Peringkat Baa2 untuk Sukuk Wakalah Senior Tanpa Jaminan Pemerintah Indonesia
Moody’s Ratings memberikan peringkat Baa2 untuk sukuk wakalah senior tanpa jaminan berdenominasi dolar AS yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia III (PPSI III). Nilai program penerbitan sukuk senior tanpa jaminan ini mencapai US$ 45 miliar atau setara dengan Rp 733,5 triliun, dengan kurs Rp 16.300 per dollar AS. Peringkat ini berlaku untuk semua penerbitan dalam berbagai tranche.
Menurut Martin Petch, VP Senior Credit Officer Moody’s Investors Services, sertifikat wakalah ini merupakan kewajiban langsung, tanpa syarat, dan tidak subordinat dari Pemerintah Indonesia sebagai penerbit. “Menurut penilaian kami, kewajiban pembayaran atas surat berharga yang diterbitkan PPSI III memiliki peringkat yang setara (pari passu) dengan seluruh utang luar negeri senior tanpa jaminan yang ada maupun yang akan diterbitkan oleh penerbit,” ujarnya dalam rilis terbaru.
Sebagian hasil penerbitan sukuk akan digunakan untuk pembiayaan umum. Selain itu, pemerintah berencana memanfaatkan hasil bersih dari tranche hijau guna membiayai atau membiayai kembali pengeluaran yang langsung berkaitan dengan ‘Belanja Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang Layak dengan Fokus Hijau dan Biru’ sebagaimana didefinisikan dalam kerangka kerja TPB pemerintah.
Peringkat Baa2 ini mencerminkan peringkat issuer jangka panjang Pemerintah Indonesia yang saat ini berada pada Baa2 dengan prospek stabil. Namun, Moody’s menegaskan bahwa peringkat sukuk tersebut tidak mencerminkan pandangan mereka terhadap kepatuhan struktur penerbitan terhadap hukum syariah.
Faktor Pendukung Peringkat Baa2
Moody’s menyatakan bahwa peringkat Baa2 Indonesia didukung oleh ketahanan ekonomi serta faktor struktural seperti kekayaan sumber daya alam dan demografi yang kuat, serta pertumbuhan PDB yang stabil dan solid. Kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati, fokus pada disiplin anggaran, kesinambungan kebijakan, dan stabilitas makroekonomi juga menjadi faktor pendukung.
Sebagai eksportir utama batu bara, bahan bakar fosil, dan minyak sawit, Indonesia tetap menghadapi risiko transisi karbon. Namun, peningkatan cadangan devisa, perluasan instrumen kebijakan, dan pendalaman pasar utang domestik telah mengurangi kerentanan eksternal.
Proyeksi Pertumbuhan dan Beban Utang
Moody’s memperkirakan pertumbuhan PDB riil Indonesia rata-rata sekitar 4,7% pada tahun 2025 dan 2026. Meskipun konsumsi domestik stabil, ketidakpastian investasi menjadi tantangan. Volatilitas harga komoditas global dan tarif AS menambah risiko negatif. Lambatnya penyerapan anggaran pemerintah pada paruh pertama tahun ini mendorong peluncuran paket stimulus ekonomi pada Juni 2025.
“Kami memproyeksikan beban utang pemerintah akan tetap stabil di sekitar 40% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara sepadan,” kata Petch. Namun, peringkat Baa2 juga mempertimbangkan kelemahan dalam indikator fiskal Indonesia secara umum, termasuk kemampuan pemerintah membayar utang yang terbebani oleh basis pendapatan yang rendah.
Tantangan dan Risiko
Kemampuan pemerintah membayar utang terpengaruh oleh basis pendapatan yang rendah, yang juga dapat terpengaruh oleh pembatalan kenaikan tarif PPN awal tahun ini dan kemungkinan pengalihan dividen BUMN ke dana kekayaan negara baru, Danantara. Moody’s mengasumsikan disiplin fiskal akan tetap terjaga, sebagaimana tercermin dalam komitmen pemerintah untuk menjaga defisit di bawah 3% dari PDB.
Meskipun porsi utang pemerintah Indonesia dalam mata uang asing cukup besar, sekitar 28% dari total, Indonesia menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dibandingkan negara sepadan. Namun, peningkatan cadangan devisa, perluasan instrumen kebijakan, dan pendalaman pasar utang domestik telah mengurangi kerentanan eksternal.
Prospek Stabil dan Risiko yang Mengancam
Prospek stabil mencerminkan keseimbangan antara risiko naik dan turun. Risiko naik berasal dari upaya memperluas skala dan daya saing sektor manufaktur, yang dapat mendorong pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Sebaliknya, risiko penurunan termasuk potensi ketidakpastian kebijakan akibat transisi politik, yang dapat melemahkan kinerja pertumbuhan akibat penurunan investasi asing dan dampak negatif terhadap indikator fiskal. Kurangnya perluasan basis pajak juga dapat mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk kebijakan dan mengatasi guncangan ekonomi.