Oleh Amidi
Pertumbuhan perekonomian negara ini di awal tahun 2025 berada di bawah angka 5%. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk triwulan pertama tahun tersebut mencapai 4,87%. Nilainya sedikit merosot jika kita bandingkan dengan hasil periode serupa di tahun 2024. (finance.detik.com, 9 Mei 2025).
Oleh karena itu, ekonomi negara ini membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh dari seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaannya dan “perlu waspada”. Terlebih lagi ketika melihat laporan Departemen Tenaga Kerja yang menyatakan setidaknya telah ada 24.036 karyawan yang menghadapi PHK sejak Januari sampai April tahun 2025. (cek di finance.detik.com). Pertumbuhan stagnan menjadi masalah nyata!
Jika diamati, pertumbuhan perekonomian negara kita masih bertahan sekitar 5%, baik dari sisi pertumbuhan per kwartal maupun tahunan (year on year). Tingkat kemajuan ekonomi nasional itu secara rata-rata ditunjukkan oleh seluruh wilayah di tanah air, atau dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi yang tidak banyak berubah tersebut pun terlihat di beberapa tempat di negara ini.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi di Propinsi Sumatera Selatan, ternyata pada semester awal tahun 2025 terjadi peningkatan yang signifikan. Ekonomi propesi tersebut mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,22% di trimester pertama tahun itu. Hal ini memberitahu kita semua bahwa laju perekonomian di daerah tersebut tetap berdiri tegak di kisaran angka 5 persen lebih sedikit.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi negara ini serta yang terjadi di wilayah-wilayah lainnya bersifat stagnan atau malah cenderung menurun? Kenapa kita kesulitan menggapai pertumbuhan ekonomi melebihi 5 persen? Mencapai angka 6 persen tampaknya akan memerlukan usaha besar dan kerja gigih dari kita semua.
Kontradiksi?
Kondisi ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang cenderung statis menunjukkan adanya ketidakkonsistenan. Di satu sisi, kami berharap untuk meningkatkan kecepatan perkembangannya. Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan target bahwa pertumbuhan ekonomi negara harus mencapai angka 8%, namun situasi aktual di lapangan justru bertolak belakang dengan hal itu; yaitu perlambatan atau pelemahan dalam bidang ekonomi.
cnbcIndonesia.com, 8 Maret 2025 – Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri menyebutkan bahwa semakin memburuknya daya tahan perekonomian Indonesia saat ini dapat diamati melalui penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sementara itu, indeks dolar justru sedang berada di posisi tekan akibat dampak kebijakan tariff Trump.
Pada masa lalu, saat terjadi goncangan pada skala global, perekonomian Indonesia sering digambarkan cukup “tangguh.” Sampai The Economist tahun 2011 atau 2012 menamakan Indonesia sebagai ‘Ekonomi Komodo’. Menurut Yose, pertanyaannya adalah: Apakah kita masih akan berperan seperti Ekonomi Komodo? Semoga bukan malah menjadi ekonomi yang lemah, tambahnya. (Lihat cnbcindonesia.com)
Mengapa Stagnan?
Berbagai tahun setelah wabah penyakit, perkembangan perekonomian negara kita terbilang susah untuk ditingkatkan, dengan pertumbuhan ekonomi hanya berada di kisaran angka 5 persen-an. Hal tersebut menggambarkan bahwa ada stagnansi dalam pertumbuhan ekonomi? Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Dipelajari secara mendalam, mungkin kita dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengeksplorasi sepenuhnya sumber daya alam (SDA) yang dimiliki serta mengoptimalkannya. Hal ini pada gilirannya akan membentuk nilai tambah signifikan dan menciptakan pendapatan berlipat daripada apa yang sebelumnya diharapkan.
Sumber daya alam yang kita miliki perlu ditingkatkan agar dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Untuk mengakselerasinya, minimal investasi, konsumsi, dan ekspor harus digalakkan.
Untuk meningkatkan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, tentu diperlukan modal besar dan usahanya adalah mendapatkan dukungan finansial dari dalam negeri. Sebisa mungkin hindari ketergantungan pada invesatasi asing sehingga manfaatnya bisa dioptimalkan untuk negara ini.
cnnIndonesia.com, 4 Desember 2024 – Menurut Menteri Investasi Hilirisasi dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, diperlukan investasi senilai Rp. 13.500 triliun selama lima tahun mendatang untuk mewujudkan ambisi pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang disebutkan oleh President Joko Widodo (Presiden Prabowo Subianto). Hal ini dikemukakan pada tanggal tersebut melalui situs web CNN Indonesia.
Angka ini sungguh luar biasa. Agar dapat menyusuri laju kemajuan, penanaman modal wajib ditingkatkan. Penyertaan modal besar itu perlu dicari dari asal-usul yang tak membuat bebannya menjadi berat bagi kondisi keuangan pemerintah, artinya bukannya melalui jalur meningkatnya hutang, sehingga kembalianya nanti tidak terganggu oleh bobot bunganya yang cukup tinggi.
Berdasarkan pengembangan yang telah dilakukan, tampak bahwa negara kita sudah menyalurkan dana besar sebagai investasi, dengan fokus utamanya adalah pada pembangunan infrastruktur. Infrastruktur memerlukan biaya yang cukup tinggi dan sangat penting bagi percepatan pertumbuhan ekonomi; meski demikian, perlu dicatat pula bahwa aspek lain dari investasi yaitu penciptaan lapangan pekerjaan harus menjadi prioritas. Jika upaya investasi hanya difokuskan pada proyek-proyek infrastruktur bermodal besar semata, kontribusinya terhadap penyediaan lapangan kerja akan sedikit. Oleh karena itu, idealnya usaha pembangunan juga harus melibatkan lebih banyak lagi bidang-bidang yang mampu memberikan kesempatan kerja langsung kepada orang-orang.
