news  

MSIG Life Berharap POJK Berikan Solusi Win-Win untuk Semua Pihak

MSIG Life Berharap POJK Berikan Solusi Win-Win untuk Semua Pihak

Penangguhan Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan dan Perbincangan di DPR

Pemerintah dan lembaga terkait sepakat menangguhkan penerapan skema co-payment dalam asuransi kesehatan yang diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE OJK) Nomor 7/2025. Keputusan ini diambil setelah rapat kerja antara Komisi XI DPR RI dengan Otoritas Jasa Keuangan pada Senin, 30 Juni 2025. Penangguhan ini dilakukan hingga regulasi yang lebih mengikat berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terbit.

Presiden Direktur PT MSIG Life Insurance Indonesia Tbk., Wianto Chen menjelaskan bahwa penyesuaian yang diperlukan dalam penyusunan POJK pengganti SE OJK 7/2025 memerlukan kesepakatan dari berbagai pihak, termasuk juga penyelenggara layanan kesehatan. Contohnya, rumah sakit dan klinik perlu dasar hukum dari kementerian terkait seperti Kementerian Kesehatan.

Dalam rapat tersebut, anggota dewan menyampaikan usulan agar skema co-payment dapat diberi pengecualian bagi kelompok rentan. Selain itu, komisi agen asuransi juga bisa dipotong untuk mengurangi beban akuisisi asuransi kesehatan yang semakin tinggi.

Wianto menegaskan bahwa MSIG Life berharap POJK yang akan datang dapat secara efektif menyelesaikan masalah dan tantangan dalam industri asuransi kesehatan di Indonesia. Ia berharap kebijakan ini tidak mengorbankan salah satu pihak dan mampu mendorong pertumbuhan bisnis asuransi di tanah air.

Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Nasdem, Thoriq Majiddanor, menyatakan bahwa skema co-payment dinilai kontroversial karena tidak menyelesaikan akar masalah tetapi berpotensi memberatkan konsumen. Menurutnya, co-payment hanya mengalihkan beban ke nasabah tanpa pembenahan internal industri.

Jiddan melihat saat ini praktik bisnis asuransi kesehatan masih menyisakan tata kelola dan biaya akuisisi yang boros. Banyak biaya premi asuransi kesehatan digunakan untuk keperluan operasional dan biaya akuisisi, termasuk komisi agen asuransi dan biaya marketing. Ia mencontohkan, komisi agen tahun pertama bisa mencapai 70%.

Menurut Jiddan, jika kebijakan co-payment diterapkan sebagai pembagian beban antara perusahaan asuransi dan pemegang polis, beban pemegang polis tidak sebanding dengan besaran komisi agen asuransi. Ia menilai co-payment bukan satu-satunya solusi yang ada.

Jiddan menyarankan agar komisi agen asuransi dibatasi hingga 30%–40%, sehingga sisanya dapat digunakan untuk mengganti biaya yang ditanggung oleh OJK melalui SE ini. Selain itu, ia menilai skema co-payment berpotensi memberikan beban yang tidak adil bagi kalangan rentan.

Meskipun skema co-payment 10% memiliki batas maksimal beban yang ditanggung nasabah, Jiddan menilai hitungan Rp3 juta dan Rp300.000 tetap berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah, lansia, dan pensiunan. Ia menekankan perlunya kebijakan khusus untuk kelompok rentan, seperti contoh di Filipina yang menerapkan kebijakan no copay pada pasien lanjut usia, miskin, dan upah minimum di rumah sakit pemerintah.