emas di Distrik Seradala, Yahukimo. Lebih dari sepuluh penambang menjadi korban dalam insiden tersebut.


Kapuspen TNI Mayor Jenderal (Mayjen) Kristomei Sianturi mengklaim bahwa adanya korban penembakan di antara warga sipil hanyalah bagian dari propagandan kelompok separatis. Dia menegaskan bahwa sebaliknya, OPM lah yang telah “menyerang guru dan petugas kesehatan” karena merujuk pada mereka sebagai mata-mata TNI.

Penduduk memindahkan jenazah korban dari operasi TNI-Polri di Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah, pada hari Selasa (13/5/2025). -(Foto: TPNPB)


Sebelumnya, TNI mengungkapkan tuduhan terhadap kelompok separatis di Papua yang disinyalir menggunakan penduduk biasa sebagai perisai manusia. Komentar ini muncul setelah upaya penegakan hukum oleh Satuan Tugas Gabungan Koops Habema pada hari Selasa (13/5/2025). Dia menyatakan bahwa pasukan militer telah membekukan paling tidak 18 anggota separatis dari Organisasi Penglibatan Masyarakat (OPM).


Kapuspen TNI Mayor Jenderal (Mayjen) Kristomei Sianturi melaporkan dalam pernyataannya bahwa pasukan militer sedang melakukan operasi di kelima desa ini: Kampung Titigi, Kampung Ndugusiga, Kampung Jaindapa, Kampung Sugapa Lama, dan juga Kampung Zanamba. Semua lokasi tersebut terletak di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah.


Operasi itu awalnya dimulai dengan aktivitas TNI yang mengamankan penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan. Dari situasi tersebut, TNI juga terlibat dalam penjagaan proyek pembangunan jalan menuju daerah Hitadipa.


“Akan tetapi, acara itu disalahgunakan oleh kelompok pemisah Organisasi Papua Merdeka yang menggunakan warga umum sebagai perisai manusia dan menyebarluaskan cerita-cerita tentang ancaman terhadap masyarakat,” ujar Mayjen Kristomei.


TPNPB-OPM mengiyakan sejumlah anggotanya tewas akibat serangan tersebut. Namun mereka juga melansir data nama-nama warga sipil yang juga terkena tembakan anggota TNI-Polri.


TPNPB memerinci, seorang ibu Junite Zanambani terkena tembakan pada lengan tangan kanan dan anaknya Yegseni (tujuh tahun) ditembak bagian telinga. Sementara Nopen Wandagau ditembak bagian tangan dan satu orang lainnya juga ditembak. Korban penembakan tersebut telah dievakuasi ke sebuah rumah Klasis di Hitadipa.


Ada juga warga sipil yang sempat ditangkap aparat di Kampung Janamba dan melarikan diri dari Pos Militer Indonesia di Bilapa pada Rabu (14/5/2025) sekitar pukul 23.58. Diantaranya; Peles Hondani dan istrinya, Misael Tabuni dan istrinya, serta Julianus Janambani dan Daniel Hondani. EnamĀ  warga sipil tersebut melarikan diri dari Pos Militer Indonesia di Bilapa setelah mendengar desas-desus adanya rencana eksekusi mati oleh komandan pos Bilapa.

Pada Senin ini, jurnalis Papua Arnold Belau melansir surat terbuka yang disampaikan putri salah seorang warga yang diklaim merupakan korban penindakan oleh TNI. Warga tersebut adalah seorang perempuan bernama Hetina Mirip. Ia disebut meninggal seiring operasi penindakanĀ  di Intan Jaya. Pemerintah Kabupaten Intan Jaya mengiyakan bahwa Hetina Mirip meninggal terkait operasi tersebut.

Surat yang disebarkan oleh Arnold Belau, sang anak Hetina, yaitu Antonia Hilaria Wandagau, berisi permintaan akan keadilan bagi ibunya. “Pak Presiden, Ibu saya, Hetina Mirip, tidaklah menjadi pejuang. Dia tak termasuk dalam kelompok bersenjata atau bahkan sebagai lawan negara. Sebatas wanita asli Papua, istri pengurus rumah tangga yang selalu setia kepada kuali dan doa. Namun tadi pagi, sunyi namun mengerikan terjadi di Desa Jindapa, Kecamatan Sugapa, Kabupaten Intan Jaya; pasukan menyerbu tempat tinggal kita, menghimpit rumah kami, serta merenggut nyawa Ibuku dengan tembakan lantas membakarnya di area belakang rumah, tepat di hadapan diriku ini. Peristiwa tragis itu ditutup tanpa ritual pemakaman layak, tanpa usaha penegakan hukum, dan tiada sedikitpun kesedihan resmi dari bangsa yang seharusnya melingkupi warganya,” demikian tulisan dalam surat tersebut yang diposting oleh Arnold Belau.

