Opini: Kemarahan Politik dan Cinta dalam Teologi


Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru


Pendeta GMIT yang berkarya di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur



“Kenapa hujan tak datang tepat waktu?”; “Mengapa angin makin kencang dan galak?”; “Apa dosa kita sampai Tuhan murka sedemikian rupa?”

Pertanyaan-pertanyaan ini sering terdengar dalam obrolan warung, forum gereja, dan bahkan di mimbar.

Mereka lahir dari trauma bencana, dari banjir bandang yang tak diundang, dari kekeringan yang berkepanjangan, dari panen yang gagal dan rumah-rumah yang ditinggalkan anak-anak muda karena tanah tak lagi ramah.

Tapi mari kita bertanya balik: apakah benar murka Tuhan itu hadir sebagai hukuman atas dosa-dosa manusia yang tidak bersyukur?

Atau barangkali, seperti yang mulai dikritisi dalam pemikiran teolog-teolog kontemporer, murka itu telah dikomodifikasi dan dijadikan alasan pembenar oleh mereka yang sebenarnya sedang menjual tanah, air, dan udara kita kepada modal?

Bagaimana jika murka Tuhan justru hadir dalam bentuk legalisasi keserakahan?

Bagaimana jika murka itu hadir bukan sebagai petir dari langit, tetapi sebagai dokumen izin tambang yang diteken di ruang rapat sambil menyeruput kopi impor dan berbicara tentang “potensi ekonomi”?

Bagaimana jika yang sedang murka bukan Tuhan kepada manusia, tetapi bumi kepada umat manusia?


Ekologi yang Ringkih dan Luka yang Lama

Rencana kehadiran perusahaan tambang mangan di Sabu Raijua tidak berdiri di ruang hampa.

Ia hadir dalam lanskap sosial-ekologis yang sudah lama mengalami luka dan letih.

Dalam beberapa dekade terakhir, kita melihat penggundulan hutan, penambangan pasir liar (dan yang dilegalkan), hingga kebijakan tata ruang yang abai pada daya dukung lingkungan.

Curah hujan tak menentu. Musim tanam tak bisa diprediksi. Angin kencang dating seperti preman terminal—mencabut atap dan menumbangkan harapan.

Bumi ini sedang tidak baik-baik saja. Tapi sayangnya, diskursus publik kita ikut tidak sehat.

Perdebatan tentang tambang sering direduksi menjadi soal “terima atau tolak”, seolah-olah pertanyaannya hanya soal pilihan biner.

Sementara realitasnya jauh lebih kompleks. Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah: Apakah tanah ini masih cukup sehat untuk menanggung lubang-lubang baru? Apakah kita siap menghadapi konsekuensi ekologisnya?


Teologi Murka yang Disalahpahami

Sebagian suara dari kalangan agamawan kadang justru memperparah kabut berpikir ini.

Mereka membawa narasi murka Tuhan sebagai kutuk atas “ketidaktaatan” manusia, mengaitkan bencana ekologis dengan kehidupan sosial yang “tidak kudus”.

Namun, seperti yang dikritik oleh Jürgen Moltmann, tafsir teologis seperti itu mereduksi Allah menjadi penghukum dan mengabaikan dimensi kasih dan pengharapan dalam karya penyelamatan-Nya.

Dalam buku The Spirit of Life dan God in Creation, Moltmann mengusulkan kerangka pikir baru: Allah bukan sekadar pencipta yang tinggal di surga jauh, melainkan Allah yang hadir dalam ciptaan—yang terluka bersama bumi, menangis bersama makhluk hidup yang terancam.

Allah bukan pembalas dendam ekologis, tapi Sahabat yang menanggung luka ekologis bersama umat-Nya.

Dengan kata lain, kalau bumi kita hari ini terluka, itu bukan karena Allah menghukum. Tapi karena kita melukai-Nya melalui kerakusan kita sendiri.

Murka Tuhan bukanlah malapetaka dari langit, tetapi bisa hadir sebagai keheningan-Nya ketika manusia mengabaikan tugasnya sebagai penjaga ciptaan.


Moltmann: Bumi Sebagai Bagian dari Keselamatan

Jurgen Moltmann secara radikal menggeser peta berpikir kita tentang keselamatan.

Bagi Moltmann, bumi bukan sekadar latar tempat manusia menunggu surga, melainkan bagian utuh dari karya keselamatan.

Ciptaan tidak sedang menunggu untuk dibakar dan ditinggalkan, tapi sedang menanti untuk diperbarui—new creation.

