Menelusuri Jejak Perempuan yang Dihukum Gila dalam Narasi Orde Baru

Menelusuri Jejak Perempuan yang Dihukum Gila dalam Narasi Orde Baru

Seorang ilmuwan perempuan Indonesia yang berada di Leiden, Belanda, mengkaji bagaimana Orde Baru menekan perempuan melalui stigma dan cerita yang monolitik. Apa hasil penelitiannya?

Seorang ilmuwan wanita Indonesia di Leiden, Belanda, meneliti bagaimana Orde Baru menekan sejarah perempuan melalui stigma dan narasi yang monolitik. Apa temuannya?

Hanfa Azzahra merupakan ilmuwan yang mengkaji gerakan perempuan pada masa Orde Baru, yang menjalankan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda. Dengan pendekatan feminis, ia menelusuri suara-suaranya perempuan yang tertutup dan dihilangkan dari narasi resmi negara.

Gerwani, salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia, dihilangkan melalui stigma politik dan kekerasan simbolis.

Penelitian ini tidak hanya berkaitan dengan masa lalu—namun juga tentang bagaimana sejarah dikendalikan, serta dampaknya yang masih dirasakan hingga saat ini.

Kepada Deutsche Welle, ia menyampaikan hasil-hasil penelitiannya.

Deutsche Welle: Apa saja bidang penelitian yang kamu fokuskan?

Hanfa Azzahra: Saya melakukan penelitian mengenai pergerakan wanita pada masa Orde Baru. Saya menggunakan pendekatan feminisme yang digunakannarasinya hanya satuatau terkadang narasinya bersifat dominan. Sejarah yang mungkin sering kali diabaikan atau disembunyikan. Sehingga selain melakukan penelitian dokumen, saya juga mendengarkan langsung kisah-kisah yang diceritakan oleh para pengungsi.

Apa yang membuat Anda tertarik pada topik tersebut?

Sejak dulu, saya tertarik pada antropologi dan bagaimana konstruksi identitas di Indonesia pada masa pascakolonial. Namun, saya juga menyadari bahwa di Indonesia pernah ada masa di mana hal tersebut tidak selalu dipertimbangkan kembali, seperti pengaruh Orde Baru terhadap pembentukan konstruksi nasional. Para eksil memberikan perspektif sejarah yang berbeda dari narasi yang selama ini digunakan di Indonesia.

Apa temuan risetmu?

Saya menemukan bahwa kisah perempuan di Indonesia pada masa Orde Baru diatur atau dikendalikan oleh lembaga negara. Pembuatan sejarah atau pembentukan pengetahuan tentang gender sering kali hanya disajikan oleh negara dalam satu narasi tertentu, sementara yang saya temukan—jika kita mencari dari sejarah atau arsip-arsip alternatif—terdapat konstruksi yang berbeda, konstruksi yang bertentangan dengan dominasi Orde Baru.

Saya melihat adanya kekerasan epistemik atau kekerasan yang muncul dari proses produksi pengetahuan pada masa Orde Baru, di mana kita diberikan informasi tentang sejarah Indonesia, namun terkadang tersembunyi atau bahkan dihilangkan. Contohnya, sejarah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dalam arsip sejarah yang saya temukan dalam penulisan sejarah perempuan dalam wacana budaya, Gerwani sering kali dihapus dari tulisan-tulisan tertentu, seperti di museum dan tempat lainnya.

Saya menulis mengenai para tokoh yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, banyak gerakan yang muncul pada masa kemerdekaan tersebut, namun nama Gerjawi yang turut serta sebagai pelaku pergerakan tidak disebutkan dalam tulisan-tulisan tersebut, seolah-olah ia tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia pada masa itu?

Seberapa besar perannya?

Peran mereka sangat penting, terlebih jika sekarang kita merenungkan perayaan Hari Ibu di Indonesia.