Saya tulis surat ini tak cuma untuk ibuku, tetapi juga bagi ribuan wanita di negeri ini yang terbakar perlahan akibat tembakan senjata, rasa takut, serta kehidupan sebagai pengungsi. Di wilayah kita, bangunan sekolah kini seperti barak militer, posisi guru disalahggunakan dengan adanya senapan-senapan itu, sementara jeritan para anak mengiringi tiap tindakan militernya. Kebutuhan nyata kami adalah tenaga pendidik dan petugas medis, bukan prajurit-prajurit bertempur. Yang kami inginkan ialah hak atas kehidupan, bukan dipingpong dalam diam.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia beserta kantornya di Papua berencana akan aktif meneliti kejadian senapan api di Distrik Sugapa dan Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, yang diyakini telah melibatkan korban dari masyarakat umum.

“Jika belum ada laporan ke Komnas HAM, namun kita aktif dalam mengumpulkan informasi langsung di lapangan, terutama di Kabupaten Intan Jaya, lebih spesifik lagi di dua distrik tersebut,” ungkap Anggota Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing ketika memberikan keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, beberapa minggu yang lalu.

Penduduk melakukan kremasi terhadap para korban yang meninggal dalam operasi gabungan TNI-Polri di Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah pada hari Selasa tanggal 13 Mei 2025. -(Foto: TPNPB)

Uli menyatakan bahwa tim mereka saat ini sedang menganalisis data guna menentukan apakah terdapat korban warga biasa ataupun penduduk yang melarikan diri sebagai dampak dari kejadian itu. “Tim representatif kami di Papua kini dalam proses koordinasi bersama kami dan beberapa elemen lain di Intan Jaya,” jelasnya.

Menurut Uli, Komnas HAM mendukung diskusi substantif untuk menangani berbagai perselisihan kemanusiaan di Papua. Selain itu, penting pula untuk memprioritaskan perlindungan warga sipil. “Komnas HAM peduli tentang pemeliharaan hak-hak warga sipil yang tinggal di daerah dengan tensi konflik tersebut,” jelas Uli.

Komnas HAM waktu itu juga menyeru ketua TPNPB-OPM untuk mengakhiri tindakan pengancaman dan kekerasan yang dialamatkan pada warga sipil. “Saya mendesak agar dihentikan segala jenis ancaman serta kekerasan yang disengaja dan terstruktur yang dituju kepada penduduk biasa,” ungkap Uli.

Rekomendasi itu diberikan oleh Komnas HAM setelah mereka meneliti lebih lanjut tentang dua insiden yang terjadi di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan. Insiden pertama adalah tindakan kekerasan terhadap guru dan petugas kesehatan pada tanggal 21-22 Maret 2025, sementara insiden kedua melibatkan serangan kepada para penambang emas antara 6-9 April 2025.

Uli mengatakan bahwa Komnas HAM sudah melakukan pengawasan di lapangan mulai tanggal 27 April sampai dengan 2 Mei tahun 2025 di daerah kabupaten Yahukimo. Kegiatan ini mencakup penagapan data serta pencarian informasi yang komprehensif dari sejumlah pihak terkait untuk mendapatkan gambaran lengkap atas situasi tersebut.

Berdasarkan pengawasan yang disebutkan, Komnas HAM menemukan bahwa serangan terhadap guru, petugas kesehatan, dan penambang emas dilancarkan oleh kelompok separatis dengan alasan dugaan sebagai mata-mata dari pemerintahan atau militer Indonesia. Namun demikian, semua orang yang menjadi sasaran ini hanyalah warga biasa.

Terkait dengan kekerasan yang dialami oleh guru dan petugas kesehatan di Distrik Anggruk, Komnas HAM melaporkan bahwa mereka mengalami tindakan kekerasan fisik serta kata-kata kasar.

Saat yang sama, mengenai aktivitas pengolahan emas, Komnas HAM menemukan bahwa KKB telah melancarkan serangan berkali-kali.

Oleh karena itu, Komnas HAM secara bersama-sama menyarankan kepada pemimpin TPNPB-OPM agar berhenti melancarkan tindak kekerasan terhadap para guru dan petugas kesehatan yang tengah menjalani tugas mereka di setiap area di Papua. Mereka menganjurkan untuk “menghargai mekanisme serta pedoman HAM dengan fokus pada metode dialog manusiawi dan perdamaian dalam rangka membela aspirasinya,” tambah Uli.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com