NU Bekasi Geram, Kebijakan Gubernur Jabar Ancam Tutup Pesantren

NU Bekasi Geram, Kebijakan Gubernur Jabar Ancam Tutup Pesantren

.CO.ID, BEKASI – PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) Kabupaten Bekasi mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap keputusan yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Protes ini disuarakannya karena adanya kebijakan menyerahkan ijazah dengan cara sukarela dari pihak sekolah kepada semua siswanya.

Protes tersebut diekspresikan lewat acara audiensi yang diikuti oleh para pemimpin dari PCNU, RMI-NU, Forum Ponpes, BMPS, serta wakil-wakil pondok pesantren. Pertemuan ini berlangsung ketika mereka bertemu dengan Ketua DPRD Jawa Barat Acep Jamaludin dan Anggota Fraksi PKB Rohadi di gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, pada hari Rabu tanggal 22 Mei 2025.

“Keputusan itu sungguh mengecewakan kami sebab kurang memperhatikan kebutuhan pondok pesantren dan justru merugikannya. Hal ini benar-benar mengkhawatirkan,” ungkap Ketua PCNU Kabupaten Bekasi KH Atok Romli Mustofa saat ditemui di Bandung, Rabu.

Dia mengungkapkan bahwa kebijakan itu malah menciptakan ketidaknyamanan, terutama di kalangan pesantren. Hal ini karena keputusan tersebut tidak melewati proses penelitian yang mendalam dan inklusif, tetapi lebih kepada tindakan cepat tanpa persiapan, dengan unsur pemaksaan, serta didasarkan pada intuisi Gubernur Dedi.

Aturan tersebut dilengkapi dengan peringatan terhadap pondok pesantren atau lembaga pendidikan yang enggan ikuti program subsidi pendidikan menengah universal (SPMU), bahwa mereka bisa mengalami pembatalan izin beroperasi. Menurutnya, implikasi dari aturan ini sangat serius bagi atmosfer di dalam pondok pesantren baik secara jangka pendek maupun panjang.

Itu menunjukkan bahwa pondok pesantren mendidik dan memelihara santri bukan hanya di sekolah tetapi selama 24 jam penuh. Atok menyamakan hal ini dengan teori kebutuhan Abraham Maslow, di mana terdapat kebutuhan fisik, keamanan, sosial, pengakuan, dan pencapaian diri yang telah disediakan oleh pesantren bagi semua santri secara merata tanpa memandang latar belakang atau status sosial.

“Atok mengatakan bahwa pondok pesantren harus menanggung beban biaya yang cukup tinggi sendirian demi memenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berbeda dengan sekolah negeri, dimana pendanaannya sepenuhnya ditangani oleh pemerintah,” tuturnya.

KH Kholid, pengasuh Ponpes Yapink Pusat, mengungkapkan bahwa pesantren sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurutnya, para pendiri pesantren dari awal mendirinya memang sengaja berfokus pada kontribusi terhadap masyarakat lewat sistem pendidikan yang independen.

Dia menyatakan bahwa dalam waktu dekat, administrasi di ponpes kemungkinan akan tertunda akibat aturan tersebut. Banyak mantan santri dengan berbagai asal-usul mendatangi pesantren ini guna menuntut hak mereka sesuai petunjuk yang diberikan Gubernur Dedi.

Baca:
Prajurit Sakti dan Negara Lupakan: Kita Tangkap, Anda Menempati

“Di sisi lain, terdapat hak-hak pondok pesantren yang belum dipenuhi. Ini tentunya dapat mengganggu proses pembelajaran dan pengajaran dalam lingkungan pondok pesantren,” ujar Kholid.

Kebijakan itu pun berpotensi menyebabkan sejumlah besar pesantren tutup ke depannya akibat permasalahan ekonomi. Seperti ditemukan di Kabupaten Bekasi, terdapat kasus di mana sebuah pondok pesantren harus merogoh kocek hingga antara Rp 1 miliar sampai dengan Rp 1,7 miliar tanpa bisa mendapatkan pembayaran dari mantan santrinya,” ungkap Kholid.

Persoalan lebih serius berpotensi dialami pesantren dalam jangka panjang yakni degradasi akhlak. Semisal tidak ada lagi takdzim kepada guru dan pesantren karena seolah-olah pemerintah sedang mengadu-domba santri dengan pesantren yang menahan ijazah.

“Orang tua dan santri tidak diajarkan tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban. Maka yang akan rusak adalah generasi bangsa. Tidak akan terwujud generasi emas yang dicita-citakan,” ujar Kholid.

Baca:
Letjen Djaka Budi, Orang Dekat Prabowo Jadi Dirjen Bea Cukai

Ketua BMPS Kabupaten Bekasi H M Syauqi menganggap bahwa keputusan Gubernur Dedi kurang inklusif. Sebab, aturan tersebut ditetapkan tanpa memasukkan beberapa pihak yang relevan dan mungkin akan memiliki dampak negatif besar pada masa mendatang di bidang pendidikan.

“Sesungguhnya, seluruh warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa biaya dari pemerintah sebagai tugas mereka yang utama. Namun, bisakah pemerintah menunaikannya dengan sempurna tanpa adanya bantuan dari sekolah-sekolah swasta, terutama pesantren? Kami percaya bahwa hal itu belum dapat dicapai,” ujar Syauqi.

Baca:
Pentolan OPM Yeremias Foumair Berikrar Setia Kembali ke NKRI

Menurut dia, pesantren yang sudah mendarah daging dan menjadi jati diri bangsa Indonesia mempunyai peran fundamental dalam sistem pendidikan Indonesia. Data menunjukkan negara hanya mampu menyediakan pendidikan gratis melalui sekolah negeri sebanyak 25-35 persen dari jumlah kebutuhan populasi yang ada.

Selebihnya, peran sektor swasta cukup signifikan. “Kami mengharapkan adanya dukungan dan percepatan tindakan oleh Gubernur Jawa Barat setelah pertemuan audiensi dengan para pemimpin DPRD Jawa Barat ini, agar dapat lebih mempedulikan pondok pesantren serta melakukan revisi atau menyediakan pengecualian atas keputusan pemerintah yang berdampak pada pondok pesantren. Kami benar-benar membutuhkan solusi bagi masalah-masalah yang muncul sebagai konsekuensinya,” ungkap Syauqi.

Baca:
Sekretaris dari Kementerian Pertahanan Turkey bertemu dengan Presiden Prabowo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com