Penjelasan IYCTC Mengenai Kebijakan Kemasan Rokok Polos
Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) memberikan pernyataan terkait kebijakan pemerintah yang mewajibkan kemasan rokok polos untuk mengurangi konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja. Menurut IYCTC, kebijakan ini sebenarnya bertujuan untuk menekan daya tarik produk tembakau, tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa hal tersebut akan secara langsung mengatasi masalah rokok ilegal.
Ketua IYCTC, Manik Marganamahendra, menjelaskan bahwa kebijakan kemasan rokok polos diterapkan dengan tujuan mengurangi pengaruh desain pada penjualan rokok. Dengan menghilangkan elemen seperti warna, logo, dan citra merek, kemasan rokok menjadi lebih sederhana dan memiliki peringatan kesehatan yang lebih jelas. Namun, ia menilai bahwa kebijakan ini tidak sepenuhnya efektif dalam mengatasi peredaran rokok ilegal.
Manik menyampaikan bahwa beberapa negara seperti Australia, Inggris, dan Prancis telah menerapkan kebijakan serupa sebelum Indonesia. Meskipun studi di beberapa negara tersebut menunjukkan penurunan jumlah orang yang pernah ditawari rokok ilegal, ia menegaskan bahwa hal ini tidak berarti kebijakan kemasan polos secara langsung mengendalikan peredaran rokok ilegal. Efektivitas kebijakan tersebut bergantung pada pelaksanaannya, bukan hanya pada desain kemasan.
Selain itu, IYCTC menyoroti pentingnya memberikan informasi yang jelas kepada generasi muda, yang menjadi target utama industri rokok. Mereka menilai bahwa narasi yang digunakan oleh industri rokok sering kali tidak didasarkan pada fakta, melainkan untuk kepentingan bisnis. Hal ini dapat memengaruhi kesadaran masyarakat tentang risiko merokok.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peredaran Rokok Ilegal
Menurut Manik, peredaran rokok ilegal lebih dipengaruhi oleh faktor struktural, bukan hanya soal kemasan. Salah satu penyebab utama adalah suplai yang tidak terkontrol dari pihak-pihak tertentu dalam industri rokok. Selain itu, lemahnya penindakan hukum terhadap pelaku rokok ilegal juga menjadi kendala besar.
Temuan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan bahwa tingkat rokok ilegal paling tinggi ditemukan di kota-kota besar seperti Surabaya dan Makassar. Wilayah ini dekat dengan pelabuhan dan pusat produksi tembakau, sehingga memudahkan distribusi rokok ilegal. Di sisi lain, kota-kota yang tidak menjadi jalur distribusi utama memiliki angka rokok ilegal yang lebih rendah.
Manik menekankan bahwa masalah utama adalah distribusi dan kontrol suplai, bukan hanya soal harga atau kemasan. Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap produsen mikro dan kecil serta tidak adanya pembatasan kepemilikan mesin pelinting juga turut memperparah situasi.
Survei CISDI juga menemukan bahwa banyak produk rokok ilegal sudah mencetak peringatan kesehatan yang mirip dengan produk legal. Hal ini menunjukkan adanya skala produksi yang besar dan menunjukkan bahwa permasalahan rantai pasok harus segera diatasi.
Dampak Ekonomi dan Sosial dari Industri Rokok
Program Manager IYCTC, Ni Made Shellasih, menyoroti isu ekonomi yang sering digunakan sebagai alasan untuk menolak regulasi rokok. Beberapa pihak mengklaim bahwa industri rokok memberikan lapangan kerja dan kontribusi ekonomi. Namun, Shellasih menegaskan bahwa kontribusi ekonomi dari industri ini tidak sebanding dengan beban sosial dan biaya kesehatan yang ditanggung oleh negara.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa beban pembiayaan pengobatan akibat rokok meningkat setiap tahun dan menjadi salah satu beban terbesar bagi sistem kesehatan nasional. Riset CISDI (2021) menyebutkan bahwa konsumsi rokok pada 2019 membebani sistem kesehatan dengan biaya antara Rp 17,9 hingga 27,7 triliun. Angka ini hampir menyamai 92 persen dari total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun tersebut.
Peredaran rokok ilegal juga merugikan negara karena tidak menyumbang cukai yang seharusnya diperoleh dari penjualan rokok legal. Masifnya rokok ilegal juga memengaruhi produsen besar seperti PT Gudang Garam Tbk. Akibatnya, penjualan rokok turun drastis, sehingga perusahaan tersebut menghentikan pembelian tembakau dari wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Tidak hanya produsen besar, agen tembakau juga merasakan dampaknya. Salah satu agen tembakau di Pancoran, Jakarta Selatan, yaitu Hari Tobacco, mengalami penurunan penjualan hingga separuhnya. “Penjualan tembakau saya turun sampai 50 persen,” ujar perwakilan dari Hari Tobacco.