Mengintip Wacana Pembentukan Indeks EBT untuk Tarik Investor Hijau Bursa

Mengintip Wacana Pembentukan Indeks EBT untuk Tarik Investor Hijau Bursa

, JAKARTA — Wacana pembentukan indeks saham khusus yang memayungi emiten-emiten di sektor energi terbarukan mengemuka di tengah upaya Indonesia melakukan transisi energi. Sejumlah emiten menilai indeks khusus untuk saham-saham terkait sektor energi baru dan terbarukan (EBT) dibutuhkan untuk menarik investor hijau di pasar modal.

Corporate Secretary Division Head PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) Eko Prayitno menilai bahwa perlu ada pembentukan indeks khusus untuk emiten yang fokus pada EBT.

Saat ini, kata dia, fokus pada indeks lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) tidak secara spesifik mencerminkan emiten dengan bisnis utama EBT, melainkan emiten yang secara umum menerapkan praktik keberlanjutan. 

(Support us with click the banner above)

“Hal ini penting untuk mengarahkan investor yang memiliki mandat investasi spesifik pada energi baru dan terbarukan,” ujarnya kepada Bisnis dikutip Sabtu (25/10/2025).

Eko menjelaskan bahwa kehadiran indeks khusus energi terbarukan akan memberikan visibilitas dan identitas yang lebih jelas bagi perusahaan-perusahaan yang memang bergerak di sektor transisi energi dan EBT. 

Lebih jauh, Perseroan memandang bahwa kehadiran indeks khusus EBT dapat berfungsi sebagai alat screening yang efektif bagi investor, baik ritel maupun institusi. Investor dapat langsung berpartisipasi dalam akselerasi transisi energi melalui indeks yang terkurasi. 

Kehadiran indeks ini disebutnya akan mengirimkan sinyal kuat kepada masyarakat dan pasar bahwa energi terbarukan adalah sektor investasi yang serius dan mendapat dukungan dari otoritas pasar modal. 

Selain itu, emiten yang masuk dalam indeks akan terdorong untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja lini energi terbarukan mereka.

Eko berpendapat indeks bertema EBT di pasar modal Indonesia berpotensi besar menarik minat investor global, khususnya investor asal Eropa dan Asia Timur yang fokus kepada aspek keberlanjutan.

Dia menambahkan indeks semacam itu akan menjadi acuan transparan bagi dana institusional yang berfokus pada investasi hijau dan transisi energi. 

“Dengan metodologi yang kredibel serta dukungan regulator seperti OJK dan IDX, indeks ini dapat meningkatkan likuiditas saham-saham energi bersih, membuka peluang pembentukan reksadana tematik, dan memperkuat citra Indonesia dalam pengembangan investasi hijau di Asia Tenggara,” terangnya. 

Head of Investor Relations PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) Mirza Hippy turut memahami bahwa wacana pembentukan indeks khusus bagi emiten yang bergerak di energi terbarukan merupakan salah satu langkah yang tengah dikaji oleh berbagai pihak untuk mendorong percepatan transisi energi nasional. 

“Bagi kami, setiap upaya yang dapat memperkuat ekosistem investasi hijau dan meningkatkan visibilitas sektor EBT di pasar modal tentu patut diapresiasi,” katanya.

Sejalan dengan hal di atas, Mirza menilai bahwa langkah tersebut perlu dikaji secara menyeluruh, baik dari sisi kriteria, klasifikasi emiten, mekanisme evaluasi kinerja, maupun dampaknya terhadap minat investor. 

“Yang terpenting adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat memberikan manfaat yang nyata bagi pengembangan proyek EBT secara berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi yang sehat bagi semua pihak,” imbuhnya.

Saham Energi Hijau Ungguli Emas

Wacana pembentukan indeks khusus bagi saham-saham energi hijau di Indonesia terjadi ketika investor global kembali menaruh perhatian ke sektor ini, meski pasar ESG tengah menghadapi tekanan di Amerika Serikat.

Mengutip laporan Bloomberg, indeks acuan global yang berisi saham-saham energi terbarukan sempat mencatat reli tajam pada awal Oktober 2025 dan berhasil melampaui kinerja emas maupun indeks saham utama dunia.

