Fatwa Horeg di Jawa Timur: Dari Kebisingan hingga Kepatuhan Syariat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur baru-baru ini mengeluarkan fatwa yang menyatakan penggunaan sound horeg tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Sound horeg adalah sistem audio yang memiliki volume tinggi, terutama pada frekuensi rendah atau bass. Penggunaannya dinyatakan haram jika melanggar norma syariat, mengganggu ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum.
Sholihin Hasan, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim, menjelaskan bahwa istilah horeg berasal dari bahasa Jawa yang artinya “bergetar”. Dalam praktiknya, alat audio ini sering digunakan dalam acara-acara dengan tingkat kebisingan yang sangat tinggi, mencapai 120-135 desibel. Angka ini jauh melebihi ambang batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 85 desibel untuk paparan suara selama 8 jam.
Fatwa tersebut dikeluarkan sebagai respons terhadap keluhan masyarakat Jawa Timur. Permohonan ini disampaikan melalui petisi yang ditandatangani oleh 828 orang dan diajukan pada tanggal 3 Juli 2025. Sebelum menetapkan fatwa, MUI Jatim juga melakukan diskusi dengan berbagai pihak, termasuk pengusaha sound horeg dan dokter spesialis THT.
Penyebab dan Dampak Penggunaan Sound Horeg
Sound horeg yang digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan beberapa masalah. Pertama, dampak kesehatan. Paparan suara yang terlalu keras bisa menyebabkan kerusakan pendengaran, sakit kepala, dan gangguan tidur. Kedua, kebisingan yang berlebihan dapat merusak fasilitas umum, seperti bangunan atau peralatan elektronik. Ketiga, penggunaan sound horeg bisa mengganggu ketertiban umum, terutama jika digunakan di area yang tidak sesuai.
Lebih lanjut, Sholihin menyatakan bahwa penggunaan sound horeg yang tidak wajar juga bisa membahayakan kesehatan mental masyarakat. Suara yang terlalu keras dan berulang dapat memicu stres dan kecemasan. Selain itu, jika penggunaannya disertai dengan perilaku yang tidak sesuai dengan syariat, seperti joget campuran antara laki-laki dan perempuan serta membuka aurat, maka hukumnya dianggap haram.
Penggunaan Secara Wajar dan Tujuan Positif
Meski ada larangan, MUI Jatim menegaskan bahwa teknologi audio seperti sound horeg bukanlah hal yang dilarang secara mutlak. Justru, alat ini bisa digunakan secara wajar dan bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan positif. Contohnya, dalam pengajian, selawatan, atau resepsi pernikahan, sound horeg bisa menjadi sarana untuk menciptakan suasana yang meriah dan menyenangkan.
Namun, kegiatan seperti battle sound (adu suara) yang berlebihan dinyatakan haram karena dianggap mengandung unsur tabdzir (pemborosan) dan idha’atul mal (menyia-nyiakan harta). Hal ini menunjukkan bahwa MUI Jatim memperhatikan aspek sosial dan ekonomi dalam penentuan fatwa.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
MUI Jatim juga mendukung langkah pemerintah provinsi Jawa Timur dalam menyusun regulasi untuk mengatur penggunaan sound horeg. Regulasi ini bertujuan untuk menjaga ketertiban dan kesehatan masyarakat. Dengan adanya aturan yang jelas, penggunaan sound horeg bisa lebih terkendali dan tidak lagi menjadi sumber masalah.
Selain itu, MUI Jatim juga berharap masyarakat bisa lebih sadar akan dampak negatif dari penggunaan sound horeg yang berlebihan. Kesadaran ini bisa dimulai dari individu dan komunitas lokal, yang kemudian berkembang menjadi kesadaran nasional. Dengan begitu, sound horeg bisa tetap digunakan, tetapi tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kepatuhan terhadap norma syariat.