.CO.ID – JAKARTA.Untuk mencapai penyebaran yang tepat sasaran dariLiqufied Petroleum Gas(LPG) 3 kg yang didiskon, tahun depan pemerintah akan mulai melakukan perubahan dan penguatan aturan pembeliangas melon tersebut.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa pembelian LPG 3 kg mulai tahun 2026 wajib menggunakan nomor induk kependudukan (NIK).
Tahun depan dia (membeli LPG 3 kg menggunakan NIK). Jadi, kalian jangan menggunakan LPG 3 Kg.lah, desil 8,9,10, saya rasa mereka sadar,” kata Bahlil di Istana Negara, Senin (25/8/2025).
Tolong support kita ya,
Cukup klik ini aja: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Menurut Bahlil, skema yang baru akan menyebabkan masyarakat di desil 8,9,10 tidak bisa membeli LPG 3 kg.
Asal tahu saja, menurut Sistem Data Kesejahteraan Sosial Terpadu (DTKS), terdapatklasifikasi keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan, yang dibagi menjadi desil 1 hingga desil 10.Dengan pembagian sebagai berikut:
Desil 1 – Sangat Tidak Mampu
Desil 2 – Miskin
Desil 3 – Nyaris Miskin
Desil 4 – Rentan Kemiskinan
Desil 5 – Pas-pasan
Desil 6-10 – Menengah Atas (Bukan Prioritas Bantuan Sosial)
“Jadi, kalian jangan menggunakan LPG 3 kg, desil 8, 9, 10 menurut saya mereka sudah sadar,” kata Bahlil.
Meskipun akan memperketat pengaturan distribusi,Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI) Sofyano Zakaria justru meragukan dasar hukum yang menjelaskan siapa yang berhak atau tidak berhak membeli LPG 3 kg.
Menurutnya, jika hanya mengacu pada NIK, saat ini pembelian LPG 3 kg ke pangkalan dan sub pangkalan sudah dilakukan berdasarkan NIK. Hal ini merupakan persyaratan yang berkaitan dengan batasan jumlah tabung yang dapat dibeli dalam sehari.
“Menurut UU atau Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, dalam undang-undang tidak disebutkan bahwa LPG 3 kg diperuntukkan bagi warga miskin, demikian pula peraturan presiden,” ujar Sofyano saat dihubungi, Rabu (27/08/2025).
Menurut Sofyano, agar lebih tepat sasaran, pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan NIK atau KTP, tetapi harus secara jelas menentukan kelompok yang berhak membeli LPG 3 kg.
“Artinya, jika LPG 3 kg ingin tepat sasaran, harus ditentukan sesuai dengan aturan yang berlaku siapa yang berhak menerima LPG 3 kg. Jika memang ditujukan untuk warga miskin, maka harus ditentukan siapa yang miskin berdasarkan data apa. Menurut saya, kebijakan pemerintah saat ini masih tidak jelas dan tidak pasti,” katanya.
Sofyano menjelaskan, tujuan dari penerapan tepat sasaran ini sebenarnya adalah untuk mengurangi beban subsidi LPG 3 kg. Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa jika memang ingin mengurangi beban, strategi tepat sasaran bukanlah satu-satunya cara.
“Jika tujuannya tepat sasaran, maka harus jelas apa yang ingin dicapai, apakah untuk mengurangi beban subsidi? Jika ingin mengurangi subsidi, bagaimana cara menyesuaikan harga? Hal itu juga bisa membantu mengurangi subsidi,” katanya.
Jika dibandingkan, berdasarkan hasil temuan Kementerian ESDM,harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan berkisar antara Rp16.000 hingga Rp19.000 per tabung, tetapi sering kali di lapangan bisa mencapai Rp 50.000.
Menurut Sofyano, perubahan harga terjadi karena Bupati atau Walikota memiliki wewenang untuk menentukan HET masing-masing daerah.
Pemerintah Daerah yang mampu meningkatkan HET di wilayahnya,Maksudnya telah terjadi perbedaan (dari HET nasional). Pertanyaannya, perbedaan ini ke mana arahnya? Ini tidak mengurangi beban subsidi pemerintah,” katanya.
Selain itu, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG yang diberikan subsidi, termasuk melalui Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota, sesuai dengan Pasal 24 ayat (4) Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009 mengenai penyediaan dan pendistribusian LPG.
Selain itu, wewenang tersebut juga didukung oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri ESDM Nomor 17/2011 serta Nomor 05/2011, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam melakukan pengawasan terhadap harga eceran tertinggi (HET) LPG bersubsidi melalui Tim Koordinasi di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Risiko Ketidakefektifan LPG 3 Kg Berdasarkan NIK
Selanjutnya, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi menyatakan bahwa terdapat kketerbatasan akses administratif dari penerapan skema ini.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa banyak masyarakat miskin belum memiliki KTP elektronik atau belum terdaftar dalam sistem data sosial. Hal ini dapat menyebabkanexclusion error—mereka yang seharusnya mendapatkan subsidi justru mengalami kendala,” katanya.
Ketidakseimbangan infrastruktur distribusi menjadi tantangan tambahan. Di wilayah terpencil, pendistribusian LPG 3 kg sering kali dilakukan melalui pedagang kecil. Tanpa sistem verifikasi yang menyeluruh dan adaptif, masyarakat rentan kehilangan akses.
“Keberhasilan hanya dapat dicapai apabila sistem verifikasi subsidi dilengkapi dengan mekanisme penyelesaian keluhan (grievance redressal) dan bantuan administratif bagi konsumen miskin,” katanya.
Tulus juga mengatakan, tanpa kejelasan dan pengawasan, skema bisa terbongkar. Pedagang eceran masih dapat menjual LPG 3 kg kepada konsumen yang mampu jika sistem verifikasi tidak diterapkan dengan ketat pada tingkat distribusi.
“Pernyataan seperti ‘dengan kesadaran’ mengenai pembelian LPG 3 kg oleh Menteri Bahlil dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam kebijakan dan memberikan ruang untuk berbagai interpretasi di lapangan,” tutupnya.