Tren ini sejalan dengan meningkatnya permintaan energi hijau untuk menopang pertumbuhan infrastruktur kecerdasan buatan (AI).

Hal ini tecermin dari Indeks S&P Global Clean Energy Transition yang melonjak hampir 50% sejak April 2025 hingga 7 Oktober 2025. Kenaikan terjadi setelah pengumuman tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kala itu sempat mengguncang pasar keuangan global. Sebagai perbandingan, S&P 500 dan harga emas masing-masing hanya mencatat kenaikan sekitar 35% pada periode yang sama.

Kinerja positif saham hijau ini mencerminkan optimisme investor bahwa kebutuhan energi untuk menopang perkembangan AI tak mungkin terpenuhi tanpa peran energi terbarukan. Meskipun pemerintahan Trump berupaya memangkas berbagai kebijakan hijau, negara-negara seperti China, India, dan anggota Uni Eropa, serta sejumlah negara bagian di AS, tetap berkomitmen pada transisi energi rendah karbon.

Suku bunga AS yang lebih rendah juga memberi dorongan tambahan bagi sektor energi hijau yang dikenal padat modal dan bergantung pada pembiayaan utang.

Kebangkitan sektor ini menarik kembali minat investor terhadap dana hijau. Brookfield Asset Management pada Selasa lalu mengumumkan telah menghimpun dana senilai US$20 miliar untuk dana transisi energi bersih terbesar di dunia. Sementara itu, Resolution Investors LLP meluncurkan dana ekuitas global bertema iklim dengan target penghimpunan US$1 miliar dalam beberapa tahun ke depan.

Indeks saham energi bersih S&P juga telah mengungguli S&P Global Oil Index sejak awal April dan mencatat kinerja lebih baik dibandingkan dengan seluruh indeks saham utama dunia dalam mata uang lokal, kecuali Korea Selatan.

“Indeks energi bersih cenderung memiliki korelasi rendah dengan pasar saham secara umum, sehingga dapat berfungsi sebagai alokasi taktis ketika katalis positif muncul,” tulis Shaheen Contractor, analis ESG senior di Bloomberg Intelligence.

Ia menambahkan bahwa permintaan energi yang didorong oleh AI dapat meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2028, sehingga menguntungkan sektor surya, penyimpanan energi, dan gas yang bisa dikembangkan dengan cepat.

Beberapa perusahaan yang menjadi pemenang besar dalam reli ini antara lain Bloom Energy Corp. asal AS, produsen sel bahan bakar untuk pembangkit listrik, serta Goldwind Science & Technology Co. dari China, produsen turbin angin terbesar di dunia. Keduanya mencatat kenaikan harga saham hingga tiga digit sepanjang tahun ini.

Meski demikian, nilai indeks energi bersih S&P saat ini masih hanya separuh dari level puncaknya pada 2021, ketika minat terhadap investasi hijau mencapai titik tertinggi di tengah kebijakan suku bunga rendah selama pandemi.

“Kita tengah berada di masa yang luar biasa, di mana pasar modal dan ekonomi riil sama-sama mempercepat upaya menuju keberlanjutan dan transisi energi,” kata Aniket Shah, Managing Director dan Kepala Global Sustainability and Transition Strategy di Jefferies Financial Group Inc. Ia menyebut momentum ini sebagai awal dari “masa kejayaan” investasi hijau.

Di Bursa Efek Indonesia, saham-saham di sektor energi terbarukan memperlihatkan performa yang beragam. Sebagai contoh, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) telah terapresiasi 42,25% secara year to date (YtD) per 24 Oktober 2025 di level Rp1.330 per lembar. Sementara itu, emiten Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) turun 1,08% ke banderol harga Rp9.175 per saham pada kurun yang sama.

Lesatan harga signifikan terlihat pada saham TOBA yang telah naik 161,30% secara YtD per 24 Oktober 2025 ke level Rp1.040 per lembar. Saham TOBA sempat mencapai level harga penutupan tertinggi pada 7 Oktober ke Rp1.440, meski kemudian berada di tren penurunan setelahnya.

Adapun saham PTBA yang mulai mendiversifikasi bisnis batu bara dan masuk ke sektor pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) memperlihatkan koreksi harga sebesar 14,55% YtD ke harga Rp2.350 per lembar.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.