Fenomena LCGC dan Perilaku Berkendara yang Menimbulkan Kontroversi
Mobil Low Cost Green Car (LCGC) menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin memiliki kendaraan roda empat dengan harga terjangkau. Namun, beberapa perilaku pengemudi atau pemilik mobil ini sering kali menarik perhatian publik, hingga memunculkan berbagai isu tentang kebiasaan berkendara yang tidak sesuai aturan.
Contohnya, baru-baru ini ada kasus seorang pengemudi yang sengaja menerobos gerbang tol untuk menghindari pembayaran tarif. Tidak hanya itu, mobil tersebut juga dikaitkan dengan tindakan tabrak lari di jalan tol. Aksi ini membuat banyak warganet memberikan komentar negatif, yang sering kali mengaitkan LCGC sebagai mobil yang cenderung ugal-ugalan, abai pada hukum, atau bahkan gemar mengakali aturan lalu lintas.
Banyak orang secara impulsif menganggap bahwa setiap pengguna LCGC pasti memiliki perilaku demikian. Namun, apakah korelasi antara jenis mobil dan perilaku berkendara benar-benar tepat? Seorang pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Pasaribu, memberikan pandangan yang lebih luas mengenai hal ini.
Menurut Yannes, anggapan tersebut lebih didasarkan pada kerentanan struktural daripada sekadar jenis kendaraan. Dari sudut pandang ekonomi dan sosiologi, LCGC dirancang untuk mencapai kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah yang biasanya memiliki keterbatasan finansial. Ketika keterbatasan ekonomi bertemu dengan minimnya literasi hukum dan edukasi lalu lintas, maka timbul perilaku berkendara yang permisif.
Kondisi ekonomi ini sering kali berkorelasi dengan tingkat pendidikan, yang secara tidak langsung memengaruhi tingkat literasi hukum. Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan fenomena pengemudi mobil kecil yang nekat menerobos tol, menunggak pajak kendaraan, atau berkendara sembarangan demi menghemat biaya harian. Meski fenomena ini bisa ditemukan pada semua jenis kendaraan.
Namun, menurut Yannes, tindakan seperti itu tidak bisa hanya dianggap sebagai kenakalan individu, tetapi juga merupakan bentuk “efisiensi paksa” akibat tekanan ekonomi. Dalam kasus tertentu, tekanan ekonomi dapat mendorong perilaku menghindari biaya, seperti tidak membayar pajak kendaraan atau menghindari tarif tol sebagai bentuk efisiensi paksa.
Di sinilah ruang yang jarang dibicarakan: motif pelanggaran bukan hanya sekadar soal bandel, melainkan tentang bertahan hidup dalam sistem yang belum cukup berpihak. Yannes menolak menyederhanakan fenomena ini menjadi urusan mobil murah atau perilaku personal semata. Ia menilai bahwa motif pelanggaran ini lebih merupakan irisan antara tekanan ekonomi, kurangnya pendidikan hukum, dan kelemahan sistem pengawasan.
Artinya, jika regulasi dan sistem pengendalian hukum tidak diperbaiki, maka perilaku serupa bisa muncul dari pengguna kendaraan apa pun, terlepas dari harga atau segmennya. Oleh karena itu, Yannes mengusulkan pendekatan multidimensi yang menyentuh akar permasalahan. Menurutnya, ini bukan semata masalah stigma kendaraan murah, melainkan soal kerentanan struktural dan mentalitas individual yang perlu ditangani melalui kombinasi kebijakan teknologi, edukasi, dan reformasi hukum yang lebih progresif dan menyeluruh.
Jadi, sudah saatnya publik meninjau ulang pandangan hitam-putih terhadap LCGC dan penggunanya. Karena masalah di jalanan bukanlah tentang seberapa besar mesin mobil, melainkan seberapa besar kesadaran kita menjalani peran sebagai pengemudi yang taat hukum, apa pun merek atau segmennya.
Kontribusi LCGC terhadap Pertumbuhan Industri Otomotif Nasional
Selain kontroversi, keberadaan mobil LCGC juga memberikan dampak signifikan terhadap peta penjualan otomotif di Indonesia. Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 2013, pasar otomotif merespons dengan baik. Hingga kini, segmen mobil terjangkau ini masih konsisten menjadi salah satu kontributor pangsa pasar terbesar.
Awalnya, LCGC dimulai oleh Toyota Agya dan Daihatsu Ayla sebagai pionir. Kemudian, model-model baru mulai bermunculan hingga akhirnya format pilihannya menjadi lebih sederhana seperti Honda Brio Satya, Toyota Calya, dan Daihatsu Sigra.
Dalam tiga tahun awal, pangsa pasar LCGC meningkat dari 4,16 persen menjadi 16,43 persen dari total pasar rata-rata satu juta unit per tahun. Pada tahun 2016, LCGC berhasil menyumbang 20 persen pangsa pasar dan terus bertahan hingga 2019, sebelum pasar otomotif nasional anjlok akibat pandemi Covid-19.
Setelahnya, penjualan LCGC mulai pulih. Pada 2021, LCGC berhasil menjual 146.520 unit atau mengambil 16,51 persen dari total 887.202 unit. Dari tahun 2021 hingga 2024, pangsa pasar LCGC perlahan bangkit kembali. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), hingga Januari-Mei 2025, total penjualan LCGC mencapai 56.301 unit.
Meskipun hasil ini turun 24,3 persen dari periode yang sama pada 2024, secara keseluruhan, sumbangan pangsa pasarnya masih sekitar 20 persen, yaitu 18 persen dari total 316.981 unit.