Dalam teologi Moltmann, gereja bukan hanya tempat ibadah ritual. Gereja adalah tanda awal dari dunia yang sedang dipulihkan. Maka, iman Kristen yang otentik tidak bisa netral dalam isu ekologi.

Tidak mungkin berbicara tentang keselamatan sementara membiarkan air bersih dikeruk untuk mencuci bijih mangan.

Tidak mungkin memuji kasih Tuhan di hari Minggu, lalu mendiamkan perampasan tanah di hari kerja.

Allah yang setia, kata Moltmann, justru karena kesetiaan-Nya itulah, Ia tidak mungkin tinggal diam saat bumi ditindas.

Kesetiaan Allah adalah panggilan untuk bertanggung jawab, bukan izin untuk sembarangan.


Belajar dari Raja Ampat: Luka yang Sahih

Mereka yang hari ini berseru “ini demi masa depan ekonomi kita” perlu menengok ke Timur sedikit, ke Raja Ampat.

Tempat yang dulu disebut “surga terakhir di bumi” itu hari ini sedang menyimpan luka.

Tambang nikel yang katanya akan membawa kemakmuran ternyata meninggalkan kerusakan yang sulit diperbaiki.

Air menjadi keruh. Tanah menjadi tandus. Warga kehilangan ruang hidup. Dan generasi muda kehilangan warisan ekologis mereka.

Raja Ampat mengajarkan satu hal: kerusakan ekologis tidak mengenal romantisme masa lalu. Sekali rusak, kita hanya bisa menyesal. Sabu Raijua jangan menjadi Raja Ampat berikutnya.

Ruang Diskursus Publik Sebagai Ruang Liturgi

Opini ini bukan hanya ajakan menolak tambang. Ia adalah ajakan untuk berpikir ulang secara teologis dan publik. Bahwa membicarakan masa depan bumi bukan hanya urusan aktivis atau akademisi.

Tapi juga tanggung jawab iman. Bahwa ruang publik kita tidak boleh menjadi panggung propaganda elite dan pemilik modal, tetapi altar tempat kita menyanyikan liturgi kehidupan bersama.

Diskursus publik adalah liturgi sosial. Di dalamnya, kita menggumuli apa artinya menjadi umat Allah di dunia yang ringkih ini.

Di sana, kita bertanya: apakah kebijakan ini memuliakan ciptaan atau menghancurkannya? Apakah keputusan ini memperluas kasih atau menyempitkan harapan?


Dari Gereja Menuju Gerakan Harapan

Gereja harus mengambil peran. Bukan sebagai lembaga moral yang cuma menegur, tapi sebagai tanda awal dunia yang dipulihkan.

Gereja harus menjadi ruang pendidikan ekologis, ruang kritik atas kebijakan, dan ruang solidaritas bagi suara-suara yang tak terdengar.

Kita tidak sedang butuh heroisme baru. Kita butuh komunitas yang menghayati bahwa membuang sampah sembarangan, merusak mata air, atau mendiamkan tambang rakus—itu bukan hanya kesalahan ekologis, tapi penghinaan teologis.

Kalau benar Allah menciptakan dunia dan menyebutnya “sungguh amat baik”, maka menghancurkannya bukan sekadar dosa ekologi, tapi pemberontakan spiritual.


Narasi Alternatif yang Perlu Kita Bangun




Politik Murka dan Teologi Cinta” adalah ajakan untuk keluar dari jebakan tafsir sempit dan retorika pembangunan yang mematikan.

Ia adalah seruan agar kita tidak terus-menerus memperalat Tuhan untuk membenarkan kekuasaan dan modal.

Sebaliknya, kita diajak kembali kepada Allah yang cinta—Allah yang melindungi tanah, air, angin, dan generasi.

Moltmann membuka jalan bagi kita untuk menyadari: bumi ini adalah bagian dari keselamatan.

Ia bukan sekadar “dunia yang fana”, tapi rumah yang disiapkan bagi kemuliaan Allah yang hidup. Maka menjaga bumi adalah bentuk ibadah.

Merawat tanah adalah tanda cinta. Menolak tambang rakus adalah ekspresi pengharapan.

Dan jika hari ini kita bisa membicarakan ini di ruang publik, maka biarlah ruang ini menjadi liturgi yang hidup.

Liturgi yang tidak hanya berbicara tentang surga, tapi tentang laut yang bersih, sawah yang hijau, udara yang segar, dan masa depan yang layak bagi Tiara, Leticia, Tirza, Timothy, Tristan dan lainnya.

(*)

Simak terus berita
di Google News



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com