Berdasarkan informasi dari data, selama tahun 2024, pencapaian realisasi investasi di Indonesia telah menyentuh angka Rp. 1.714,2 triliun dan ini menunjukkan peningkatan sebesar 20,8% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu (silakan kunjungi bkpm.go.id untuk detail lebih lanjut). Meski demikian, jumlah itu mengindikasikan bahwa usaha mempercepat invesatasi harus tetap dilakukan guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi supaya semakin meningkat lagi.
Demikian pula dengan konsumsi, hal itu dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Tetapi saat ini negara kita dihadapkan pada peningkatan biaya hidup yang membuat daya beli merosot. Hal tersebut tercermin dari banyaknya warga negara yang telah menggunakan simpanan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, jumlah pekerja yang dirumahkan meningkat, berbagai usaha harus tutup pintunya, serta tambahan bebannya bagi para pekerja akibat adanya lebih banyak anggota keluarga yang menganggur atau justru menjadi pengangguran lagi.
Penurunan kemampuan pembelian itu ditandai dengan adanya deflasi. Pada tahun 2025 di Indonesia malah terjadi deflasi sebesar 0,09% secara year-on-year (YoY) serta -0,48% month-to-month (MtM) di bulan Februari 2025. (Lihat sumber: kemenkeu.go.id).
Kemudian, kalau ditelusuri, daya beli yang cendrung turun yang ditandai oleh adanya deflasi perlu mendapat perhatian serius. Deflasi yang terjadi, tidak semata-mata karena adanya penurunan harga-harga barang dan jasa, karena terjadi efisiensi dalam operasional atau produksi atau adanya stock yang berlimpah, tetapi lebih disebabkan oleh daya beli yang turun yang mendorong pelaku bisnis akan menurunkan harga agar produk yang mereka produksi atau tawarkan tidak macet atau tetap dibeli.
Hal itu pun kadang terjadi, di mana meskipun mereka telah mengambil tindakan untuk menurunkan atau menyesuaikan harganya, mereka tetap harus berperang keras. Ini disebabkan oleh fakta bahwa setelah penurunan harga tersebut, pasarnya masih saja lesu. Indikatornya sangat nyata dalam unit bisnis selain bidang makanan dan minuman; mereka merasakan situasi sulit yang serba salah antara untung maupun rugi. Bahkan bagi para pebisnis yang kurang kuat secara finansial, pilihan satu-satunya adalah tertutup paksa alias bangkrut.
Apabila para pengusaha memilih untuk menutup usaha mereka, tentu hal ini bakal berdampak pada perekonomian secara umum; terjadilah pemutusan hubungan kerja, ada penurunan dalam pendapatan, dan kemungkinan kehilangan peluang lain bila unit bisnis itu sebenarnya bisa bertahan atau terus aktif.
Terkadang, ada pihak yang menutup operasionalnya atau meninggalkan pasar sementara lainnya mulai mendirikan usaha baru atau ikut berpartisipasi di dalamnya. Akan tetapi, apabila jumlah yang keluar sama dengan yang masuk atau malah lebih banyak yang pergi dibanding datang, ini tentunya akan membuat proses mengakselerasi pertumbuhan ekonomi menjadi semakin sulit.
Ekspor juga begitu. Meskipun bila dilihat dari trennya, jumlah ekspornya tampak naik. Tetapi pada dasarnya, hasil itu masih dapat dicapai lebih tinggi lagi; yaitu apabila barang yang dieksporkan merupakan produk akhir, ketika kemampuan bersaing produk senantiasa dipertajam, saat pasar tujuan semakin luas dimaksudkan, dan jika seluruh pemasukan dari eksportasi benar-benar mengalir langsung ke kas negara tanpa ada penyelundupan atau korupsi.
Berdasarkan informasi yang tersedia, jumlah ekspor Indonesia di tahun 2024 tercatat senilai USD 263,70 miliar, meningkat 2,29% jika dibandingkan dengan tahun 2023. Selain itu, volume barang yang diekspor pun menunjukkan kenaikan sebanyak 5,37%. (Rangkuman AI)
Kegiatan ekspor perlu digalakkan dan frekuensinya mesti ditambah. Ada banyak sekali potensi ekspor yang dapat dimanfaatkan, entah itu dalam hal jenis barang yang hendak diekspor atau pun pasar impor target. Namun demikian, semua ini mengharuskan kita menjadi lebih kreatif serta inovatif, membuat kita berusaha merombak tampilan produk supaya layak dikirim ke luar negeri, sekaligus juga bersaing melawan komoditas produksi negara-negara lain.
Berikutnya, hal lain yang tak kalah vital untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara ini ialah komitmen serta kekonsistenan dari seluruh kami. Setiap elemen perlu memiliki tujuan bersama baik itu visi maupun misinya, setiap bagian juga harus menunjukkan tekad kuat dalam pengembangan perekonomian negeri ini. Jangan sampai ada situasi bergejolak atau praktek suap menyuburkan seperti sebelumnya, dan jangan biarkan adanya kelompok tertentu merusak potensi ataupun hasil-hasil yang telah diciptakan. Tetap bersemangat ya!!!!!