Hari Ibu yang dirayakan setiap tahun berasal dari Hari Perempuan yang diperingati dalam Kongres Perempuan Indonesia (1928), di mana Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang menjadi awal dari Gerwani hadir dalam acara tersebut. Peran mereka sangat penting, namun tampaknya terabaikan dalam sejarah utama negara Indonesia pada peristiwa Kongres Perempuan Indonesia tersebut. Padahal, mereka merupakan salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia, yang sepenuhnya mendukung kemerdekaan bangsa dan memperjuangkan hak yang sama antara perempuan dan laki-laki.

Mengapa perannya dihapus atau diam diam?

Banyak faktor yang menyebabkan pembungkaman terhadap Gerwani pada masa Orde Baru. Salah satu aspek tersebut telah diteliti oleh akademisi ternama Saskia Wieringa, yang menulis mengenai sistem hirarkis yang masih bersifat patriarki pada masa itu. Namun, konteksnya bisa diperjelas karena pada masa tersebut juga terdapat gerakan antikomunisme. Dan Gerwani dianggap memiliki orientasi politik yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga perannya dihilangkan.

Dalam narasi pada masa Orde Baru disampaikan bahwa mereka melakukan kekerasan terhadap para jenderal dalam gerakan G/30/S? Dituduh menari setengah telanjang saat para jenderal dibunuh?

Itu dikenal oleh Saskia Wieringa sebagai bentuk pengaturan terhadap tubuh perempuan, kekerasan terhadap pengetahuan-pengetahuan, yang dibuat untuk menakuti rakyat. Karena banyak dokumen-dokumen mungkin yang sebelum Orde Baru telah hilang atau tidak dapat ditemukan di Indonesia, banyak narasi-narasi yang tidak lengkap, sehingga narasi-narasi yang justru ditampilkan sebagai narasi utama justru narasi-narasi yang membuat orang takut terhadap gerakan-gerakan sebelumnya.

Fokus penelitian saya adalah bagaimana gerakan perempuan diangkat dalam wacana budaya atau bagaimana perempuan digambarkan atau dibentuk dalam wacana budaya. Perempuan yang tidak sesuai dengan standar ideal pada masa Orde Baru di Indonesia langsung dituduh sebagai komunis, meskipun belum tentu mereka benar-benar komunis. Contohnya, para penari yang dikirim ke berbagai negara oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mereka tidak bisa kembali karena dianggap sebagai perempuan komunis. Selanjutnya, perempuan komunis ini dijuluki sebagai perempuan yang tidak waras, dan digunakan sebagai alat untuk mengontrol perempuan pada masa Orde Baru.

Kemudian narasi mengenai perempuan pada tahun 1980-an hingga 1990-an yang dianggap gila terus dipertahankan. Perempuan yang dianggap maniak atau tidak bersih masih disebarkan selama masa Orde Baru, dengan mencampurkan bahwa mereka memiliki kaitan dengan Gerwani, perempuan-perempuan komunis, padahal belum tentu demikian. Mereka memanfaatkan bentuk politik seksual ini untuk melemahkan wibawa perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan standar perempuan ideal pada masa Orde Baru.

Apakah dampak dari pengklasifikasian masih terasa sampai saat ini?

Ya, dan hal ini menimpa perempuan-perempuan yang berani melawan, perempuan yang menolak dominasi Orde Baru, perempuan yang mengkritik, serta perempuan-perempuan yang memimpin gerakan-gerakan pada masa Orde Baru. Maka mereka dianggap sebagai perempuan yang tidak waras. Padahal mereka hanya berusaha melawan dominasi dan kekuasaan Orde Baru itu sendiri.

Jika kamu melihat pada masa kini, apakah sistem patriarki di Indonesia masih tetap kuat seperti dulu?

Masih kuat. Seperti yang kita lihat terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu dalam berbagai bentuk protes dan demonstrasi, ada yang ditahan dan beberapa di antaranya adalah perempuan. Bahkan terdapat seorang ibu yang sedang menyusui yang ditangkap oleh polisi.

Perempuan-perempuan dari kelompok minoritas di Indonesia juga menghadapi situasi yang sangat rentan, dikarenakan sistem Indonesia yang semakin cenderung pada otoritarianisme, ditambah dengan masih adanya struktur patriarki di negara ini.

Editor: Yuniman Farid

ind:content_author: Ayu Purwaningsih